Sabtu, 04 September 2010

WAKTU-WAKTU SHOLAT

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Shalat merupakan ibadah umat Islam yang paling utama kepada Allah swt. Shalat adalah salah satu rukun Islam dimana amalan yang pertama kali dihisab di hari akhir. Jika shalat seorang hamba itu baik, baik pula amal lainnya, dan demikian pula sebaliknya.
Allah swt telah mensyariatkan shalat lima waktu sehari semalam untuk menjadi sarana interaksi antara Allah swt dengan seorang muslim dimana ia bermunajat dan berdoa kepada-Nya. Juga untuk menjadi sarana pencegah bagi seorang muslim dari perbuatan keji dan mungkar sehingga ia memperoleh kedamaian jiwa dan badan yang dapat membahagiakannya di dunia dan akhirat.
Allah swt telah menetapkan waktu setiap shalat wajib lima waktu, dan memerintahkan kita untuk berdisiplin memeliharanya. Sebagaimana Allah swt berfirman dalam QS An Nisa’: 103:
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
"Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (An Nisa: 103)
Maka dari itu, setiap muslim harus mengetahui waktu-waktu pelaksanaan shalat dalam memenuhi panggilan dari Allah swt sebagai sang Khaliq untuk menyembah kepada-Nya. Sehingga dapat terhindar dari kesalahan dalam waktu pelaksanaan shalat lima waktu.

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, kami akan dipaparkan beberapa penjelasan tentang pelaksanaan waktu-waktu shalat, dimana difokuskan atas 3 hal sebagai berikut:
(1) waktu shalat lima waktu;
(2) waktu shalat yang disunahkan;
(3) waktu yang dilarang untuk shalat

C. Maksud dan Tujuan
Banyak diantara beberapa umat muslim kurang memahami waktu pelaksanaan sholat lima waktu. Sehingga, pelaksanaan sholat tidak menentu bahkan salah dalam penerapannya. Maka, dengan makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan atau bacaan bagi umat muslim untuk mengetahui umat muslim. Dan juga, dapat lebih mengetahui waktu sholat yang tepat, waktu sholat yang disunnahkan dan waktu yang dilarang untuk sholat
D. Sistematika Penulisan
Makalah disusun dengan urutan sebagai berikut.
1. Bab I Pendahuluan, menjelaskan latar belakang, maksud dan tujuan, rumusan masalah,dan sistematika penulisan.
2. Bab II Pembahasan, Mengemukakan pembahasan masalah bersumber pada data yang diperoleh dibandingkan dengan teori yang terdapat pada berbagai sumber, yaitu (1) waktu sholat lima waktu; (2) waktu sholat yang disunnahkan; dan (3) waktu yang dilarang untuk sholat.
3. Bab III Penutup, memuat simpulan dan saran.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Waktu Shalat Wajib Lima Waktu
Shalat lima waktu telah diatur dalam Al Qur’an dan Al Hadits yang menjadi pegangan umat muslim mengenai waktu pelaksanaannya. Sehingga setiap muslim dapat mengetahui batasan waktu shalat dalam pelaksanaanya sehari-hari.
Allah swt berfirman dalam Al Qur’an yang menerangkan beberapa waktu shalat wajib lima waktu, diantaranya sebagai berikut:
أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isra’: 78)
فَاََصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا وَمِنْ آنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَى
"Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang" (QS Thaha 130)
وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
"Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat." (QS Hud 114)
Di dalam Al Hadits juga dijelaskan tentang mengerjakan shalat pada waktunya termasuk amalan yang paling dicintai oleh Allah. Sebagaimana diceritakan oleh Abdullah bin Mas’ud ra kepada Sa’ad bin Iyas
عن سعد بن إياس، عن عبدالله بن مسعود؛ قال: سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم: أي الأعمال أحب إلى الله؟ قال "الصلاة على وقتها" قلت: ثم أي؟ قال "ثم بر الوالدين" قلت: ثم أي؟ قال "ثم الجهاد في سبيل الله
Dari Abdullah bin Mas’ud: Beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang paling dicintai Allah ‘Azza wa Jalla?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya” kemudian aku berkata, “Kemudian apa?”. Beliau berkata, “Berbakti kepada kedua orang tua”. Kemudian aku berkata, “Kemudian apa?”. Beliau menjawab, “Berjihad di jalan Allah” (HR. Bukhari [527] dan Muslim [85]).
Hadits di atas mengandung dorongan agar menjaga shalat di waktu-waktu yang telah ditentukan untuk melakukannya. Sedangkan yang dimaksud shalat pada waktunya adalah mengerjakannya di waktu yang telah ditentukan, dan tidak mesti di awal waktu sebagaimana pendapat sebagian ulama. Adapun orang yang shalat di luar waktu seperti karena tertidur atau lupa, maka tidak termasuk amalan yang paling dicintai, meskipun amalan itu juga dicintai.(Fathul Baari, 3/334)
Dalam penentuan waktu shalat lima waktu telah diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah r.a, bahwa Rasulullah saw. kedatangan Malaikat Jibril a.s., dan berkata, “Bangun lalu shalatlah”, maka Rasulullah shalat zhuhur ketika matahari bergeser ke arah barat. Kemudian Jibril a.s. datang kembali di waktu ashar dan mengatakan, “Bangun dan shalatlah.” Maka Rasulullah saw. shalat ashar ketika bayangan benda sudah sama dengan aslinya. Kemudian Jibril a.s. mendatanginya di waktu maghrib ketika matahari terbenam, kemudian mendatanginya ketika isya’ dan mengatakan bangun dan shalatlah. Rasulullah shalat isya’ ketika telah hilang rona merah. Lalu Jibril mendatanginya waktu fajar ketika fajar sudah menyingsing. Keesokan harinya Jibril datang waktu zhuhur dan mengatakan, “Bangun dan shalatlah.” Rasulullah shalat zhuhur ketika bayangan benda telah sama dengan aslinya. Lalu Jibril mendatanginya waktu ashar dan berkata, “Bangun dan shalatlah.” Rasulullah saw. shalat ashar ketika bayangan benda telah dua kali benda aslinya. Jibril a.s. mendatanginya waktu maghrib di waktu yang sama dengan kemarin, tidak berubah. Kemudian Jibril mendatanginya di waktu isya’ ketika sudah berlalu separuh malam, atau sepertiga malam, lalu Rasulullah shalat isya’. Kemudian Jibril mendatanginya ketika sudah sangat terang, dan mengatakan, “Bangun dan shalatlah.” Maka Rasulullah shalat fajar. Kemudian Jibril a.s. berkata, “Antara dua waktu itulah waktu shalat.” (Ahmad, An-Nasa’i dan Tirmidzi. Bukhari mengomentari hadits ini, “Inilah hadits yang paling shahih tentang waktu shalat.”)
Dan juga Hadits dari Abdullah bin Amr r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda :
وقت الظهر إذا زالت الشمس. وكان ظل الرجل كطوله. ما لم يحضر العصر. ووقت العصر ما لم تصفر الشمس. ووقت صلاة المغرب ما لم يغب الشفق. ووقت صلاة العشاء إلى نصف الليل الأوسط. ووقت صلاة الصبح من طلوع الفجر. ما لم تطلع الشمس. فإذا طلعت الشمس فأمسك عن الصلاة. فإنها تطلع بين قرني شيطان
“Waktu zhuhur adalah apabila matahari sudah tergelincir [ke barat] sampai panjang bayangan seorang lelaki sama panjang dengan tingginya, selama waktu ashar belum tiba. Waktu ashar adalah selama matahari belum menguning. Waktu shalat maghrib adalah selama warna merah [di langit] belum hilang. Sedangkan waktu shalat isyak berlangsung hingga separuh malam yaitu pertengahannya. Adapun waktu shalat shubuh adalah sejak terbitnya fajar, demikian seterusnya selama matahari belum terbit. Apabila matahari sudah terbit tahanlah dari melakukan shalat. Karena sesungguhnya matahari itu terbit di antara dua tanduk syaitan.” (HR. Muslim [612/1387]).
Berdasarkan dalil-dalil di atas telah menerangkan kententuan waktu shalat lima waktu, dari awalnya hingga berakhirnya waktu shalat adalah sebagai berikut:
1. Shalat Zhuhur
وقت الظهر إذا زالت الشمس. وكان ظل الرجل كطوله. ما لم يحضر العصر
Waktu zhuhur adalah apabila matahari sudah tergelincir [ke barat] sampai panjang bayangan seorang lelaki sama panjang dengan tingginya, selama waktu ashar belum tiba.
Dari sejak tergelincirnya matahari ke arah barat (zawal) sampai bayangan benda sama panjang dengan tingginya. Imam Malik dan sekelompok ulama yang lain berpendapat apabila bayangan benda sudah sama panjang dengan tingginya maka waktu ashar sudah masuk namun waktu zhuhur belum dianggap keluar, bahkan waktu untuk shalat zhuhur masih berlaku seukuran lamanya seseorang melakukan shalat empat rakaat untuk menunaikan shalat zhuhur, dan dia tidak dinilai melakukan shalat di luar waktu yang semestinya. Sedangkan Imam Syafi’i demikian juga An-Nawawi berpandangan bahwa waktu terakhir shalat zhuhur adalah apabila bayangan benda sama panjang dengan tingginya tanpa ada waktu tambahan sesudahnya seukuran shalat empat rakaat (Syarah Nawawi, 3/420).
2. Shalat ‘Ashar
ووقت العصر ما لم تصفر الشمس
Waktu ashar adalah selama matahari belum menguning
Dari sejak bayangan benda sama panjang dengan tingginya hingga terbenam matahari. Waktu ‘Ashar ada dua macam : waktu jawaaz/boleh shalat dan waktu dharurah/terjepit. Waktu jawaaz sejak bayangan benda sama panjang dengan tingginya hingga matahari tampak menguning. Apabila matahari sudah menguning maka waktu itu adalah waktu yang boleh tapi makruh, melakukan shalat ketika itu tetap dinilai sah dan belum dianggap keluar waktu (lihat Syarah Nawawi, 3/420). Shalat ‘ashar yang sengaja dikerjakan di saat matahari sudah menguning disebut sebagai shalatnya orang munafiq. Adapun waktu dharurah berakhir dengan terbenamnya matahari.
3. Shalat Maghrib
ووقت صلاة المغرب ما لم يغب الشفق
Waktu shalat maghrib adalah selama warna merah [di langit] belum hilang
Dari sejak matahari tenggelam (kurang lebih selama 35 menit, sebagaimana dikatakan oleh Majijd al-Hamawi dalam ta’liqnya terhadap Matn al-Ghayah wa at-Taqrib hal. 59, kemudian setelah itu waktu yang makruh) sampai hilangnya warna kemerahan di langit.
4. Shalat ‘Isyak
ووقت صلاة العشاء إلى نصف الليل الأوسط
Waktu shalat isyak berlangsung hingga separuh malam yaitu pertengahannya
Dari sejak hilangnya warna kemerahan di langit sampai pertengahan malam, ini disebut waktu jawaaz/boleh atau waktu mukhtar/terpilih (sebagian yang lain berpendapat sampai sepertiga malam pertama). Sedangkan waktu dharurat terus berjalan sampai datangnya fajar/waktu subuh (sebagian yang lain berpendapat ini masih termasuk waktu jawaz, namun apabila ditunda sampai menjelang adzan subuh maka makruh).
5. Shalat Subuh
ووقت صلاة الصبح من طلوع الفجر. ما لم تطلع الشمس
Waktu shalat shubuh adalah sejak terbitnya fajar, demikian seterusnya selama matahari belum terbit
Awal waktunya sejak terbitnya fajar shadiq (yaitu fajar kedua, kurang lebih 20 menit setelah fajar pertama). Jika sengaja ditunda hingga muncul warna kemerahan di langit maka makruh. Dan terakhirnya adalah ketika terbitnya matahari (pembahasan ini disarikan dari al-Wajiz, hal. 60-62, al-Munakhkhalah, hal. 33 dengan sedikit penambahan dan perubahan).


B. Waktu Shalat yang Disunahkan
Ketentuan waktu shalat wajib lima waktu telah diterangkan beserta dalil-dalilnya. Berikut ini akan kami sebutkan waktu-waktu yang disenangi Rasulullah saw dalam mengerjakan shalat-shalat tersebut. Orang yang meniru beliau dengan ikhlas niscaya mendapatkan pahala yang lebih dari Allah swt
1. Disunnahkan mengerjakan shalat Zhuhur di awal waktu
عن جابر بن سمرة قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي الظهر إذا دحضت الشمس
Dari Jabir bin Samurah ra, dia berkata : Dahulu Rasulullah saw biasa mengerjakan shalat zhuhur ketika matahari mulai bergeser ke barat (HR. Muslim [618]).
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan disunnahkan mengerjakan shalat zhuhur di awal waktu, dan inilah pendapat yang dipegang oleh asy-Syafi’I dan jumhur (mayoritas ulama).” (Syarh Nawawi, 3/429). Hal ini berlaku apabila panas tidak sangat terik
2. Disunnahkan menunda shalat zhuhur apabila panas sangat terik
عن أبي هريرة أنه قال:إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إذا اشتد الحر فأبردوا بالصلاة. فإن شدة الحر من فيح جهنم
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Apabila panas sangat terik maka tunggulah sampai agak dingin untuk mengerjakan shalat, karena sesungguhnya panas yang sangat terik itu berasal dari pancaran panas Jahannam” (HR. Bukhari [536] dan Muslim [615]).
Bukhari rahimahullah mencantumkan hadits ini di dalam bab ‘Menunda zhuhur hingga cuaca agak dingin ketika suasana sangat terik’ (lihat Sahih al-Bukhari, hal. 123. cet Maktabah al-Iman). al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa perintah untuk menunda shalat hingga cuaca agak dingin adalah perintah anjuran/istihbab (lihat Fathul Baari, 2/20).
An-Nawawi rahimahullah menyatakan, hadits ini beserta hadits-hadits lain yang semakna menunjukkan disunnahkannya untuk menunda shalat [zhuhur] sampai cuaca agak dingin. Itulah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama dan ditegaskan oleh Asy-Syafi’i rahimahullah. Bahkan inilah pendapat yang diikuti oleh mayoritas para sahabat berdasarkan banyaknya hadits sahih yang menunjukkan bahwa Nabi saw melakukannya dan juga memerintahkannya dalam berbagai kesempatan (lihat Syarah Nawawi, 3/426).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, ungkapan Nabi apabila panas sangat terik secara tersirat menunjukkan bahwa apabila panasnya tidak terik maka tidak disyariatkan untuk menunda [shalat zhuhur] hingga cuaca mendingin, demikian pula apabila cuacanya memang sudah dingin maka lebih tidak disyariatkan lagi untuk menundanya (lihat Fathul Baari, 2/20).
3. Disunnahkan menyegerakan shalat ‘Ashar
عن أنس بن مالك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم:كان يصلي العصر والشمس مرتفعة حية، فيذهب الذاهب إلى العوالي، فيأتي العوالي والشمس مرتفعة.ولم يذكر قتيبة: فيأتي العوالي.
Dari Anas ra Rasulullah saw dahulu shalat ‘Ashar dalam keadaan matahari masih cukup tinggi dan masih agak panas. Sehingga apabila ada seseorang yang pergi menuju kota di sekitar Madinah (sesudah shalat) niscaya dia akan sampai di sana dalam keadaan matahari masih cukup tinggi (Bukhari [550] dan Muslim [621]).
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan hadits ini menunjukkan bahwa Nabi saw menyegerakan shalat Ashar, hal itu dikarenakan di situ disebutkan bahwa ketika orang-orang kembali dari pergi menempuh perjalanan sejarak 4 mil (ke kota lain di sekitar Madinah setelah shalat dikerjakan. pent) ternyata matahari masih cukup tinggi (Fathul Baari, 2/35). Oleh sebab itu An-Nawawi memberikan judul untuk bab yang mencantumkan hadits ini dengan ‘Disunnahkan bergegas mengerjakan shalat ‘Ashar [di awal waktu]‘ (lihat Syarh Nawawi, 3/429).
4. Disunnahkan menyegerakan shalat Maghrib
رافع بن خديج يقول:كنا نصلي المغرب مع رسول الله صلى الله عليه وسلم. فينصرف أحدنا وإنه ليبصرمواقع نبله
Dari Rafi’ bin Khadij ra, dia menceritakan, “Dahulu kami biasa mengerjakan shalat maghrib bersama Nabi saw, kemudian setelah itu apabila ada salah seorang di antara kami yang pulang ke rumah maka dia masih bisa melihat tempat-tempat jatuhnya anak panahnya.” (HR. Bukhari [559] dan Muslim [637]). Hal itu menunjukkan bahwa mereka mengerjakan shalat maghrib di awal waktunya (lihat Fathul Baari, 2/50 dan Syarh Nawawi, 3/442)
Dari Uqbah bin Amir ra, Nabi saw bersabda, “Umatku senantiasa berada dalam kebaikan atau di atas fitrah selama tidak mengakhirkan shalat Maghrib sampai bintang-bintang mulai tampak bertaburan.” (HR. Abu Dawud [354]).

5. Disunnahkan mengakhirkan shalat ‘Isyak bila memungkinkan
عن عائشة قالت: أعتم النبي صلى الله عليه وسلم ذات ليلة. حتى ذهب عامة الليل. وحتى نام أهل المسجد. ثم خرج فصلى. فقال "إنه لوقتها. لولا أن أشق على أمتي" وفي حديث عبدالرزاق "لولا أن يشق على أمتي".
Dari ‘Aisyah ra, beliau berkata, Nabi saw mengerjakan shalat di akhir malam pada suatu saat sampai-sampai sebagian besar waktu malam telah berlalu dan sampai orang-orang yang di masjid tertidur. Kemudian beliau bersabda, “Inilah waktu yang paling utama (untuk shalat Isyak) seandainya aku tidak khawatir menyusahkan umatku (niscaya aku akan mengakhirkannya)” (HR. Muslim [638]).
Yang dimaksud mengakhirkan adalah mengerjakannya dengan diakhirkan sebelum pertengahan malam, karena tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat bahwa mengerjakan shalat Isyak selepas pertengahan malam adalah lebih utama (Syarh Nawawi, 3/444)
6. Disunnahkan mengerjakan shalat Shubuh di awal waktu
عن عائشة؛ قالت:لقد كان نساء من المؤمنات يشهدن الفجر مع رسول الله صلى الله عليه وسلم. متلفعات بمروطهن. ثم ينقلبن إلى بيوتهن وما يعرفن
Dari ‘Aisyah ra, beliau berkata, Dahulu wanita-wanita beriman di jaman Nabi ikut menghadiri shalat Fajar bersama Rasulullah saw dalam keadaan tertutupi pakaian yang menyelimuti kepala dan tubuh mereka. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika shalat sudah selesai, tidak ada seorangpun yang mengenali mereka karena keadaan masih gelap” (HR. Bukhari [578] dan Muslim [645]).
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits-hadits ini terdapat hukum disunnahkannya menyegerakan shalat Shubuh, inilah mazhab Malik, Syafi’i, Ahmad dan Jumhur/mayoritas ulama,…” (Syarah Muslim 3/4)

C. Waktu yang Dilarang untuk Shalat
Dalam hadits telah menerangkan tentang waktu yang dilarang untuk melaksanakan shalat,
عن عقبة بن عامر قال:ثلاث ساعات كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهانا أن نصلي فيهن. أو أن نقبر فيهن موتانا: حين تطلع الشمس بازغة حتى ترتفع. وحين يقوم قائم الظهيرة حتى تميل الشمس. وحين تضيف الشمس للغروب
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra, beliau berkata : Ada tiga waktu yang Rasulullah saw melarang kami dari mengerjakan shalat dan menguburkan orang yang mati diantara kami di waktu tersebut : yaitu ketika matahari mulai terbit hingga meninggi, ketika bayangan tepat dibawah benda hingga matahari tergelincir dari tengah-tengah, ketika matahari condong ke arah barat akan tenggelam hingga tenggelam (HR. Muslim [831]).
Nabi saw telah menerangkan alasan larangan ini yaitu karena ketika matahari terbit ia berada di antara dua tanduk syetan, dan ketika matahari tepat di atas kepala api jahannam sedang dinyalakan, sedangkan ketika matahari tenggelam ia berada diantara dua tanduk syetan, dan ketika itulah orang-orang kafir bersujud. Shalat yang terlarang dilakukan pada waktu-waktu tersebut adalah shalat sunnah mutlak yang tidak memiliki sebab, sehingga di waktu itu boleh mengerjakan shalat bagi orang yang mau mengqadha’ shalat yang terlewatkan baik itu shalat sunnah maupun shalat wajib, atau shalat sesudah wudhu, dan shalat tahiyatul masjid (diringkas dari al-Wajiz, hal. 64-66).
‘Amr bin ‘Abasah ra menceritakan tentang pertemuannya dengan Nabi saw di Madinah setelah sebelumnya ia pernah bertemu dengan beliau ketika masih bermukim di Makkah. Saat bertemu di Madinah ini, ‘Amr bertanya kepada beliau tentang shalat maka Beliau memberi jawaban:

صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ؛ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُوْرَةٌ، حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ حِيْنَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ. فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُوْدَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari. Kemudian shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga tombak tidak memiliki bayangan, kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat karena ketika itu neraka Jahannam dinyalakan/dibakar dengan nyala yang sangat. Apabila telah datang bayangan (yang jatuh ke arah timur/saat matahari zawal) shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga engkau mengerjakan shalat ashar (terus boleh mengerjakan shalat sampai selesai shalat ashar, pent.), kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat hingga matahari tenggelam karena matahari tenggelam di antara dua tanduk syaitan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari.” (HR. Muslim no. 1927)
Al-Imam An Nawawi rahimahullahu berkata, “Umat sepakat tentang dibencinya shalat yang dikerjakan tanpa sebab pada waktu-waktu terlarang tersebut. Mereka juga sepakat bolehnya mengerjakan shalat fardhu yang ditunaikan pada waktu-waktu terlarang tersebut. Adapun untuk shalat nawafil (shalat sunnah) yang dikerjakan karena ada sebab, mereka berbeda pendapat. Seperti shalat tahiyatul masjid, sujud tilawah dan sujud syukur, shalat id, shalat kusuf (gerhana), shalat jenazah dan mengqadha shalat yang luput dikerjakan. Mazhab Asy-Syafi’i dan satu kelompok membolehkan semua itu tanpa ada karahah (kemakruhan). Mazhab Abu Hanifah dan yang lainnya memandang semuanya masuk ke dalam larangan karena keumuman hadits-hadits yang melarang. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan orang-orang yang sependapat dengannya berargumen bahwa telah tsabit (shahih) dari perbuatan Nabi saw bahwa beliau mengqadha shalat sunnah yang mengikuti shalat zhuhur setelah shalat ashar. Ini jelas menunjukkan tentang bolehnya mengqadha shalat sunnah yang luput dikerjakan pada waktunya. Tentunya kebolehan untuk mengerjakan shalat sunnah yang memang pada waktunya lebih utama lagi. Dan mengerjakan shalat faridhah (wajib) yang diqadha karena luput dari waktunya lebih utama lagi. Termasuk dalam kebolehan ini adalah shalat yang dikerjakan karena ada sebab.” (Al-Minhaj, 6/351)
Adapun beberapa waktu yang dilarang untuk melaksanakan shalat berdasarkan dalil dari hadits Nabi saw, diantaranya sebagai berikut
1. Sesudah shalat shubuh hingga munculnya matahari
عن ابى هريرة نهى النبى صلى ا الله عليه و سلم عن ا لصلا ة بعد ا لصبح حتى تطلع ا لشمس
Dari Abu Hurairah, ”Nabi Saw. Telah melarang shalat sesudah shalat shubuh hingga terbit matahari.” (HR Bukhari dan Muslim)
2. Ketika munculnya matahari hingga naik matahari setinggi tombak (pukul 8.00-9.00) jam Zawaliyah
3. Ketika waktu istiwa’ hingga bergeser, kecuali di hari Jum’at
عن ابى هريرة نهى النبى صلى ا الله عليه و سلم عن ا لصلا ةنصف النهارحتى تزول الشمس الايوم الجمعة
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. Telah melarang sholat pada waktu tengah hari tepat sampai tergelincir matahari kecuali hari Jum’at ( HR, Abu Daud)
4. Sesudah shalat ashar hingga tenggelamnya matahari
عن ابى هريرة نهى النبى صلى ا الله عليه وسلم عن الصلاةبعدالعصر
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw.telah melarang shalat sesudah shalat ashar(HR. Muslim)

5. Ketika matahari tenggelam hingga sempurna tenggelamnya
عن عقبة بن عامر قال:ثلاث ساعات كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهانا أن نصلي فيهن. أو أن نقبر فيهن موتانا: حين تطلع الشمس بازغة حتى ترتفع. وحين يقوم قائم الظهيرة حتى تميل الشمس. وحين تضيف الشمس للغروب
Dari Uqbah bin Amir, “Ada tiga waktu di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di timur dan di barat) sampai matahari tergelincir dan ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim)



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjabaran di atas, sholat lima waktu adalah rukun Islam yang kedua dan wajib dilaksanakan bagi setiap muslim. Dimana didalam pelaksanaannya berdasarkan dalil-dalil yang terdapat Al Qur’an dan Al Hadits menerangkan bahwa sholat telah ditentukan waktunya. Maka dari itu, dalam pelaksanaan shalat lima waktu harus sesuai dengan waktu. Sehingga wajib diketahui bagi setiap muslim, sesuai dengan petunjuk dari al Qur’an dan Al Hadits yang menjadi pedoman umat muslim dalam memenuhi panggilan dari Allah swt untuk beribadah kepada-Nya.
B. Saran
Sholat lima waktu merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan bagi setiap muslim, dimana pelaksanaannya sesuai waktu yang telah ditentukan. Maka, bagi kaum akademisi dan umat muslim lainnya harus melaksanakan sholat pada waktunya, sesuai dengan petunjuk dari Al Qur’an dan Al Hadits.

DAFTAR PUSTAKA
Al Ashqalani, Ibnu Hajar. Terjemah Buluighul Maram; penerjemah Muh. Syarief Sukandy. Cet. VIII. Bandung: Al Ma’arif. 1986
Al Ashqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari; penerjemah Amiruddin,Lc. Jakarta: Pustaka Azzam. 2003
Imam Abu Dawud. Sunan Abu Dawud.
Imam Bhukari. Shahih Bukhari.
Imam Muslim. Shahih Muslim.
Imam Nawawi. Shahih Muslim Syarah Nawawi.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Madzab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali; penerjemah Maskur, Afif Muhammad. Cet. V. Jakarta: Lentera. 2006
Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. 1994
Umar Abdul Jabar. Al Mabadi’ Al Fiqhiyyah; Juz III,

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Zay Arief