Senin, 18 Mei 2015

Fadhilah Shalawat yang Luar Biasa


Fadhilah Shalawat yang Luar Biasa

Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya dengan sungguh-sungguh (Q.S. Al-Ahzab ayat 56)
Semua sudah maklum, bahwa shalawat memiliki berbagai macam fadlilah (keutamaan). Diantaranya adalah hadis riwayat Amr ibn Ash
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عَمْرٍو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا رواه مسلم ،
Sesungguhnya Amr bin Al Ash RA mendengar Rosulullah SAW bersabda “Barang siapa yang membaca shalawat sekali saja, Allah SWT akan memberi rahmat padanya sebanyak sepuluh kali”

Dalam kitab Al Fawaid Al Mukhtaroh, Syaikh Abdul Wahhab Asy Sya’roni meriwayatkan bahwa Abul Mawahib Asy Syadzily berkata
رَأَيْتُ سَيِّدَ الْعَالَمِيْنَ صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ صَلاَةُ اللهِ عَشْرًا لِمَنْ صَلَّى عَلَيْكَ مَرَّةً وَاحِدَةً هَلْ ذَلِكَ لِمَنْ حَاضَرَ الْقَلْبَ ؟
Aku pernah bermimpi bertemu Baginda Nabi Muhammad SAW, aku bertanya “Ada hadis yang menjelaskan sepuluh rahmat Allah diberikan bagi orang yang berkenan membaca shalawat, apakah dengan syarat saat membaca harus dengan hati hadir dan memahami artinya?”
قَالَ لاَ، بَلْ هُوَ لِكُلِّ مُصَلٍّ عَلَيَّ وَلَوْ غَافِلاً
Kemudian Nabi menjawab “Bukan, bahkan itu diberikan bagi siapa saja yang membaca shalawat meski tidak faham arti shalawat yang ia baca”
Allah Ta’ala memerintahkan malaikat untuk selalu memohonkan do’a kebaikan dan memintakan ampun bagi orang tersebut. Terlebih jika ia membaca dengan hati hadir, pasti pahalanya sangat besar, hanya Allah yang mengetahuinya.
Bahkan, ada sebuah keterangan apabila kita berdo’a tidak dimulai dengan memuja Allah Ta’ala, tanpa membaca shalawat, kita disebut sebagai orang yang terburu-buru.
عن فَصَالَةَ بن عُبَيدْ رضى الله عنهما قَالَ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَجُلاً يَدْعُوْ فِىْ صَلاَتِهِ لَمْ يَحْمَدِ اللهَ تَعَالَى وَلَمْ يُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم عَجَّلَ هَذَا،
Baginda Nabi mendengar ada seseorang yang sedang berdo’a tapi tidak dibuka dengan memuja Allah ta’ala dan tanpa membaca shalawat, Nabi berkata “orang ini terburu-buru”
ثُمَّ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ اَوْ لِغَيْرِهِ اِذَا صَلَّى اَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيْدِ رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ يُصَلِّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَدْعُوْ بَعْدُ بِمَا شَاءَ، رواه ابو داود والترمذى وقال حديث صحيح.
Kemudian Baginda Nabi mengundang orang itu, lalu ia atau orang lainnya dinasehati “jika diantara kalian berdo’a, maka harus diberi pujian kepada Allah SWT, membaca shalawat, lalu berdoalah sesuai dengan apa yang dikehendaki”
Apalagi jika bertepatan pada hari Jum’at, maka perbanyaklah membaca shalawat di dalamnya.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إِنَّ مِنْ اَفْضَلِ اَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَاَكْثِرُوْا عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيْهِ فَاِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوْضَةٌ عَلَيَّ رواه ابو داود.
Sabda Rasulullah SAW “Hari yang paling mulia adalah hari Jum’at, maka perbanyaklah shalawat di hari itu, karena shalawat kalian dihaturkan kepangkuanku”.

Ulama’ sepakat bahwa shalawat pasti diterima, karena dalam rangka memuliakan Rasulullah SAW. Ada penyair yang berkata
أَدِمِ الصَّلاَةَ عَلَى مُحَمَّدٍ    فَقَبُوْلُهَا حَتْمًا بِغَيْرِ تَرَدُّدٍ
أَعْمَالُنَا بَيْنَ الْقَبُوْلِ وَرَدِّهَا  اِلاَّ الصَّلاَةَ عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ
Bacalah shalawat selalu, sebab shalawat pasti diterima.
Adapun amal yang lain mungkin saja diterima dan mungkin ditolak, kecuali shalawat. Shalawat pasti diterima. 

Supaya doa berhasil dan terkabul maka saat berdoa kita harus dengan adab dan tata cara yang tepat yaitu dimulai dengan memuji Allah SWT dan membaca shalawat. 
(KH.Shofie Baedlowi)

Sumber : www.nu.or.id

Kamis, 22 Januari 2015

Risalah Aswaja Syeikh Hasyim


Risalah Aswaja Syeikh Hasyim Asy’ari Bagian-1

Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU) merupakan satu dari sejumlah karya pendiri Jamiyyah Nahdlatul Ulama ini. Posisinya sebagai sebuah karya ke-Ulama-an penting untuk dijadikan sebagai referensi, utamanya oleh warga Nahdliyyin / warga NU. Seperti halnya dengan Qonun Asasi yang pernah ditampilkan di webiste ini, Risalah Aswaja ini mengupas tentang beberapa persoalan ke-Aswaja-an; seperti masalah Sunnah, Bid’ah, pentingnya bermazhab, mengikuti Ijma’ Ulama, mengetahui tentang hakikat Al Sawad Al A’dhom, petingnya berorganisasi dan kaidah-kaidah Ahlussunah Wal Jamaah lainnya . Risalah ini dibagi ke beberapa bagian, guna menghemat space posting. Berikut ini Risalah Aswaja Syeikh Hasyim Asy’ari Bagian-1.
Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah
MUKADDIMAH
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah, ‘Al-Hamdulillah sebagai sebuah ungkapan rasa syukur atas segala anugerah – Nya, Rahmat ta’dzim dan keselamatan mudah-mudahan terlimpah curahkan kepada NabiMuhammad SAW dan seluruh keluarganya. Apa yang akan hadir dalam kitab ini, saya tuturkan beberapa hal antara lain : Hadits hadits tentang kematian dan tanda-tanda hari Qiamat, penjelasan tentang Al-Sunnah dan Al Bid’ah dan beberapa hadits yang berisi nasehat-nasehat agama.
Kepada Allah Dzat Yang Maha Mulia kutengadahkan jari-jemari dengan penuh kekhusyu’an, kumohonkan agar kitab ini memberikan manfaat untuk diri kami dan orang-orang bodoh semisal kami. Mudah-mudahan Allah menjadikan amal kami sebagai amal Sholihah Liwajhillah al-Kariem, karena Ia-lah Dzat yang Maha Dermawan penuh kasih sayang. Dengan segala pertolongan Allah Dzat yang disembah, penyusunan kitab ini dimulai.
PASAL PENJELASAN TENTANG AL – SUNNAH DAN AL-BID’AH
Lafadz Al-Sunnah dengan dibaca dlammah sinnya dan diiringi dengan tasydid, sebagaimana dituturkan oleh Imam Al-Baqi dalam kitab Kulliyat-nya secara etimologi adalah Al-Thariqah, jalan, sekalipun yang tidak diridloi. Menurut terminologi syara’ : Al-Sunnah merupakan Al-Thoriqoh, jalan atau cara yang diridloi dalam menempuh agama sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rosulillah Saw atau selain beliau, yakni mereka yang memiliki otoritas sebagai panutan di dalam masalah agama seperti pada para sahabat R.A. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi:
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي
“Tetaplah kalian untuk berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya Al-Khulafaur Rasyidin, setelahku”.
Sedangkan menurut terminologi Urf, adalah pengetahuan yang menjadi jalan atau pandangan hidup yang dipegangi secara konsisten oleh tokoh yang menjadi panutan, apakah ia sebagai Nabiataupun wali. Adapun istilah Al-Sunny merupakan bentuk penisbatan dari lafadz Al-Sunnah dengan membuang ta’ marbuthah.
Lafadz Al-Bid’ah sebagaimana dikatakan oleh Al – Syekh Zaruq di dalam kitab Iddati al-Murid menurut terminologi syara’ adalah : “Menciptakan hal perkara baru dalam agama seolah-olah ia merupakan bagian dari urusan agama, padahal sebenarnya bukan, baik dalam tataran wacana, penggambaran maupun dalam hakikatnya. Hal ini didasarkan pada sabda NabiSAW :
من احدث فى امرنا هذاما ليس منه فهو رد
“Barang siapa menciptakan perkara baru didalam urusanku {yakni masalah agama}, padahal bukan merupakan bagian daripadanya, maka hal itu ditolak”
Dan sabda Rasul :
وكل محدثة بدعة
“Dan segala bentuk perkara yang baru adalah bid’ah”
Para Ulama menjelaskan tentang esensi dari makna dua hadits tersebut di atas yakni, perkara baru yang menjadi bid’ah adalah segala sesuatu yang dijadikan rujukan bagi perubahan suatu hukum dengan mengukuhkan sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan ibadah tetapi diyakini sebagai konsepsi ibadah. Jadi bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum karena kadang-kadang bisa jadi perkara baru itu berlandaskan dasar-dasar syari’ah secara asal sehingga ia menjadi bagian dari syari’at itu sendiri, atau berlandaskan Furu’ al-Syari’ahsehingga ia dapat dikiaskan atau dianalogkan kepada syari’at.
Al-Syekh Zaruq lantas membuat tiga ukuran (mizan) dalam hal ini yakni: Pertama harus dilihat keberadaan perkara baru tersebut, jika di dalamnya didapati termasuk dalam koridor hukum syari’at dengan dukungan dalil atau dasar yang mengukuhkannya, maka bukanlah dinamakan bid’ah. Namun bila didalamnya terdapat beberapa dalil yang tampaknya kontradiktif sehingga terjadi kesamaran, dan muncul beberapa interpretasi dalam beberapa pandangannya, maka beberapa pandangan itu harus ditelaah ulang, mana yang paling unggul untuk dijadikan rujukan dasar.
Pertimbangan Kedua adalah dengan melihat beberapa kaidah-kaidah perundangan yang telah dibakukan oleh para imam mujtahid dan pengamalan para Salafuna al-Sholih sebagai tuntunan Thariqah al-Sunnah, jika ternyata perkara itu bertentangan dengan dasar-dasar di atas melalui beberapa pertimbangan, maka jelas tidak dapat diterima. Namun bila terjadi kecocokan dalam pandangan kaidah-kaidah perundang-undangan maka dapatlah diterima, sekalipun dikalangan para Imam Mujtahid sendiri terjadi perbedaan pendapat baik secara far’u maupunasal.
Segala sesuatu itu mengikuti pada asalnya berikut dalilnya, sehingga apapun yang diamalkan oleh para Salafuna al-Sholih dengan berlandaskan pada kaidah-kaidah para Imam dan diikuti oleh kelompok Khalaf, maka tidaklah sah bila hal itu dianggap sebagai bid’ah madzumah, dan segala bentuk prilaku yang tidak dilakukan atau ditinggalkan oleh para Salafuna al-Sholih dengan kerangka pandangan yang jelas maka tidaklah sah pula hal itu dianggap sebagai tuntunan atau sunnah, dan bukan pula harus dianggap sebagai perkara yang terpuji.
Berkaitan dengan suatu dasar yang telah ditetapkan oleh Salafuna al-Sholih tetapi tidak menjadi prilaku hidup mereka, maka Imam Malik berpendapat bahwa hal itu dianggap sebagai bid’ah dengan dalih bahwa mereka tidak akan meninggalkan segala sesuatu perbuatan apapun kecuali didalamnya ada perintah untuk meninggalkan perkara tersebut. Imam Al – Syafi’i berpandangan lain, bahwa hal itu tidaklah dianggap sebagai bid’ah, walaupun Salafuna al – Sholih tidak mengerjakannya, karena bisa jadi mereka meninggalkan perbuatan tersebut dikarenakan ada udzur yang menimpa mereka untuk melakukan hal itu pada suatu waktu, atau mereka meninggalkannya karena ia memilih untuk melakukan sesuatu yang lebih utama dari ketetapan tersebut. Dan karena segala bentuk hukum itu bisa jadi diambil atas dasar dzatiah persoalan terkait, atau dipengaruhi oleh kondisi psikologi dan sosio historis orang yang mensyari’atkannya.
Para Ulama juga berbeda pendapat dalam menyikapi persoalan yang tidak termasuk dalam kerangka sunnah, namun tidak ada dalil yang menentangnya bahkan juga tidak ada kesamaran di dalamnya. Imam Malik menganggap hal itu sebagai bid’ah, dan Imam Syafi’i menyatakan hal itu bukanlah bid’ah. Dalam hal ini Imam Syafi’i berlandaskan pada sebuah hadits :
ما تركته لكم فهو عفو
“Segala sesuatu yang aku tinggalkan karena belas kasihan terhadap kalian semua adalah diampuni”
Syekh Zaruq berpandangan bahwa : berkaitan dengan mizan yang kedua ini, beliau mencontohkannya dengan terjadinya perbedaan pandangan diantara para Ulama tentang hukumnya membuat kepengurusan jamiyyah, membaca dzikir dengan keras, dan melangsungkan do’a bersama. Karena didalam hadits ada semacam support atau al-Targhib di dalam hal ini,sekalipun Salafuna al – Sholih tidak melakukannya sehingga dengan hal ini tidaklah setiap orang yang menyepakati hal itu dianggap sebagai pembuat bid’ah dalam pandangan orang yang berpendapat lain, jika ternyata pendapat tersebut bertolak belakang dengan dalil-dalil hukum yang diambil sebagai hasil ijtihadnya, selagi tidak melampui batas wilayah yang diperkenankan baginya. Dan tidaklah sah pula perkataan seseorang yang memiliki pendapat berbeda itu dipergunakan untuk membatalkan pendapat lain yang bertolak belakang karena adanya kesamaran dalam memproses kesimpulan hukumnya. Bila dalam persoalan ini dilegalkan segala bentuk upaya pembatalan pendapat orang lain, maka yang terjadi adalah klaim pembid’ahan terhadap seluruh prilaku umat.
Sebagaimana telah diketahui bahwa sesungguhnya hukum Allah Ta’ala dalam kerangka yang bersifat ijtihadiyah dan pada wilayah furu’iyah, bagi seorang mujtahid akan sangat memungkinkan untuk dimunculkan ijtihad baru, baik hasil ijtihad baru itu mendapatkan pembenaran dari hanya seorang saja atau lebih. Rasulullah Saw bersabda :
لايصلين احد العصرالا فى بنى قريظة فادركم العصر فى الطريق, فقال بعضهم امرنا بالعجلة وصلوا فى الطريق وقال أخرون: امرنا بالصلاة هناك فاخروا ولم يعب صلى الله عليه وسلم على واحد منهم. 
Sungguh seseorang tidak akan dapat melaksanakan sholat fardu Ashar kecuali diperkampungan Bani Quraidloh, lantas para sahabat mendapati masuknya waktu sholat Ashar ketika masih diperjalanan, sebagian dari mereka berkata : kita diperintahkan untuk bergegas (dalam melakukan / mendirikan sholat) dan mereka melakukan sholat diperjalanan. Sebagian dari sahabat yang lain berkata: kita diperintahkan untuk melakukan sholat di sana (perkampungan Bani Quraidloh), lantas mereka mengakhirkan sholat, dan Rasulullah Saw. tidak mencaci maki kepada salah seorangpun diantara mereka.
Sikap Rasulullah yang sedemikian begitu menyejukkan, dan menunjukkan keabsahan untuk melakukan sesuatu amal sesuai dengan apa yang dapat mereka pahami dari sabda Nabisebagai Al-Syari, sumber persyari’atan, karena pemahaman tersebut tidaklah dilandasi oleh hawa nafsu.
Mizan yang Ketiga adalah pertimbangan yang bersifat membedakan yang didasarkan pada beberapa kriteria hukum yang otentik, hal ini akan bersifat tafsili, atau terperinci. Dengan mizan ini sebuah persoalan akan dapat diklasifikasikan dalam enam bentuk hukum syari’at yakni : wajib, sunnah, haram, makruh, khilaful aula dan mubah. Segala bentuk persoalan itu diilhaqkan dengan dalil tersebut, dan jika tidak memiliki dalil maka dapatlah dikatakan sebagai bid’ah. Melalui mizan ini, banyak dari hukum yang kemudian mengistilahkan identitas hukum dari sebuah persoalan tersebut dengan bid’ah wajibah, nadbiah, tahrimah, karohah, khilafal aula dan bid’ah ibadah tetapi hanya dalam istilah kebahasaan saja untuk memberikan kemudahan.
Lebih spesifik lagi Syekh Zaruq membagi bid’ah kedalam 3 kelompok yakni;
Pertama,  Bid’ah Shorihah yaitu suatu persoalan yang ditetapkan tanpa berlandaskan dalil syari’ dan tidak mencocoki pada sebuah masalah yang telah mendapatkan ketetapan hukum syara’ apakah wajib, sunnah, mandub atau yang lainnya. Bid’ah ini pada akhirnya membunuh potensi sunnah dan membatalkan perkara yang haq, bentuk ini adalah seburuk-buruknya bid’ah, meskipun daripadanya dikemukakan sejumlah alasan pada kerangka usul maupun furu’ tetaplah tidak dapat mempengaruhi keshorihan bid’ah-nya.
Kedua Al–bid’ah al – Idlofiyah yaitu bid’ah yang disandarkan pada sebuah perintah di mana bila perintah itu diterima sebagai sandaran bid’ah tersebut maka tidaklah sah terjadinya saling mempertentangkan keberadaan perkara tersebut, apakah sebagai sunnah ataupun bid’ah tanpa perselisihan sebagaimana tersebut di muka.
Ketiga, Al-Bid’ah al-Khilafiyah, yaitu bid’ah yang dilandasi oleh dua dalil yang saling tarik menarik diantara keduanya, disatu sisi dia berkata: ini didasarkan pada sumber ini, dan pendapat yang lain menyatakan bid’ah, dan ia menyangkal dengan dalil yang bertolak belakang, dan ia menyatakan sunnah, sebagaimana contoh kasus di atas yakni tentang membuat kepengurusan jam’iyyah atau majlis dzikir dan do’a bersama.
Al -’Allamah Imam Muhammad Waliyuddin al-Syibtsiri dalam Syarah Al-Arba’in al-Nawawiyah memberikan komentar atas sebuah hadits Nabi:
من احدث حدثا او اوى محدثا فعليه لعنة الله
Barang siapa membuat persoalan baru atau mengayomi atau setidaknya mendukung seseorang yang membuat pembaharuan, maka ditimpakan kepadanya laknat Allah.
Masuk dalam kerangka interpretasi hadits ini yaitu berbagai bentuk transaksi/akad-akad fasidah, menghukumi dengan kebodohan, berbagai bentuk penyimpangan terhadap ketentuan syara’ dan lain-lain. Keluar dari bingkai pemahaman terhadap hadits ini yakni segala hal yang tidak keluar dari dalil syara’ terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dimana tidak terdapat korelasi yang tegas antara masalah-masalah tersebut dengan dalil-dalilnya kecuali sebatas dhon, persangkaan mujtahid. Seperti menulis Mushaf, meluruskan pendapat-pendapat Imam madzhab, menyusun kitab Nahwu, ilmu hisab dan lain-lain. Karena itulah Imam Ibnu Abdi al-Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima.
Beliau lantas membuat batasan; Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak disaksikan di zaman Rasulullah Saw, apakah beridentitas wajib seperti mengajar ilmu Nahwu, dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib (jarang ditemui dan maknanya sulit dipahami), baik yang terdapat didalam Al-Qur’an ataupun Al-Sunnah di mana pemahaman terhadap syari’ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya,. ataupun berstatus haram seperti paham madzhab Qodariah, Jabariah dan Majusiah, atau juga berstatus mandlubah seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak disaksikan pada zaman generasi pertama Islam. Dan bid’ah yang berstatus makruhah seperti menghiasi Masjid dan memperindah Mushaf, bid’ah yang beridentitas Mubahahseperti bersalam-salaman atau mushofahah setelah sholat Shubuh dan Ashar, berlebih-lebihan dalam menyajikan menu-menu makanan dan minuman yang serba nikmat, bernecis-necis dalam berpakaian , dan lain-lain.

Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka kita tahu bahwa adanya klaim bahwa ini adalah bid’ah,seperti memakai tasbih, melapatkan niat, tahlilan ketika kirim do’a dan sedeqah setelah kematian karena tidak ada larangan untuk bersedeqah, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid’ah. Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar pasar malam, bermain undian pertunjukan tinju, gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk- buruknya bid’ah.

Sumber : NU Online

Makna dan Filosofis Syair Lir Ilir


-------------------------------------
Lir-ilir, Lir Ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar

Cah Angon, Cah Angon
Penekno Blimbing Kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo Mbasuh Dodotiro

Dodotiro Dodotiro
Kumitir Bedah ing pinggir
Dondomono, Jlumatono
Kanggo Sebo Mengko sore

Mumpung Padhang Rembulane
Mumpung Jembar Kalangane
Yo surako surak Iyo!!!
Tembang diatas pasti sudah akrab ditelinga kita apalagi bagi orang-orang jawa yang notabene berada dalam wilayah penyebaran agama Wali Songo

tidak sedikit orang yang mencoba untuk menguraikan makna tembang diatas baik dalam konteks hubungannya dengan sejarah, syariat Islam bahkan Hakikat yang terkandung di dalamnya.

pada tulisan singkat ini Khaylif mencoba untuk sedikit menguraikan makna dari tembang tersebut, jika ada kekurangan atau kesalahan adalah karena keterbatasan Khaylif dalam pemahaman semoga Alloh memaafkan dan jika ada kebaikannya hal itu semata-mata datang dari Alloh SWT

Makna tembang tersebut menurut Khaylif:

1. Lir-ilir, Lir-ilir (Bangunlah, bangunlah)
Tandure wus sumilir (Tanaman sudah bersemi)
Tak ijo royo-royo (Demikian menghijau)
Tak sengguh temanten anyar (Bagaikan pengantin baru)

Makna: Sebagai umat Islam kita diminta bangun. Bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Alloh dalam diri kita yang dalam ini dilambangkan dengan Tanaman yang mulai bersemi dan demikian menghijau. Terserah kepada kita, mau tetap tidur dan membiarkan tanaman iman kita mati atau bangun dan berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga besar dan mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru.

2 Cah angon, cah angon (Anak gembala, anak gembala)
Penekno Blimbing kuwi (Panjatlah (pohon) belimbing itu)
Lunyu-lunyu penekno (Biar licin dan susah tetaplah kau panjat)
Kanggo mbasuh dodotiro (untuk membasuh pakaianmu)

Makna: Disini disebut anak gembala karena oleh Alloh, kita telah diberikan sesuatu untuk digembalakan yaitu HATI. Bisakah kita menggembalakan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya?

Si anak gembala diminta memanjat pohon belimbing yang notabene buah belimbing bergerigi lima buah. Buah belimbing disini menggambarkan lima rukun Islam. Jadi meskipun licin, meskipun susah kita harus tetap memanjat pohon belimbing tersebut dalam arti sekuat tenaga kita tetap berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya.

Lalu apa gunanya? Gunanya adalah untuk mencuci pakaian kita yaitu pakaian taqwa.

3. Dodotiro, dodotiro (Pakaianmu, pakaianmu)
Kumitir bedah ing pinggir (terkoyak-koyak dibagian samping)
Dondomono, Jlumatono (Jahitlah, Benahilah!!)
Kanggo sebo mengko sore (untuk menghadap nanti sore)

Makna: Pakaian taqwa kita sebagai manusia biasa pasti terkoyak dan berlubang di sana sini, untuk itu kita diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap ketika dipanggil menghadap kehadirat Alloh SWT.

4. Mumpung padhang rembulane (Mumpung bulan bersinar terang)
Mumpung jembar kalangane (mumpung banyak waktu luang)
Yo surako surak iyo!!! (Bersoraklah dengan sorakan Iya!!!)

Makna: Kita diharapkan melakukan hal-hal diatas (no 1-3) ketika kita masih sehat (dialambangkan dengan terangnya bulan) dan masih mempunyai banyak waktu luang dan jika ada yang mengingatkan maka jawablah dengan Iya!!!

Lir ilir, judul dari tembang di atas. Bukan sekedar tembang dolanan biasa, tapi tembang di atas mengandung makna yang sangat mendalam. Tembang karya Kanjeng Sunan ini memberikan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah. Carrol McLaughlin, seorang profesor harpa dari Arizona University terkagum kagum dengan tembang ini, beliau sering memainkannya. Maya Hasan, seorang pemain Harpa dari Indonesia pernah mengatakan bahwa dia ingin mengerti filosofi dari lagu ini. Para pemain Harpa seperti Maya Hasan (Indonesia), Carrol McLaughlin (Kanada), Hiroko Saito (Jepang), Kellie Marie Cousineau (Amerika Serikat), dan Lizary Rodrigues (Puerto Rico) pernah menterjemahkan lagu ini dalam musik Jazz pada konser musik “Harp to Heart“.

Apakah makna mendalam dari tembang ini? Mari kita coba mengupas maknanya

Lir-ilir, lir-ilir tembang ini diawalii dengan ilir-ilir yang artinya bangun-bangun atau bisa diartikan hiduplah (karena sejatinya tidur itu mati) bisa juga diartikan sebagai sadarlah. Tetapi yang perlu dikaji lagi, apa yang perlu untuk dibangunkan?Apa yang perlu dihidupkan? hidupnya Apa ? Ruh? kesadaran ? Pikiran? terserah kita yang penting ada sesuatu yang dihidupkan, dan jangan lupa disini ada unsur angin, berarti cara menghidupkannya ada gerak..(kita fikirkan ini)..gerak menghasilkan udara. ini adalah ajakan untuk berdzikir. Dengan berdzikir, maka ada sesuatu yang dihidupkan.

tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar. Bait ini mengandung makna kalau sudah berdzikir maka disitu akan didapatkan manfaat yang dapat menghidupkan pohon yang hijau dan indah. Pohon di sini artinya adalah sesuatu yang memiliki banyak manfaat bagi kita. Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-Raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya.

Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi. Mengapa kok “Cah angon” ? Bukan “Pak Jendral” , “Pak Presiden” atau yang lain? Mengapa dipilih “Cah angon” ? Cah angon maksudnya adalah seorang yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan yang benar. Lalu,kenapa “Blimbing” ? Ingat sekali lagi, bahwa blimbing berwarna hijau (ciri khas Islam) dan memiliki 5 sisi. Jadi blimbing itu adalah isyarat dari agama Islam, yang dicerminkan dari 5 sisi buah blimbing yang menggambarkan rukun Islam yang merupakan Dasar dari agama Islam. Kenapa “Penekno” ? ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk mengambil Islam dan dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejak para Raja itu dalam melaksanakan Islam.

Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro. Walaupun dengan bersusah payah, walupun penuh rintangan, tetaplah ambil untuk membersihkan pakaian kita. Yang dimaksud pakaian adalah taqwa. Pakaian taqwa ini yang harus dibersihkan.

Dodotiro dodotiro, kumitir bedah ing pinggir. Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita singkirkan, kita tinggalkan, perbaiki, rajutlah hingga menjadi pakain yang indah ”sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa“.

dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore. Pesan dari para Wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu. Maka benahilah dan sempurnakanlah ke-Islamanmu agar kamu selamat pada hari pertanggungjawaban kelak.

Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane. Para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata, ketika usia masih menempel pada hayat kita.

Yo surako surak hiyo. Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai “mari kita terapkan syariat Islam” sebagai tanda kebahagiaan. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (Al-Anfal :25)

PEPALI KI AGENG SELO


ALLAHUMMA SHOLLI 'ALA SAYYIDINA.
MUHAMMADIN THIBBIL QULUBI WADAWAIHA.
WA'AFIYATIL ABDANI WA SYIFA'IHA.
WA NUURIL ABSHOORI WADLIYAAIHA.
WA ALAA ALIHI WASHOHBIHI WASALLIM.
PEPALI KI AGENG, SELO AMBERKAHI
OJO GAWE ANGKUH, OJO LADAK LAN OJO JAHIL
OJO ATI SERAKAH LAN OJO CELIMUT,
OJO BURU ALEMAN LAN OJO LADAK
WONG LADAK PAN GELIS MATI, LAN OJO ATI NGIWO
NIRUHO WONG MULYO, HABAIB ULOMO
NIYAT HORMAT GOLEK TSAWAB UJAR BERKAH KANG MINULYO
OJO SAMPE MODO, ORA KENO NYELO
LUWIH BECIK DEREK TINDAK LAMPAH PINUJI MINULYO
TEMBUNG ALUS ATI ATI, LUNGGUHE OJO SEMBRONO
SOPO NANDUR BAGUS, BAKAL PANEN UGO
SENENG AYEM BAHAGIA, ANAK PUTU SAK KLUWARGO
LAMUN DADI PENGGEDE, PRINTAH ANAK BUAHE
OJO NGANTI KERAS KAKU, SAK SENENG KAREPE DEWE
DADIYO SIRO PELINDUNG, PRINTAH KELAWAN KIRO KIRO
ILING LAN WASPODO, DAWUH KANG UTOMO
SENENGNO JIWAMU LAN ATIMU, OJO SALAH TOMPO
PITUTUR KANG LUHUR, PRINTAHE AGOMO
OJO SIMPANG SIUR, TINDAK NGAWUR NDADEKNO SENGSORO
DADIYO WONG AGUNG KANG MINULYO, TUMINDAK SEMPURNO

NINDAKI KEWAJIBAN, KANTI DASAR IMAN
AKHLAQ BAGUS TUMUS, SABAR ALUS NOTO ATI MAPAN
TA'AT LAN NGABEKTI, PERINTAHE GUSTI
NINDAKNO NGIBADAH, NETEPI PRINTAH AMAL KANG PINUJI

NYADONG RIDLO RAHMAT LAN SYAFA'AT SAKING KANJENG NABI.
Design by Zay Arief