Kamis, 05 Mei 2011

QAIDAH FIQHIYYAH

Qaidah Fiqhiyyah sebagai Dasar Pembentukan Perilaku Nahdliyin

Sebelum Nahdlatul Ulama dilahirkan, telah terjadi dialog sangat panjang antara budaya lokal versus nilai Islam di tengah–tengah umat Islam Nusantara hingga mewujud menjadi tradisi baru yang membumi. Kelompok Islam ini menyatu dalam pola pikir (ittifaq al-ara’ wal-mahzab) dan referensi tradisi sosial keagamaan (ittihad al-ma’khad wal-masyrab). Sehingga kelahiran NU merupakan aktualisasi dari progresifitas arus besar umat Islam di Indonesia. Maka Deklarasi NU pun yang dilakukan pada tanggal 30 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H mendapat sambutan luas masyarakat Islam.

Dasar pembentukan perilaku etik moral kaum Nahdliyin yang bercirikan sikap tawassuth, tawazun, tasamuh dan i’tidal merupakan implementasi dari kekukuhan mereka dalam memegang prinsip-prinsip keagamaan (qaidah al-fiqhyah) yang dirumuskan oleh para ulama klasik. Di antara prinsip-prinsip ulama tersebut adalah al-‘adah al-muhakkamah yang artinya sebuah tradisi dapat menjelma menjadi pranata sosial keagamaan. Maksudnya, rumusan hukum yang tidak bersifat absolut dapat ditata selaras dengan subkultur sebuah komunitas masyarakat menurut ruang dan waktunya dengan mengacu kepada kesejahteraan dan kebaikan masyarakat tersebut. Hal ini dapat dilakukan selama tidak kontradiksi dengan prinsip-prinsip ajaran yang bersifat absolut (qath’i), dalil-dalil yang merupakan kaidah umum dan prinsip-prinsip universal.

Al-‘adah muhakkamah menjadikan performance Islam sebagai agama yang dinamis dan membumi yang selalu aktual di tengah-tengah masyarakat. Islam pun menjadi agama yang mampu menjawab tantangan zaman dan tuntutan umat tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Umat Islam Indonesia juga mengenal prinsip dasar keagamaan al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (upaya pelestarian nilai-nilai yang baik di masa lalu dan melakukan adopsi nilai-nilai baru yang lebih baik. Kaidah ini merupakan instrumen bagi proses rekonsiliasi agama dan budaya. Sebagaimana maklum, agama dan budaya merupakan dua hal yang berbeda serta mempunyai independensi tersendiri. Agama berasal dari wahyu Tuhan karena itu bersifat suci dan permanen. Sedangkan budaya dalah produk manusia yang selalu berubah dan dinamis. Kaidah ini mampu memperkaya khazanah keagamaan sebagai implikasi dari dialog budaya dan prinsip-prinsip keagamaan. Kaidah ini juga mampu membawa masyarakat untuk melakukan penyerapan, antisipasi setiap perilaku hukum yang hidup di tengah masyarakat serta setipa pergeseran kemaslahatan umat sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga Islam tidak menjelma sebagai agama yang statis dan stagnan. Bahkan sebaliknya Islam menjadi agama yang dinamis, kreatif dan inovatif demi kebaikan dan kemaslahatan masyarakat.

Selanjutnya, kaum Nahdliyin mengenal kaidah al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman (sebuah keputusan itu terkait dengan sebabnya). Maksudnya, sebuah kebijakan yang dilakukan sangat dipengaruhi oleh reasoningnya. Sehingga sebuah keputusan tidak dapat berdiri sendiri. Ia sangat tergantung pada alasan keputusan tersebut. Maka di internal kaum Nahdliyin sebuah kebijakan sangat kontekstual, membumi. Ada dan tidaknya sebuah keputusan atau hukum sangat mempertimbangkan ruang dan waktu.

Kaidah lainnya adalah ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib (jika sebuah keharusan tidak dapat ideal kecuali dengan unsur yang lain itu juga menjadi keharusan). Maksudnya, sebuah idealisasi harus diupayakan dengan memperhatikan faktor-faktor lain yang mempunyai keterkaitan dengannya. Optimalisasi atas sesuatu secara otomatis juga optyimalisasi atas faktor yang mendukungnya.

Pinsip selanjutnya, idza ta’aradla mafsadatani ru’iya a’dzamuhuma dlararan birtikabi akhaffihima (jika terjadi kemungkinan komplikasi yang membahayakan maka yang dipertimbangkan adalah resiko yang terbesar dengan cara dengan melaksanakan yang paling kecil resikonya). Kaidah ini merupakan solusi untuk menghindari resiko buruk dengan cara menghindari langkah-langkah ideal yang beresiko tinggi. Setiap langkah kebijakan di tengah masyarakat selalu mengandung resiko. Karena itu resiko buruk harus menjadi pertimbangan dengan cara memilih kebijakan yang mempunyai dampak buruk yang paling ringan.

Kaum Nahdliyin juga mengenal kaidah dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih (mencegah marabahaya lebih diutamakan daripada meraih kebaikan). Maksudnya, masyarakat perlu memilih langkah menghindari bahaya daripada mengupayakan kebaikan yang beresiko tinggi. Prinsip ini mendorong masyarakat untuk bertindak cermat dan tepat sehingga aktivitasnya benar-benar bersifat positif, baik bagi dirinya maupun orang lain.

Kaidah yang tidak kalah pentingnya adalah tasharruf al-imam manuthun bi maslahah al-ra’iyyah (kebijakan pemimpin harus mengacu kepada kebaikan rakyatnya). Maksudnya, seorang penguasa merupakan penjelmaaan kepentingan rakyatnya. Ia bukanlah representasi atas dirinya sendiri. Karena itu segala kebijakan yang diambil harus mengacu kepada kepentingan rakyat yang dipimpinnya.

(Sumber : PP Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia : Sejarah, Pemikiran dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Jakarta : Pustaka Ma’arif NU, 2007, hal 196-199)

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Zay Arief