Senin, 19 Maret 2012

AGAMA SEBAGAI SISTEM BUDAYA

AGAMA SEBAGAI SISTEM BUDAYA Oleh : Zaenal Arifin BAB I PENDAHULUAN Agama mempunyai kedudukan yang amat penting dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai alat untuk membentuk watak dan moral, tapi juga menentukan falsafah hidup dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti nilai-nilai dan norma-norma budaya dibentuk dari agama. Agama terbentuk bersamaan dengan permulaan sejarah umat manusia. Realita ini merangsang minat orang untuk mengamati dan mempelajari agama, baik sebagai ajaran yang diturunkan melalui wahyu, maupun sebagai bagian dari kebudayaan. Motivasi keterikatan manusia kepada agama adalah pendambaannya akan keadilan dan keteraturan. Keadilan dalam masyarakat dan alam, karena itu ia menciptakan agama dan berpegang erat kepadanya demi meredakan penderitaan-penderitaan kejiwaannya. Ada dua hal yang menjadi alasan orang berminat dalam mempelajari agama. Pertama, agama sebagai suatu yang berguna bagi kehidupan manusia baik secara pribadi maupun mayarakat. Kedua, karena ada pandangan yang negatif terhadap agama,dimana agama hanya dianggap sebagai khayal,ilusi dan merusak masyarakat. Walaupun demikian bukan berarti bahwa semua manusia beragama, atau beragama pada kadar yang sama. Dalam sejarah tercatat bahwa ada kelompok-kelompok tertentu yang anti agama bahkan memusuhi agama, akan tetapi juga sebaliknya banyak juga kelompok-kelompok yang sangat taat dan menghayati ajaran agamanya dan terjalin baik sehingga kekuatan ghaib tersebut bisa memperkuat pribadinya. Sehingga agama dapat menjadi anutan, ikutan dan dihormati seperti imam, ulama, kyai, pendeta, pastor dan lain-lain. Oleh karena itu agama merupakan aspek yang tidak terpisahkan dari pribadi dan masyarakat. Berdasarkan wacana di atas, kami akan mencoba membahas tentang Agama sebagai Sistem Budaya dalam rangkaian mata kuliah “Antropologi Budaya”. Dapat dirumuskan beberapa pembahasan sebagai berikut: Pertama, pengertian agama; Kedua, pengertian budaya; Ketiga, pengertian agama sebagai sistem budaya.   BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Agama Untuk memberikan batasan tentang makna agama memang agak sulit dan sangat subyektif. Karena pandangan orang terhadap agama berbeda-beda. Ada yang memandangnya sebagai suatu institusi yang diwahyukan oleh Tuhan kepada orang yang dipilihnya sebagai nabi atau rasulnya, dengan ketentuan-ketentuan yang telah pasti. Ada yang memandangnya sebagai hasil kebudayaan, hasil pemikiran manusia, dan ada pula yang memandangnya sebagai hasil dari pemikiran orangorang yang jenius, tetapi ada pula yang menganggapnya sebagai hasil lamunan, fantasi, ilustrasi. + Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia menerangkan bahwa agama adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tata peribiodata, dan tata kaidah yang bertalian dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya dengan kepercayaan itu. Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal. Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan. Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons. Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan Tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya. Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 19 . Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin. Secara terminologi makna ad-din menurut Prof. Taib Thahir Abdul Muin adalah suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa orang yang mempunyai akal memegang (menurut peraturan Tuhan itu) dengan kehendaknya sendiri tidak dipengaruhi, untuk mencapai kebaikan hidup di dunia dan di akherat. H. Mukti Ali mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang Maha Esa dan hukum yang diwahyukan kepada utusan-utusanNya untuk kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Menurut beliau ciri-ciri agama itu adalah: o Mempercayai adanya Tuhan yang Maha Esa o Mempunyai kitab suci dari Tuhan yang Maha Esa o Mempunyai rasul/utusan dari Tuhan yang Maha Esa o Mempunyai hukum sendiri bagi kehidupan penganutnya berupa perintah dan larangan Sedangkan Komaruddin Hidayat berpendapat lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan. Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana. Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata’ala dalam Islam. Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut: “Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta isinya”. Uraian Sijabat ini menekankan agama sebagai hasil refleksi manusia terhadap panggilan yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam hidup manusia yang terwujud dalam hubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta raya dengan segala isinya. Pandangan itu mengatakan bahwa agama adalah suatu gerakan dari atas atau wahyu yang ditanggapi oleh manusia yang berada dibawah. B. Pengertian Budaya Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Bahasa Indonesia diterangkan bahwa buday adalah hasil pikiran, akal budi manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat-istiadat. Budaya menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam masyarakat adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam pikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup. C. Agama sebagai Sistem Budaya Agama sebagai sistem budaya yang bersifat kognitif, meliputi unsur-unsur pokok yang di dalamnya terdapat knowled (pengetahuan), belief (kepercayaan), value (nilai) dan norma-norma. Melalui ajaran-ajarannya, agama memberikan sumbangan pengetahuan yang sangat berharga bagi manusia untuk mengetahui sesuatu yang mungkin tidak ditemukan melalui akal pikiran. Berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari agama, timbul suatu kepercayaan dalam diri seseorang terhadap sesuatu yang mungkin dia sendiri belum pernah melihatnya. Menurut William Howells mengatakan bahwa percaya dalam agama adalah penerimaan suatu ide (gagasan) secara khusus dengan sikap yang lebih mendalam dan tidak membutuhkan formulasi yag sangat jelas. Percaya adalah perasaan yang sangat kuat bahwa ada kekuatan yang luar biasa di alam raya. Agama juga memberikan sumbangan berupa nilai-nilai hidup yang dapat dijadikan ukuran untuk menentukan baik dan buruk, dilarang atau dibolehkan dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Nilai agama-agama tersebut sudah barang tentu telah diwujudkan dalam kehidupan yang nyata serta dalam bentuk aturan-aturan (norma) yang diberlakukan dalam kehidupan bersama. Agama juga telah memberikan sumbangan berupa aturan-aturan (norma) sebagai pedoman yang harus dilaksanakan agar manusia atau masyarakat dapat memperoleh kehidupan yang baik. Sebagai suatu sistem budaya, agama berfungsi memberikan pengawasan (kontrol) terhadap sistem-sistem lain yang bersifat kondusif. Oleh karena itu, eksistensi agama tidak akan bermakna tanpa melibatkan sistem sosial dalam bentuk organisasi, lembaga atau pranata-pranata (sistem sosial). Sistem sosial juga hanya akan menjadi lambang yang tidak bermakna tanpa di dukung sistem kepribadian dan sistem perilaku dalam bentuk pengamalan keagamaan yang berkembang secara individual dalam masyarakat. secara konkrit, sistem kepribadian dan system perilaku keagamaanlah yang mendukung keberadaan suatu agama. Dengan kata lain, agama sebagai sistem budaya berfungsi memberikan pengawasan (controling) dan tidak bisa lepas dari sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem perilaku yang mendukung eksitensi agama dalam kehidupannya (conditioning). Pendekatan sistematik memandang agama sebagai suatu sistem budaya karena agama mengandung seperangkat sistem pengetahuan kepercayaan, norma dan nilai, yang secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan, di mana satu sama lain saling mengontrol dan mendukung. Sistem pengetahuan (knowledge), sistem kepercayaan (bilief), norma (norms) dan nilai (values) yang terkandung dalam agama, secara kognitif memang baru merupakan gagasan yang abstrak, dan harus direalisasikan dalam wujud yang lebih konkrit. Manifestasi dari itu, secara sistematis memerlukan sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem perilaku untuk mendukung wujud agama yang sebenarnya. Melalui sistem sosial, agama dapat dilihat eksistensinya dari jenis-jenis organisasi, lembaga, institusi yang mengindikasikan warna agama. Tetapi hal ini pun belum benar-benar konkrit sebelum didukung oleh penampilan kepribadian, performance dan lebih konkrit lagi dengan melihat behavior (perilaku atau amal) dari para pemeluk agama yang bersangkutan. Agama sebagai sistem budaya hanya dapat dipelajari, diketahui dan dimengerti melalui simbol-simbol yang berlaku di masing-masing agama. Itu sebabnya Geertz menyebutkan agama sebagai juga sebagai sistem simbol (The Religion is a System of Syimbols). Hakikat yang bisa dipelajari dan diamati adalah simbol-simbol agama yang diangap sakral. Nama Allah dalam sistem keyakinan Islam misalnya, tidak bisa diwujudkan secara kasat mata, karena Allah itu Maha Ghaib. Ada tetapi tidak mungkin kita bisa melihat-Nya. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw. memantapkan strategi keimanan seseorang dengan cara menyembah Allah, seakan-akan kita melihat-Nya. Andai kata kita tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah tetap melihat kita. Ketika kita yakin sedang ”menyembah” Allah, yang kita baca dan kita saksikan dalam kehidupan beragama sehari-hari adalah symbol-Nya, bukan hakikat wujud-Nya, karena sistem budaya hanya bersifat kognitif. Sedangkan yang abstraksinya dapat disaksikan melalui sistem pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai yang terkandung dalam ajaran agama. Pendekatan terhadap sistem pengetahuan, dapat dilakukan dengan mempelajari kitab-kitab suci agama, catatan-catatan kuno tentang wahyu yang pernah diturunkan (manuskrip, lembaran-lembaran ayat suci (suhuf) atau ucapan-ucapan nabi pembawa agama (hadits). Sistem pengetahuan alam misalnya, dapat dipelajari melalui kitab suci al- Qur’an, hadits Rasulullah, ucapan sahabat atau ulama yang terhimpun dalam kitab tersendiri. Sistem pengetahuan mengandung informasi tentang kejadian alam, hakikat Tuhan yang telah menciptakan alam itu serta sejarah peradaban manusia; yang secara keseluruhan perlu diketahui oleh manusia. Dengan pengetahuan itu, manusia akan menyadari keberadaan dirinya di sisi Tuhan, yang pada akhirnya mengantarkan seseorang lebih mengenal Tuhannya sebagai pencipta, sehingga manusia semakin yakin siapa Tuhan yang layak dipuja dan disembah. Sistem kepercayaan akan dirasakan lebih kuat jika didasarkan pada sistem pengetahuan yang dimiliki. Melalui kajian terhadap diri dan alam sekitar, akhirnya seseorang akan sampai juga pada pengenalan terhadap Tuhannya. Banyak rahasia kehidupan manusia yang mungkin tidak terungkap dengan ilmu pengetahuan, karena keterbatasan akal pikiran. Namun, melalui pengetahuan yang bersumber dari agama, manusia mendapat informasi yang bersifat metafisik sekalipun, yang kadang-kadang tidak terjangkau oleh ilmu pengetahuan. Keberadaan surga dan neraka, proyeksi kehidupan manusia di akhirat, tentang terjadinya hari kiamat, kehidupan di alam kubur serta eksistensi malaikat, jin dan makhluk-makhluk ghaib, hanya dapat diperoleh informasinya melalui agama. Bahkan, pengetahuan tentang siapa hakikat Tuhan yang patut disembah, yang dianggap Maha Suci (sakral), tidak mungkin bisa diperoleh, kecuali dari agama yang dapat memberikan informasi kepada umatnya, sehingga dapat diyakini sepenuh hatinya. Agama pada umumnya termasuk Islam, telah mengajarkan umatnya untuk percaya kepada yang ghaib. Tuhan, wahyu, kiamat, hari akhirat, malaikat, jin, setan, surga atau neraka, termasuk makhluk ghaib. Hal-hal yang disebutkan, jelas tidak dalam kategori gejala yang dapat diamati. Mungkin saja dikatakan dalam ajaran agama bahwa para nabi pernah mengalami apa yang disebut proses menerima wahyu atau berkomunikasi dengan malaikat, memperoleh keistimewaan berupa mukjizat. Hal itu semua merupakan bagian dari peristiwa ghaib yang hanya harus dipercayai dan bukan pengalaman langsung yang bisa dialami oleh manusia biasa pada umumnya. Kepercayaan dalam suatu agama yang diterima berdasarkan pengetahuan atau keyakinan sendiri, memang tidak seluruhnya dapat diteliti dan diamati, karena dalam sistem keyakinan agama itu. Menurut Harsya W. Bachtiar membedakan kepercayaan keagamaan yang bisa diteliti adalah kepercayaan yang ghaib, tidak bisa dibuktikan berdasarkan kenyataan (empirit). Sedangkan kepercayaan yang bisa diteliti adalah kepercayaan keduniaan (tradisi) berkenaan dengan kenyataan yang diwujudkan di dunia. Kepercayaan yang bersifat tradisi inilah yang dapat dijadikan objek pengamatan antropologi, sosiologi, psikologi, arkeologi dan filologi. Banyak gagasan agama sebagai sistem budaya yang mengandung kepercayaan untuk diterima secara tradisional oleh para pengikut suatu agama. Gagasan kepercayaan misalnya tentang penyaliban Yesus dalam ajaran Gereja baik Katolik maupun Protestan merupakan sistem kepercayaan yang mutlak harus diterima oleh umat Kristen. Ada nilai-nilai dogmatika dalam Gereja, walaupun mengandung interpretasi berbeda. Menurut Gereja Katolik dogmatika berartikepercayaan yang harus diterima apa adanya dari isi Alkitab, tanpa kritik dan tanpa protes. Sedangkan Gereja Protestan memahami dogmatika sebagai upaya kajian penganut Gereja terhadap misi Alkitab, karena itu di mata umat Katoik, Alkitab tertutup untuk menerima penafsiran, selain imam yang dianggap wakil Tuhan. Sedangkan di mata kaum Protestan, Alkitab justru terbuka untuk dikaji, dipelajari dan ditelaah agar umat Gereja memperoleh pemahaman yang utuh dari kitab sucinya. Secara antropologis kepercayaan yang bersifat tradisional ini dapat disaksikan gejala-gejalanya, baik dari sistem credo (12 syahadat rasul) yang selalu dibacakan pada setiap kebaktian di Gereja atau dari tanda-tanda salib yang secara simbolik melambangkan kepercayaan terhadap penyaliban Yesus. Kepercayaan terhadap adanya roh-roh halus atau arwah yang sudah meninggal, yang kemudian dapat kembali lagi melakukan reingkarnasi dalam agama Hindu misalnya dapat disaksikan gejalanya dari tradisi yang berkembang di kalangan mereka. Menurut keyakinan umat Hindu, arwah orang yang meninggal masih berada di sekitar rumah selama satu minggu untuk mencari peluang reingkarnasi (penjelmaan kembali) ke dalam jasad keluarga yang hidup. Agar proses reingkarnasi tidak berlangsung begitu cepat, maka keluarga yang masih hidup mengadakan pertemuan di malam hari untuk berjaga-jaga, sambil membakar kemenyan dan menyebar bau kembang, sehingga arwah orang yang sudah meninggal itu tidak mungkin kembali dan mengganggu keluarga yang hidup. Kegiatan semacam ini dilanjutkan pada hari keempat puluh, ke seratus dan ke seribu, sebagai suatu tradisi yang berkesinambungan. Tradisi kepercayaan umat Hindu itu juga dapat diamati gejalanya di Indonesia, meskipun sudah tidak asli lagi karena proses sinkritisme budaya. Percampuran antar kebudayaan dan kepercayaan penduduk asli Indonesia, termasuk umat Islam di dalamnya harus diakui telah terjadi sejak awal masuknya Islam ke Indonesia. Sinkritisme budaya itu telah melahirkan tradisi tahlil setiap adanya kematian anggota keluarga. Bacaan-bacaan tahlil, tasbih, tahmid, taghfir adalah tradisi Islam yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad untuk membiasakannya sebagai kalimat thoiyyibah dalam zikir, ringan diucapkan tetapi akan menambah bobot timbangan di hari akhir. Sementara itu acara makan-makan di tempat anggota keluarga yang terkena musibah kematian, membakar kemenyan, meletakkan kembang di gelas, selamatan tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari dan seterusnya merupakan bentuk sinkritisme budaya dari agama Hindu. Gejala kepercayaan yang dapat diamati juga dijumpai di kalangan umat Islam, berkaitan dengan kehidupan di alam kubur. Umat Islam meyakini bahwa ada kehidupan di alam kubur bagi mereka yang sudah meninggal. Hal itu dapat disaksikan gejala-gejalanya dari tradisi kepercayaan yang berkembang di kalangan masyarakat Islam. Misalnya talqin bagi orang yang meninggal di atas kuburan pada waktu berlangsungnya pemakaman. Gejala-gejala kepercayaan itu dapat diamati dalam proses berlangsungnya talqin. Sebagai sistem budaya, agama juga dapat didekati melalui norma (aturan) yang ditentukan serta berlaku pada setiap agama. Banyak norma yang diajarkan oleh agama menjadi tuntunan peraturan bagi para pengikut agama yang bersangkutan. Secara empirik, norma-norma agama itu dapat dipelajari dan diamati dengan memperhatikan gejala-gejala ketentuan hukum atau aturan yang diberlakukan dalam masyarakat beragama. Normanya sendiri barangkali secara konkrit tidak dapat disaksikan, karena bersifat kognitif. Namun gejala-gejala tentang adanya norma agama dapat dilihat dari ketentuan hukum yang berlaku, peraturan, undang-undang, kaidah, dan rambu-rambu peringatan dalam kitab suci. Misalnya dalam Gereja Katolik ada ketentuan Pastor tidak boleh menikah sepanjang hidupnya selama mengemban tugas sebagai imam (karena dianggap wakil tuhan yang harus senantiasa berkonsentrasi dalam memberikan pelayanan pada umat), ketentuan untuk mengaku dosa bagi orang Katolik yang telah melakukan dosa sendiri, serta ketentuan memakan roti dan minum anggur dalam setiap sakramen. Gejala norma agama juga dapat dipelajari dalam ajaran Budha, berkaitan dengan keharusan jalan kebenaran serta menjauhi larangan untuk berkata dusta dan mengambil hak orang lain. Dalam ajaran Islam juga banyak mengandung norma agama, yang gejalanya dapat diperhatikan dari adanya ketentuan-ketentuan tentang jenis makanan dan minuman yang halal dan yang haram, larangan berbuat zina, larangan memakan riba, dan lain sebagainya. Di dalam agama secara empirik sistem nilai tidak dapat diamati langsung, karena bersifat abstrak. Menurut ajaran agama, nilai baik dan buruk hanya dapat didekati berdasarkan kepercayaan masing-masing umat yang bersangkutan, begitu pula dengan nilai dosa dan pahala. Pengamatan hanya dapat dilakukan terhadap gejala-gejala sikap orang beragama ketika melakukan suatu perbuatan atau menghindari suatu perbuatan. Seorang muslim misalnya, begitu semangat dalam melakukan ibadah, begitu semarak menyambut datangnya bulan puasa, berani mengorbankan harta benda, untuk menunaikan ibadah haji ke Kota Mekkah dan lain sebagainya. Apabila diamati hal-hal tersebut memiliki motivasi tinggi dalam mengejar nilai-nilai pahala yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Begitu juga sebaliknya ketaatan menjauhi larangan berbuat maksiat dan durhaka adalah indikasi kuat bahwa yang bersangkutan takut melakukan perbuatan dosa. Sistem nilai yang terdapat dalam setiap agama sangat berpengaruh dalam memberikan motivasi pada seseorang yang menjadi penganut agama yang taat, untuk menumbuhkan kepercayaan dalam melaksanakan pengabdian dan mentaati norma-norma yang berlaku. Secara sistematik dapat digambarkan bahwa sub sistem dalam agama saling terkait dan tidak bisa di pisahkan. Kepercayaan seseorang kepada zat yang dianggap Tuhan, apa dan bagaimanapun bentuknya akan mendorong seseorang untuk melakukan pengabdian maupun penyembahan, sebagai konsekuensi logis dari sistem keyakinan yang dianutnya. Sistem pengabdian, persembahan, kebaktian atau peribadatan yang dilakukan secara ritual, tentu tidak akan mungkin dapat dilaksanakan dengan baik dan benar, jika tidak ada tata aturan atau norma yang mengaturnya. Sistem norma memberikan panduan bagi manusia dengan melaksanakan pemujaan atau persembahan kepada zat yang dianggap Tuhan. Sistem norma juga yang memberikan petunjuk berupa perintah dan larangan bagi pemeluk bagi suatu agama. Sumber norma itu bisa berasal dari wahyu yang datang dan terhimpun dalam kitab suci atau juga bisa sebagai hasil renungan para pemimpin dan tokoh agama ketika menyepi atau menyendiri. Sistem norma memberikan dukungan terhadap kelancaran pelaksanaan ibadah secara kondisioning, sekaligus juga memberikan kontrol terhadap sikap dan prilaku seseorang dalam agama. Ketaatan atau kepatuhan seseorang terhadap ajaran agama yang dianut sesungguhnya dapat diamati dari tingkat ketaatan orang tersebut dalam mematuhi norma-norma agama yang telah ditentukan, dan tingkat pelanggaran terhadap norma-norma tersebut. Ketaatan orang beragama terhadap sistem norma juga tidak bisa dipisahkan dari keberadaan sistem nilai yang memberikan harapan berupa pahala bagi orang yang melakukan kebajikan atau ancaman berupa siksa bagi individu yang banyak berbuat dosa. Joachim Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan. Lebih tegas dikatakan Geertz bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan. Dapatlah disimpulkan bahwa agama dapat menggerakkan budaya timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif. BAB III PENUTUP Kesimpulan Dengan demikian, berdasarkan materi pembahasan di atas dapat disimplkan bahwa kehidupan manusia melalui pendekatan sistematik, akan dapat diketahui, dipelajari, dan diteliti keberagamaan seseorang berdasarkan gejala-gejala perilaku yang dipengaruhi oleh sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, dan sistem norma serta nilai agama yang dianutnya. Hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai makhluk beragama merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan pelbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi agama. Dengan demikian dapat dipahami bahwa agama sebagai sistem budaya merupakan pendekatan nilai agama yang cukup sistematis yang dipengaruhi oleh norma-norma dan nilai-nilai agama yang dianut pemeluknya.   DAFTAR PUSTAKA Abbas, Zainal Arifin, Perkembangan Pikiran terhadap Agama, Jakarta: Pustaka Al Husna,1984. Abdul Muin, Taib Thahir, Ilmu Kalam II, Pen. Widjaja: Jakarta, 1973. Ali, Mukti, Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional, Yayasan An-Nida’: Yogyakarta, 1969. Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Anisatun Muti’ah, dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009 Deradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang: Jakarta,1973. Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1992. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Ranaka Cipta,1990 Mulyono, Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 1982. Syafa’at, Mengapa Anda Beragama Islam, Jakarta: Widjaja 1965. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:Pusat Bahasa,2008. Wach, Jaochim, Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta : Rajawali, 1984. Budaya, www.wikipedia.com/budaya diakses tanggal 10 Oktober 2010 Clifford Geertz, The Religion as a cultural System (Agama sebagai System Budaya). www.google.com diakses tanggal 10 Oktober 2010 Iwan Joeyz, Hubungan Agama dan Budaya: Tinjauan Sosiokultural, www.google.com diakses tanggal 10 Oktober Khotimah, Makna Agama Hingga Munculnya Agama Baru. www.google.com. diakses tanggal 10 Oktober 2010.

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Zay Arief