Senin, 19 Maret 2012

FIQH MUMALAH : HAK MILIK DAN AKAD

Oleh : Zaenal Arifin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Allah telah menjadikan manusia sebagai wakilnya (khalifah) di atas bumi. Oleh karenanya, Allah menciptakan semua yang ada di atas bumi ini untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umat manusia. Pemberian status ini dilengkapi dengan pemberian pedoman atau petunjuk bagi mereka, agar bisa memperoleh keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat. Petunjuk Allah yang terakhir berbentuk ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Manusia itu sendiri adalah mahluk sosial, dimana satu individu membutuhkan individu yang lain dalam menghadapi berbagai persoalan hidup untuk memenuhi kebutuhan antara yang satu dengan yang lainnya. Karena setiap manusia mempunyai kebutuhan, sering terjadi pertentangan-pentertangan kehendak. Oleh karena itu, untuk menjaga keperluan masing-masing perlu ada aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia agar tidak melanggar hak-hak yang lainnya. Maka, timbullah hak dan kewajiban diantara sesama manusia salah satunya adalah hak milik sebagai salah satu fitrah manusia yang Allah ciptakan bagi mereka. Pemilik sesungguhnya dari sumber daya yang ada, adalah Allah SWT, manusia dalam hal ini hanya dititipkan untuk sementara saja. Sehingga sewaktu-waktu dapat diambil kembali oleh Allah SWT. Oleh sebab itu kepemilikan mutlak atas harta tidak diakui dalam Islam. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah ayat 284: لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada didalam hati mu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmun itu. Maka Allah mengampuni siapa yang di kehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya, dan Alllah Maha Kuasa atas segala sesuatu” Manusia adalah khalifah atas harta miliknya, hal ini dijelaskan dalam QS. Al-Hadiid ayat 7: آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ “Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar” Dari dua ayat tersebut dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa konsep kepemilikan dan harta dalam Islam tidak mengenal kepemilikan yang mutlak sebagaimana yang terdapat dalam konsep ekonomi konvensional. Harta yang dimiliki merupakan suatu ujian bagi manusia, agar manusia selalu mengingat nikmat Allah SWT atas karunia yang telah diberikan. Di sisi yang lain, Islam telah mengatur dalam syariatnya terhadap pengelolaan harta, baik mulai dari cara pemerolehannya maupun dalam pemanfaatannya. Harta yang diperoleh melalui usaha langsung maupun melalui transaksi yang dalam prosesnya ditentukan oleh keberadaannya akad yang telah disepakati. Hal ini begitu penting, bagaimana harta seseorang itu diperoleh dan hartanya digunakan untuk apa yang akan menjadi pertanyaan Allah di hari kiamat. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, hak milik dan akad merupakan hal dan peristiwa yang tidak terlepaskan dalam kehidupan manusia sebagai khalifah di bumi. Islam telah memberikan pedoman bagi umat manusia bagaimana mengelola hak miliknya (harta) dan bagaimana akad yang disepakati dalam perolehan harta tersebut. Maka dari itu, dalam makalah ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana hak milik menurut perspektif Islam? 2. Bagaimana akad dalam perspektif Islam? BAB II PEMBAHASAN A. Hak Milik dalam Islam Hak milik merupakan salah satu fitrah yang telah Allah ciptakan untuk umat manusia. Islam dalam ajarannya memberikan manusia pedoman dalam melakukan hubungan muamalahnya terhadap orang lain melalui kacamata hukum Islam yang kita sebut dengan fiqh muamalah. Diantaranya, hak milik dikaji untuk diketahui dan dianuti oleh umat Islam itu sendiri. 1. Pengertian Hak dan Milik Kata hak berasal dari bahasa Arab (الحق) al-haqq, yang secara etimologi memiliki beberapa pengertian yang berbeda, di antaranya berarti: milik, ketetapan dan kepastian, menetapkan dan menjelaska, bagian (kewajiban),dan kebenaran. Hak berarti ketetapan dan kepastian, seperti dalam QS Yasin 7: لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلَى أَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لا يُؤْمِنُونَ “Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman”. Hak berarti menetapkan dan menjelaskan, tercantum dalam QS al-Anfal 8: لِيُحِقَّ الْحَقَّ وَيُبْطِلَ الْبَاطِلَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ “agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya”. Hak berarti bagian (kewajiban), tercantum dalam QS al-Baqarah 241: وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang makruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa”. Hak berarti kebenaran sebagai lawan dari kebatilan, tercantum dalam QS Yunus 35: قُلْ هَلْ مِنْ شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ... Katakanlah: "Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?" Dalam terminologi fikih terdapat beberapa pengertian al-haqq yang dikemukakan oleh para ulama fikih, Abdul Rahman Ghazaly dkk mengutip beberapa pengertian hak, diantaranya : Menurut Wahbah al-Zuhaily : الحكم الثابت شرعا “Suatu hukum yang telah ditetapkan oleh syara’.” Menurut Syeikh Ali al-Kalif, ahli fikih asal Mesir : مصلحة مستحقة شرعا “Kemaslahatan yang diperoleh secara syara’.” Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa’, ahli fikih Yordania: اختصاص يقرربه الشرع سلطة “Kekhususan yang ditetapkan syara’ atas suatu kekuasaan”. Menurut Ibn Nujaim mendefinisikan lebih singkat dengan : اختصاص خائز “Suatu kekhususan yang terlindung”. Menurut Wahbah al-Zuhaily, ahli fikih kontemporer asal Suriah, bahwa definisi hak yang komprehensif adalah yang dikemukakan oleh Ibnu Nujaim dan Mustafa Ahmad al Zarqa’. Karena dari kedua sisi itu tercakup beberapa macam hak, seperti hak-hak Allah swt terhadap hamba-Nya (shalat, puasa dan lain-lain), hak-hak yang menyangkut perkawinan, hak-hak umum (hak negara dan hak harta benda, dan hak nonmateri (hak perwalian atas seseorang). Milik atau (الملك) al-milku berasal dari kata “ ملكا – يملك – ملك “, malaka asy syaia yang berarti memiliki atau mempunyai sesuatu. Milik menurut bahasa berarti pemilikan atas sesuatu (harta) dan kewenangan bertindak secara bebas terhadapnya. Milk juga diartikan sebagi hubungan seseorang dengan suatu harta yang diakui syara’, yang menjadikannya mempunyai kekuasaan keluasaan terhadap harta itu, sehingga ia dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, kecuali adanya halangan syara’. Secara terminologi, al-milk didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahrah : إختصاص يمكن صاحبه شرعا أن يستبد بالتصرف والإنتفاع عند عدم المانع الشرعي “Pengkhususan seseorang terhadap pemilik sesuatu benda menurut syara’ untuk bertindak secara bebas dan bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang yang bersifat syara’.” Contohnya halangan syara’ antara lain; orang itu belum cakap hukum, misalnya anak kecil, orang gila, atau kecakapan hukumnya hilang. Artinya bahwa, apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara`, orang tersebut bebas bertindak atas benda tersebut, baik akan dijual atau digadaikan, baik dia sendiri yang melakukannya maupun melalui perantara orang lain. Perbedaan antar hak dan milik, dicontohkan sebagai berikut : Seseorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada dibawah ampuanya. Pengampu punya hak untuk membelanjakan harta itu dan pemilikinya adalah orang yang berada di bawah ampuanya. Jadi, tidak semua yang memiliki berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki. Hak adakalanya merupakan sulthah (kekuasaan), dan adakalanya merupakan taklif (tanggung jawab). a. Sulthah terbagi menjadi dua, yaitu sulthah ‘ala al nafsi : hak seseorang terhadap jiwa; sulthah ‘ala syai’in mu’ayyanin : hak manusia untuk memiliki sesuatu b. Taklif adalah orang yang bertanggung jawab. Taklif adakalanya tanggungan pribadi (‘ahdah syakhshiyyah), seperti seorang buruh menjalankan tugasnya; adakalanya tanggungan harta (‘ahdah maliyah), seperti membayar utang. 2. Sebab-Sebab Pemilikan Para ulama fikih menyatakan bahwa ada empat cara pemilikan harta yang disyariatkan Islam : 1. Melalui penguasaan harta yang belum dimiliki orang atau lembaga hukum lainnya, yang dalam Islam disebut harta mubah. Contoh: bebatuan di sungai yang belum dimiliki ole seseorang atau lembaga tertentu, apabila seseorang mengambil bebatuan tersebut untuk dibawanya pulang, maka bebatuan tersebut menjadi miliknya dan orang lain tidak boleh mengambil batu tersebut yang telah dikuasainya. 2. Melalui transaksi yang ia lakukan dengan orang atau lembaga hukum, seperti jual beli, hibah, dan wakaf. 3. Melalui peninggalan seseorang, seperti menerima harta warisan dari ahli warisnya yang wafat. 4. Hasil/buah dari harta yang telah dimiliki seseorang, sama ada hasil itu datang secara alami, seperti buah pohon di kebun, anak sapi yang lahir, atau melalui suatu usaha pemiliknya, seperti hasil usahanya sebagai pekerja, atau keuntungan dagang yang diperoleh seorang pedagang. 3. Hikmah Kepemilikan Dengan mengetahui cara-cara pemilikan harta menurut syariat Islam, banyak hikmah yang dapat digali untuk kemaslahatan manusia, antar lain: 1. Manusia tidak boleh sembarangan memiliki harta, tanpa mengetahui aturan-aturan yang berlaku yang telah disyariatkan oleh Islam. 2. Manusia akan mempunyai prinsip bahwa mencari harta itu harus dengan cara-cara yang baik, benar dan halal. 3. Memiliki harta bukan hal yang mutlak bagi manusia, tetapi merupakan suatu amanah (titipan) dari Allah swt yang harus digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan hidup manusia dan disalurkan di jalan Allah untuk memperoleh ridha-Nya. 4. Menjaga diri agar tidak terjerumus kepada hal yang telah diharamkan oleh syra` dalam memiliki harta. 5. Manusia akan hidup tenang dan tenteram apabila dalam mencari dan memiliki harta itudilakukan dengan cara-car yang baik, benar dan halal, kemudian digunakan dan dimanfaatkan sesuai denmgan panduan (aturan-aturan) Allah swt. B. Akad dalam Islam 1. Pengertian Akad Kata akad berasal dari bahasa Arab (العقد) al-aqd yang secara etimologi berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). Secara terminologi fikih, akad didefinisikan dengan : إرتباط إيجاب بقبول على وجه مشروع يثبت أثره فى محله “Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan”. Yang dimaksud dengan “sesuai dengan kehendak syariat” adalah bahwa seluruh perikatan yang di lakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Adapun pencantuman kalimat ”berpengaruh pada objek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak yang lain (yang menyatakan kabul). Hasbi Ash Shiddieqy, yang mengutip definisi yang dikemukakan Al-Sanhury, akad ialah: إرتباط إيجاب بقبول على وجه مشروع يثبت التراضى “Perikatan ijab dan kabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan kerelaan kedua belah pihak”. Ada pula yang mendefinisikan, akad ialah: ربط أجزاء التصرف بالإيجاب والقبول شرعا “Ikatan atas bagian-bagian tashrruf (pengelolaan) menurut syara’ dengan cara serah terima”. Adapun menurut syara’, akad adalah hubungan antara ijab dan kabul dengan cara yang dibolehkan oleh syariat yang mempuyai pengaruh secara langsung. Ini artinya bahwa akad termasuk dalam kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandangan syara’ antara dua orang sebagai hasil dari kesepakatan antara keduanya yang kemudian dua keinginan itu dinamakan ijab dan kabul. 2. Rukun-Rukun dan Syarat-syarat Akad Menurut jumhur ulama menyatakan bahwa rukun akad terdari : 1) ‘Aqid, adalah orang yang berakad; terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu orang; ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang. Seseorang yang berakad terkadang orang memiliki hak (‘aqid ashli) dan merupakan wakil dari yang memiliki hak. 2) Ma’qud ‘alaih, ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hiba (pemberian), gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah. 3) Maudhu‘ al-‘aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad maka berbeda pula tujuan pokok akad. Misalnya, akad jual belitujuan pokoknya adalah memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti; tujuan pokok akad hibah yaitu memindahkan barang ari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa pengganti (‘iwadh). 4) Shighat al-`aqd ialah ijab kabul. Ijab adalah pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang mengandung keinginannya secara pasti untuk mengikatkan diri. Adapun kabul adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukkan persetujuannya untuk mengikat diri. Atas dasar ini, setiap pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang ingin mengikat diri dalam suatu akad disebut mujib (pelaku ijab) dan setiap pernyataan kedua yang diungkapkan oleh pihak lain setelah ijab disebut qabil (pelaku kabul). Dalam kaitannya dengan ijab dan kabul ulama fikih mensyaratkan: a. Tujuan pernyataan itu jelas sehingga dapat dipahami dari pernyataan itu jenis akad yang dikehendaki karena akad-akad itu sendiri berbeda dalam sasaran dan hukumnya. b. Antara ijab dan kabul terdapat kesesuaian. c. Pernyatan ijab dan kabul itu mengacu kepada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti dan tidak ragu-ragu. Para ulama fikih menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad, yaitu: a. Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya dua ‘aqid berjauhan tempatnya, maka ijab dan kabul boleh dengan kitabah. Atas dasar inilah para fuqaha membentuk kaidah “tulisan itu sama dengan ucapan”. Dengan ketentuan, kitabah tersebut dapat dipahami kedua belah pihak. b. Isyarat bagi orang-orang tertentu, akad atau ijab dan kabul tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan atau tulisan, misalnya seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab kabul dengan bahasa, orang yang tidak pandai tulis baca tidak mampu mengadakan ijab dan kabul dengan tulisan. Jadi, akad dilakukan dengan isyarat. Maka dibuatkan kaidah “isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah” c. Ta’athi (saling memberi), seperti yang dilakukan pemberian kepada seseorang dan orang tersebut memberikan imbalan kepada orang yang memberi tanpa ditentukan besar imbalannya. d. Lisan al-hal, apabila seseorang meninggalkan barang-barang dihadapan orang lain, kemudian dia pergi dan orang yang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja, hal itu dipandang telah ada akad ida’ (titipan) antara orang yang meletakkan barang dan yang menghadapi barang titipan ini dengan jalan dalalah al-hal. 3. Syarat-Syarat Akad Syarat-syarat umum suatu akad adalah sebagai berikut : 1) Pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindak hukum (mukallaf) atau jika objek akad itu merupakan milik orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab itu, suatu akad yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil secara langsung hukumnnya tidak sah. Tetapi, jika dilakukan oleh wali mereka dan sifat akad yang dilakukan wali ini memberikan manfaat bagi orang yang diampunya, maka akad itu hukumnya sah. 2) Objek akad itu diakui oleh syara’. Objek akad disyaratkan berbentuk harta, dimiliki oleh seseorang, dan bernilai harta menurut syara’. 3) Akad itu tidak dilarang oleh syara’. Atas dasar syarat ini, seorang wali (pengelola anak kecil) tidak boleh menghibahkan harta anak kecil tersebut. Alasannya adalah melakukan suatu akad yang sifatnya menolong semata (tanpa imbalan) terhadap harta anak kecil tidak dibolehkan syara’. Oleh sebab itu, apabila wali menghibahkan harta anak kecil yang berada dibawah pengampuannya, maka akad itu batal menurut syara’. 4) Akad itu berfaedah, 5) Ijab tetap utuh dan sahih sampai terjadinya kabul. Apabila ijab tidak utuh dan tidak sahih lagi ketika kabul diucapkan, maka akad tidak sah. 6) Tujuan akad itu jelas dan diakui syara’. Tujuan akad ini terkait erat dengan berbagai bentuk akad yang dilakukan. Adapun syarat khusus suatu akad, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini dapat juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada di samping syarat-syarat yang umum di atas, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan. 4. Macam-Macam Akad Para ulama fikih mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dilihat dari beberapa segi. Jika dilihat dari segi keafsahannya menurut syara`, akad terbagi menjadi dua yaitu : 1) Akad sahih, ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad sahih adalah berlakunya seluruh akibat hukum yan ditimbulkan akad itu dan mengikat kepada pihak-pihak yang berakad. Akad yang sahih ini dibagi lagi oleh ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadi dua macam, yaitu a. Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), ialah akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya, dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya. b. Akad mawquf, ialah akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad ini, seperti akad yang dilangsungkan oleh anak kecil yang telah mumayyiz. Jika dilihat dari sisi mengikat atau tidaknya akad yang sahih itu, para ulama fikih membanginya kepada dua macam, yaitu: a. Akad yang bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain, seperti akad jual beli dan sewa menyewa. b. Akad yang tidak bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, seperti dalam akad perwakilan (al-wakalah), pinjam-meminjam (al-‘ariyah) dan barang titipan (al-wadhi’ah). Akad yang mengikat bagi pihak-pihak yang melangsungkan akad itu dibagi menjadi tiga macam oleh para ulama fikih, yaitu: a. Akad yang mengikat dan tidak dapat dibatalkan sama sekali. Akad perkawinan termasuk akad yang tidak boleh dibatalkan, kecuali dengan cara-cara yan dibolehkan syara, seperti talak dan khulu’. b. Akad yang mengikat tetapi dapat dibatalkan atas kehendak kedua belah pihak, seperi akad jual beli, sewa menyewa, perdamaian, al-muzara’ah (kerjasama dalam pertanian) dan al-musaqah (kerjasama dalam perkebunan) dalam akad-akad seperti ini berlaku khiyar (hak memilih untuk meneruskan akad yang telah memenuhi rukun dan syaratnya atau membatalkannya). c. Akad yang hanya mengikat salah satu pihak yang berakad, seperti akad al-rahn dan al-kafalah. 2) Akad yang tidak sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan ada rukun atau syarat-syaratnya sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Ulama Hanafiyah membagi akad yang tidak sahihmenjadi dua macam, yaitu akad yang batil dan fasid. a. Akad batil, yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara.misalnya, objek jual beli tidak jelas, atau terdapat unsur penipuan b. Akad fasid adalah akad yang pada dasarnya disyariatkan akan tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas, misalnya menjual rumah atau kendaraan yang tidak menunjukkan tipe, jenis dan bentuknya. Akan tetapi, jumhur ulama fikih menyatakan bahwa akad yang batil dan fasid mengandung esensi yang sama yaitu tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan hukum apapun. Ditinjau dari segi penamaannya, para ulama fikih membagi akad kepada dua macam: 1) Al-‘Uqud al-musamma, yaitu akad yang ditentukan namanya oleh syara serta dijelaskan hukumnya, seperti jual beli, sewa-menyewa, perserikatan, hibah, al-wakalah, wakaf, al-hiwalah, al-ji’alah, wasiat dan perkawinan. 2) Al-‘Uqud ghair al-musamma, ialah akad-akad yang penamaannya dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka di sepanjang zaman dan tempat, seperti al-istishna’, dan bai’i al-wafa. 5. Berakhirnya Akad Para lama fiqkih menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir apabila terjadi hal-hal sebagi berikut : 1) Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu. 2) Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat. 3) Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika akad itu fasid, berlaku khiyar syarat, khiyar aib atau khiyar ruqyah, akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak, tercapainya tujuan akad tersebut secara sempurna. 4) Wafatnya salah satu pihak yang berakad. Tetapi para ulama fikih menyatakan bahwa tidak semua akad otomatis berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan akad. Akad yang dapat berakhir dengan wafatnya salah satu pihak yang melaksanakan akad diantaranya adalah akad sewa-menyewa, al-rahn, al-kafalah, al-syirkah, al-wakalah dan al-muzara’ah. Akad juga berakhir dalam ba’i al-fudhul (suatu bentuk jual beli yang keabsahan akadnya tergantung pada persetujuan orang lain) apabila tidak mendapat persetujuan dari pemiliki modal. 6. Hikmah Akad Diadakanya akad dalam muamalah antarsesama manusia tentu mempunyai hikmah, antara lain : 1) Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih didalam bertransaksi atau memiliki sesuatu. 2) Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan sesuatu perjanjian, karena telah diatur secara syar`i. 3) Akad merupakan”payung hukum” didalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinya.   BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Islam telah mengajarkan manusia dalam kegiatan bermuamalahnya harus berdasarkan pedoman hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Hukum Islam telah mengatur dalam fiqh muamalah berkaitan hak milik dan akad yang sifatnya sangat urgen sekali untuk diterapkan dalam membimbing kemasyarakatan umat manusia sebagai kalifah di bumi. Hak milik adalah pengkhususan seseorang terhadap pemilik sesuatu benda menurut syara’ untuk bertindak secara bebas dan bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang yang bersifat syara’. Cara pemilikan harta yang disyariatkan Islam yaitu melalui penguasaan harta yang belum dimiliki orang; melalui transaksi; melalui peninggalan seseorang; hasil/buah dari harta yang telah dimiliki seseorang. Sedangkan akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek perikatan. Rukun akad terdari dari ‘aqid (orang yang berakad); ma’qud ‘alaih, (benda-benda yang diakadkan); maudhu‘ al-‘aqd (tujuan atau maksud pokok mengadakan akad); dan shighat al-`aqd (ijab kabul). Syarat-syarat umum suatu akad adalah 1) pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindak hukum (mukallaf) atau jika objek akad itu merupakan milik orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya; 2) Objek akad itu diakui oleh syara’; 3) Akad itu tidak dilarang oleh syara’; 4) Akad itu berfaedah; 5) Ijab tetap utuh dan sahih sampai terjadinya kabul; 6) Tujuan akad itu jelas dan diakui syara’. Adapun syarat khusus suatu akad, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Macam-macam akad dilihat dari segi keafsahannya menurut syara`, akad terbagi menjadi dua yaitu : 1) Akad sahih, ialah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. a) Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan); b) Akad mawquf, ialah akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad. 2) Akad yang tidak sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan ada rukun atau syarat-syaratnya sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. a) Akad batil, yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’. b) Akad fasid adalah akad yang pada dasarnya disyariatkan akan tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Akad dapat berakhir apabila terjadi hal-hal sebagi berikut : 1) Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu; 2) Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat. 3) Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika akad itu fasid, berlaku khiyar syarat, khiyar aib atau khiyar ruqyah, akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak, tercapainya tujuan akad tersebut secara sempurna. 4) Wafatnya salah satu pihak yang berakad.   DAFTAR PUSTAKA al-Qardhawi, Yususf, Anatomi Masyarakat Islam, penerj. Setiawan Budi Utomo, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999. Ash Shiddieqy, Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang,: Pustaka Rizki Putra, 1997. Azzam, Abdul Aziz Muhammad, Fikih Muamalah Sistem Transaksi dalam Islam, Jakarta: Amzah, 2010. Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996. Ghazaly, Abdul Rahman, Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana, 2010. Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah da Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Hadiah dari Khadim al-Haramain asy-Syarifudin) Raja Fahd ibn Abdul Aziz al Sa’ad, 1422 H. Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1989. Zahrah, Muhammad Abu, al-Milkiyah wa Nadhariyah al-‘aqd fi al-syari’ah al-Islamiyah, Mesir: Dar al-Fikr, 1962.

1 komentar:

Lee Ji Min mengatakan...

Terima kasih atas artikelnya, tpi saya ada sedikit kritik nih. Tlg tulisannya agak diperbagus lagi supaya jelas

Posting Komentar

Design by Zay Arief