Selasa, 21 September 2010

Habib Ali Al-Habsyi, penggubah Maulid Simthud Durar

Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi
(Berikut ini adalah riwayat hidup penyusun kitab maulid Simthud durar yang diambil dari situs alawiyin).

Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi dilahirkan pada hari Juma’at 24 Syawal 1259 H di Qasam, sebuah kota di negeri Hadhramaut. Beliau dibesarkan di bawah asuhan dan pengawasan kedua orang tuanya; ayahandanya, Al-Imam Al-Arif Billah Muhammad bin Husin bin Abdullah Al-Habsyi dan ibundanya; As-Syarifah Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, yang pada masa itu terkenal sebagai seorang wanita yang solihah yang amat bijaksana.
Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu zahir dan batin sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan untuk itu. Oleh karenanya, sejak itu, beliau diizinkan oleh para guru dan pendidik nya untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian di hadapan khalayak ramai, sehingga dengan cepat sekali, dia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan tampuk kepimpinan tiap majlis ilmu, lembaga pendidikan serta pertemuan-pertemuan besar yang diadakan pada masa itu.
Selanjutnya, beliau melaksanakan tugas-tugas suci yang dipercayakan padanya dengan sebaik-baiknya. Menghidupkan ilmu pengetahuan agama yang sebelumnya banyak dilupakan. Mengumpulkan, mengarahkan dan mendidik para siswa agar menuntut ilmu, di samping membangkitkan semangat mereka dalam mengejar cita-cita yang tinggi dan mulia.
Untuk menampung mereka, dibangunnya Masjid “Riyadh” di kota Seiwun (Hadhramaut), pondok-pondok dan asrama-asrama yang diperlengkapi dengan berbagai sarana untuk memenuhi keperluan mereka, termasuk soal makan-minum, sehingga mereka dapat belajar dengan tenang dan tenteram, bebas dari segala pikiran yang mengganggu, khususnya yang bersangkutan dengan keperluan hidup sehari-hari.
Bimbingan dan asuhan beliau seperti ini telah memberinya hasil kepuasan yang tak terhingga dengan menyaksikan banyak sekali di antara murid-muridnya yang berhasil mencapai apa yang dicitakannya, kemudian meneruskan serta menyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh, bukan sahaja di daerah Hadhramaut, tetapi tersebar luas di beberapa negeri lainnya – di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia.
Di tempat-tempat itu, mereka mendirikan pusat-pusat dakwah dan penyiaran agama, mereka sendiri menjadi perintis dan pejuang yang gigih, sehingga mendapat tempat terhormat dan disegani di kalangan masyarakat setempat. Pertemuan-pertemuan keagamaan diadakan pada berbagai kesempatan. Lembaga-lembaga pendidikan dan majlis-majlis ilmu didirikan di banyak tempat, sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan dalam ruang lingkup yang luas sekali.
Beliau meninggal dunia di kota Seiwun, Hadhramaut, pada hari Ahad 20 Rabi’ul Akhir 1333 H dan meninggalkan beberapa orang putera yang telah memperoleh pendidikan sebaik-baiknya dari beliau sendiri, yang meneruskan cita-cita beliau dalam berdakwah dan menyiarkan agama.
Di antara putera-putera beliau yang dikenal di Indonesia ialah puteranya yang bongsu; Al-Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, pendiri Masjid “Riyadh” di kota Solo (Surakarta). Dia dikenal sebagai peribadi yang amat luhur budi pekertinya, lemah-lembut, sopan-santun, serta ramah-tamah terhadap siapa pun terutama kaum yang lemah, fakir miskin, yatim piatu dan sebagainya. Rumah kediamannya selalu terbuka bagi para tamu dari berbagai golongan dan tidak pernah sepi dari pengajian dan pertemuan-pertemuan keagamaan.
Beliau meninggal dunia di kota Palembang pada tanggal 20 Rabi’ul Awal 1373 H dan dimakamkan di kota Surakarta. Banyak sekali ucapan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi yang telah dicatat dan dibukukan, di samping tulisan-tulisannya yang berupa pesan-pesan ataupun surat-menyurat dengan para ulama di masa hidupnya, juga dengan keluarga dan sanak kerabat, kawan-kawan serta murid-murid beliau, yang semuanya itu merupakan perbendaharaan ilmu dan hikmah yang tiada habisnya.
Dan di antara karangan beliau yang sangat terkenal dan dibaca pada berbagai kesempatan di mana-mana, termasuk di kota-kota di Indonesia, ialah risalah kecil ini yang berisi kisah Maulid Nabi Besar Muhammad SAW dan diberinya judul “Simtud Duror Fi Akhbar Maulid Khairil Basyar wa Ma Lahu min Akhlaq wa Aushaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama; Akhlak, Sifat dan Riwayat Hidupnya).
Simthud Durar (Untaian Mutiara)
Al-Habib al-Imam al-Allamah Ali bin Muhammad Husain al-Habsy

Sabtu, 04 September 2010

WAKTU-WAKTU SHOLAT

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Shalat merupakan ibadah umat Islam yang paling utama kepada Allah swt. Shalat adalah salah satu rukun Islam dimana amalan yang pertama kali dihisab di hari akhir. Jika shalat seorang hamba itu baik, baik pula amal lainnya, dan demikian pula sebaliknya.
Allah swt telah mensyariatkan shalat lima waktu sehari semalam untuk menjadi sarana interaksi antara Allah swt dengan seorang muslim dimana ia bermunajat dan berdoa kepada-Nya. Juga untuk menjadi sarana pencegah bagi seorang muslim dari perbuatan keji dan mungkar sehingga ia memperoleh kedamaian jiwa dan badan yang dapat membahagiakannya di dunia dan akhirat.
Allah swt telah menetapkan waktu setiap shalat wajib lima waktu, dan memerintahkan kita untuk berdisiplin memeliharanya. Sebagaimana Allah swt berfirman dalam QS An Nisa’: 103:
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
"Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (An Nisa: 103)
Maka dari itu, setiap muslim harus mengetahui waktu-waktu pelaksanaan shalat dalam memenuhi panggilan dari Allah swt sebagai sang Khaliq untuk menyembah kepada-Nya. Sehingga dapat terhindar dari kesalahan dalam waktu pelaksanaan shalat lima waktu.

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, kami akan dipaparkan beberapa penjelasan tentang pelaksanaan waktu-waktu shalat, dimana difokuskan atas 3 hal sebagai berikut:
(1) waktu shalat lima waktu;
(2) waktu shalat yang disunahkan;
(3) waktu yang dilarang untuk shalat

C. Maksud dan Tujuan
Banyak diantara beberapa umat muslim kurang memahami waktu pelaksanaan sholat lima waktu. Sehingga, pelaksanaan sholat tidak menentu bahkan salah dalam penerapannya. Maka, dengan makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan atau bacaan bagi umat muslim untuk mengetahui umat muslim. Dan juga, dapat lebih mengetahui waktu sholat yang tepat, waktu sholat yang disunnahkan dan waktu yang dilarang untuk sholat
D. Sistematika Penulisan
Makalah disusun dengan urutan sebagai berikut.
1. Bab I Pendahuluan, menjelaskan latar belakang, maksud dan tujuan, rumusan masalah,dan sistematika penulisan.
2. Bab II Pembahasan, Mengemukakan pembahasan masalah bersumber pada data yang diperoleh dibandingkan dengan teori yang terdapat pada berbagai sumber, yaitu (1) waktu sholat lima waktu; (2) waktu sholat yang disunnahkan; dan (3) waktu yang dilarang untuk sholat.
3. Bab III Penutup, memuat simpulan dan saran.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Waktu Shalat Wajib Lima Waktu
Shalat lima waktu telah diatur dalam Al Qur’an dan Al Hadits yang menjadi pegangan umat muslim mengenai waktu pelaksanaannya. Sehingga setiap muslim dapat mengetahui batasan waktu shalat dalam pelaksanaanya sehari-hari.
Allah swt berfirman dalam Al Qur’an yang menerangkan beberapa waktu shalat wajib lima waktu, diantaranya sebagai berikut:
أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isra’: 78)
فَاََصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا وَمِنْ آنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَى
"Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang" (QS Thaha 130)
وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
"Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat." (QS Hud 114)
Di dalam Al Hadits juga dijelaskan tentang mengerjakan shalat pada waktunya termasuk amalan yang paling dicintai oleh Allah. Sebagaimana diceritakan oleh Abdullah bin Mas’ud ra kepada Sa’ad bin Iyas
عن سعد بن إياس، عن عبدالله بن مسعود؛ قال: سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم: أي الأعمال أحب إلى الله؟ قال "الصلاة على وقتها" قلت: ثم أي؟ قال "ثم بر الوالدين" قلت: ثم أي؟ قال "ثم الجهاد في سبيل الله
Dari Abdullah bin Mas’ud: Beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang paling dicintai Allah ‘Azza wa Jalla?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya” kemudian aku berkata, “Kemudian apa?”. Beliau berkata, “Berbakti kepada kedua orang tua”. Kemudian aku berkata, “Kemudian apa?”. Beliau menjawab, “Berjihad di jalan Allah” (HR. Bukhari [527] dan Muslim [85]).
Hadits di atas mengandung dorongan agar menjaga shalat di waktu-waktu yang telah ditentukan untuk melakukannya. Sedangkan yang dimaksud shalat pada waktunya adalah mengerjakannya di waktu yang telah ditentukan, dan tidak mesti di awal waktu sebagaimana pendapat sebagian ulama. Adapun orang yang shalat di luar waktu seperti karena tertidur atau lupa, maka tidak termasuk amalan yang paling dicintai, meskipun amalan itu juga dicintai.(Fathul Baari, 3/334)
Dalam penentuan waktu shalat lima waktu telah diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah r.a, bahwa Rasulullah saw. kedatangan Malaikat Jibril a.s., dan berkata, “Bangun lalu shalatlah”, maka Rasulullah shalat zhuhur ketika matahari bergeser ke arah barat. Kemudian Jibril a.s. datang kembali di waktu ashar dan mengatakan, “Bangun dan shalatlah.” Maka Rasulullah saw. shalat ashar ketika bayangan benda sudah sama dengan aslinya. Kemudian Jibril a.s. mendatanginya di waktu maghrib ketika matahari terbenam, kemudian mendatanginya ketika isya’ dan mengatakan bangun dan shalatlah. Rasulullah shalat isya’ ketika telah hilang rona merah. Lalu Jibril mendatanginya waktu fajar ketika fajar sudah menyingsing. Keesokan harinya Jibril datang waktu zhuhur dan mengatakan, “Bangun dan shalatlah.” Rasulullah shalat zhuhur ketika bayangan benda telah sama dengan aslinya. Lalu Jibril mendatanginya waktu ashar dan berkata, “Bangun dan shalatlah.” Rasulullah saw. shalat ashar ketika bayangan benda telah dua kali benda aslinya. Jibril a.s. mendatanginya waktu maghrib di waktu yang sama dengan kemarin, tidak berubah. Kemudian Jibril mendatanginya di waktu isya’ ketika sudah berlalu separuh malam, atau sepertiga malam, lalu Rasulullah shalat isya’. Kemudian Jibril mendatanginya ketika sudah sangat terang, dan mengatakan, “Bangun dan shalatlah.” Maka Rasulullah shalat fajar. Kemudian Jibril a.s. berkata, “Antara dua waktu itulah waktu shalat.” (Ahmad, An-Nasa’i dan Tirmidzi. Bukhari mengomentari hadits ini, “Inilah hadits yang paling shahih tentang waktu shalat.”)
Dan juga Hadits dari Abdullah bin Amr r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda :
وقت الظهر إذا زالت الشمس. وكان ظل الرجل كطوله. ما لم يحضر العصر. ووقت العصر ما لم تصفر الشمس. ووقت صلاة المغرب ما لم يغب الشفق. ووقت صلاة العشاء إلى نصف الليل الأوسط. ووقت صلاة الصبح من طلوع الفجر. ما لم تطلع الشمس. فإذا طلعت الشمس فأمسك عن الصلاة. فإنها تطلع بين قرني شيطان
“Waktu zhuhur adalah apabila matahari sudah tergelincir [ke barat] sampai panjang bayangan seorang lelaki sama panjang dengan tingginya, selama waktu ashar belum tiba. Waktu ashar adalah selama matahari belum menguning. Waktu shalat maghrib adalah selama warna merah [di langit] belum hilang. Sedangkan waktu shalat isyak berlangsung hingga separuh malam yaitu pertengahannya. Adapun waktu shalat shubuh adalah sejak terbitnya fajar, demikian seterusnya selama matahari belum terbit. Apabila matahari sudah terbit tahanlah dari melakukan shalat. Karena sesungguhnya matahari itu terbit di antara dua tanduk syaitan.” (HR. Muslim [612/1387]).
Berdasarkan dalil-dalil di atas telah menerangkan kententuan waktu shalat lima waktu, dari awalnya hingga berakhirnya waktu shalat adalah sebagai berikut:
1. Shalat Zhuhur
وقت الظهر إذا زالت الشمس. وكان ظل الرجل كطوله. ما لم يحضر العصر
Waktu zhuhur adalah apabila matahari sudah tergelincir [ke barat] sampai panjang bayangan seorang lelaki sama panjang dengan tingginya, selama waktu ashar belum tiba.
Dari sejak tergelincirnya matahari ke arah barat (zawal) sampai bayangan benda sama panjang dengan tingginya. Imam Malik dan sekelompok ulama yang lain berpendapat apabila bayangan benda sudah sama panjang dengan tingginya maka waktu ashar sudah masuk namun waktu zhuhur belum dianggap keluar, bahkan waktu untuk shalat zhuhur masih berlaku seukuran lamanya seseorang melakukan shalat empat rakaat untuk menunaikan shalat zhuhur, dan dia tidak dinilai melakukan shalat di luar waktu yang semestinya. Sedangkan Imam Syafi’i demikian juga An-Nawawi berpandangan bahwa waktu terakhir shalat zhuhur adalah apabila bayangan benda sama panjang dengan tingginya tanpa ada waktu tambahan sesudahnya seukuran shalat empat rakaat (Syarah Nawawi, 3/420).
2. Shalat ‘Ashar
ووقت العصر ما لم تصفر الشمس
Waktu ashar adalah selama matahari belum menguning
Dari sejak bayangan benda sama panjang dengan tingginya hingga terbenam matahari. Waktu ‘Ashar ada dua macam : waktu jawaaz/boleh shalat dan waktu dharurah/terjepit. Waktu jawaaz sejak bayangan benda sama panjang dengan tingginya hingga matahari tampak menguning. Apabila matahari sudah menguning maka waktu itu adalah waktu yang boleh tapi makruh, melakukan shalat ketika itu tetap dinilai sah dan belum dianggap keluar waktu (lihat Syarah Nawawi, 3/420). Shalat ‘ashar yang sengaja dikerjakan di saat matahari sudah menguning disebut sebagai shalatnya orang munafiq. Adapun waktu dharurah berakhir dengan terbenamnya matahari.
3. Shalat Maghrib
ووقت صلاة المغرب ما لم يغب الشفق
Waktu shalat maghrib adalah selama warna merah [di langit] belum hilang
Dari sejak matahari tenggelam (kurang lebih selama 35 menit, sebagaimana dikatakan oleh Majijd al-Hamawi dalam ta’liqnya terhadap Matn al-Ghayah wa at-Taqrib hal. 59, kemudian setelah itu waktu yang makruh) sampai hilangnya warna kemerahan di langit.
4. Shalat ‘Isyak
ووقت صلاة العشاء إلى نصف الليل الأوسط
Waktu shalat isyak berlangsung hingga separuh malam yaitu pertengahannya
Dari sejak hilangnya warna kemerahan di langit sampai pertengahan malam, ini disebut waktu jawaaz/boleh atau waktu mukhtar/terpilih (sebagian yang lain berpendapat sampai sepertiga malam pertama). Sedangkan waktu dharurat terus berjalan sampai datangnya fajar/waktu subuh (sebagian yang lain berpendapat ini masih termasuk waktu jawaz, namun apabila ditunda sampai menjelang adzan subuh maka makruh).
5. Shalat Subuh
ووقت صلاة الصبح من طلوع الفجر. ما لم تطلع الشمس
Waktu shalat shubuh adalah sejak terbitnya fajar, demikian seterusnya selama matahari belum terbit
Awal waktunya sejak terbitnya fajar shadiq (yaitu fajar kedua, kurang lebih 20 menit setelah fajar pertama). Jika sengaja ditunda hingga muncul warna kemerahan di langit maka makruh. Dan terakhirnya adalah ketika terbitnya matahari (pembahasan ini disarikan dari al-Wajiz, hal. 60-62, al-Munakhkhalah, hal. 33 dengan sedikit penambahan dan perubahan).


B. Waktu Shalat yang Disunahkan
Ketentuan waktu shalat wajib lima waktu telah diterangkan beserta dalil-dalilnya. Berikut ini akan kami sebutkan waktu-waktu yang disenangi Rasulullah saw dalam mengerjakan shalat-shalat tersebut. Orang yang meniru beliau dengan ikhlas niscaya mendapatkan pahala yang lebih dari Allah swt
1. Disunnahkan mengerjakan shalat Zhuhur di awal waktu
عن جابر بن سمرة قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي الظهر إذا دحضت الشمس
Dari Jabir bin Samurah ra, dia berkata : Dahulu Rasulullah saw biasa mengerjakan shalat zhuhur ketika matahari mulai bergeser ke barat (HR. Muslim [618]).
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan disunnahkan mengerjakan shalat zhuhur di awal waktu, dan inilah pendapat yang dipegang oleh asy-Syafi’I dan jumhur (mayoritas ulama).” (Syarh Nawawi, 3/429). Hal ini berlaku apabila panas tidak sangat terik
2. Disunnahkan menunda shalat zhuhur apabila panas sangat terik
عن أبي هريرة أنه قال:إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إذا اشتد الحر فأبردوا بالصلاة. فإن شدة الحر من فيح جهنم
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Apabila panas sangat terik maka tunggulah sampai agak dingin untuk mengerjakan shalat, karena sesungguhnya panas yang sangat terik itu berasal dari pancaran panas Jahannam” (HR. Bukhari [536] dan Muslim [615]).
Bukhari rahimahullah mencantumkan hadits ini di dalam bab ‘Menunda zhuhur hingga cuaca agak dingin ketika suasana sangat terik’ (lihat Sahih al-Bukhari, hal. 123. cet Maktabah al-Iman). al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa perintah untuk menunda shalat hingga cuaca agak dingin adalah perintah anjuran/istihbab (lihat Fathul Baari, 2/20).
An-Nawawi rahimahullah menyatakan, hadits ini beserta hadits-hadits lain yang semakna menunjukkan disunnahkannya untuk menunda shalat [zhuhur] sampai cuaca agak dingin. Itulah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama dan ditegaskan oleh Asy-Syafi’i rahimahullah. Bahkan inilah pendapat yang diikuti oleh mayoritas para sahabat berdasarkan banyaknya hadits sahih yang menunjukkan bahwa Nabi saw melakukannya dan juga memerintahkannya dalam berbagai kesempatan (lihat Syarah Nawawi, 3/426).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, ungkapan Nabi apabila panas sangat terik secara tersirat menunjukkan bahwa apabila panasnya tidak terik maka tidak disyariatkan untuk menunda [shalat zhuhur] hingga cuaca mendingin, demikian pula apabila cuacanya memang sudah dingin maka lebih tidak disyariatkan lagi untuk menundanya (lihat Fathul Baari, 2/20).
3. Disunnahkan menyegerakan shalat ‘Ashar
عن أنس بن مالك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم:كان يصلي العصر والشمس مرتفعة حية، فيذهب الذاهب إلى العوالي، فيأتي العوالي والشمس مرتفعة.ولم يذكر قتيبة: فيأتي العوالي.
Dari Anas ra Rasulullah saw dahulu shalat ‘Ashar dalam keadaan matahari masih cukup tinggi dan masih agak panas. Sehingga apabila ada seseorang yang pergi menuju kota di sekitar Madinah (sesudah shalat) niscaya dia akan sampai di sana dalam keadaan matahari masih cukup tinggi (Bukhari [550] dan Muslim [621]).
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan hadits ini menunjukkan bahwa Nabi saw menyegerakan shalat Ashar, hal itu dikarenakan di situ disebutkan bahwa ketika orang-orang kembali dari pergi menempuh perjalanan sejarak 4 mil (ke kota lain di sekitar Madinah setelah shalat dikerjakan. pent) ternyata matahari masih cukup tinggi (Fathul Baari, 2/35). Oleh sebab itu An-Nawawi memberikan judul untuk bab yang mencantumkan hadits ini dengan ‘Disunnahkan bergegas mengerjakan shalat ‘Ashar [di awal waktu]‘ (lihat Syarh Nawawi, 3/429).
4. Disunnahkan menyegerakan shalat Maghrib
رافع بن خديج يقول:كنا نصلي المغرب مع رسول الله صلى الله عليه وسلم. فينصرف أحدنا وإنه ليبصرمواقع نبله
Dari Rafi’ bin Khadij ra, dia menceritakan, “Dahulu kami biasa mengerjakan shalat maghrib bersama Nabi saw, kemudian setelah itu apabila ada salah seorang di antara kami yang pulang ke rumah maka dia masih bisa melihat tempat-tempat jatuhnya anak panahnya.” (HR. Bukhari [559] dan Muslim [637]). Hal itu menunjukkan bahwa mereka mengerjakan shalat maghrib di awal waktunya (lihat Fathul Baari, 2/50 dan Syarh Nawawi, 3/442)
Dari Uqbah bin Amir ra, Nabi saw bersabda, “Umatku senantiasa berada dalam kebaikan atau di atas fitrah selama tidak mengakhirkan shalat Maghrib sampai bintang-bintang mulai tampak bertaburan.” (HR. Abu Dawud [354]).

5. Disunnahkan mengakhirkan shalat ‘Isyak bila memungkinkan
عن عائشة قالت: أعتم النبي صلى الله عليه وسلم ذات ليلة. حتى ذهب عامة الليل. وحتى نام أهل المسجد. ثم خرج فصلى. فقال "إنه لوقتها. لولا أن أشق على أمتي" وفي حديث عبدالرزاق "لولا أن يشق على أمتي".
Dari ‘Aisyah ra, beliau berkata, Nabi saw mengerjakan shalat di akhir malam pada suatu saat sampai-sampai sebagian besar waktu malam telah berlalu dan sampai orang-orang yang di masjid tertidur. Kemudian beliau bersabda, “Inilah waktu yang paling utama (untuk shalat Isyak) seandainya aku tidak khawatir menyusahkan umatku (niscaya aku akan mengakhirkannya)” (HR. Muslim [638]).
Yang dimaksud mengakhirkan adalah mengerjakannya dengan diakhirkan sebelum pertengahan malam, karena tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat bahwa mengerjakan shalat Isyak selepas pertengahan malam adalah lebih utama (Syarh Nawawi, 3/444)
6. Disunnahkan mengerjakan shalat Shubuh di awal waktu
عن عائشة؛ قالت:لقد كان نساء من المؤمنات يشهدن الفجر مع رسول الله صلى الله عليه وسلم. متلفعات بمروطهن. ثم ينقلبن إلى بيوتهن وما يعرفن
Dari ‘Aisyah ra, beliau berkata, Dahulu wanita-wanita beriman di jaman Nabi ikut menghadiri shalat Fajar bersama Rasulullah saw dalam keadaan tertutupi pakaian yang menyelimuti kepala dan tubuh mereka. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika shalat sudah selesai, tidak ada seorangpun yang mengenali mereka karena keadaan masih gelap” (HR. Bukhari [578] dan Muslim [645]).
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits-hadits ini terdapat hukum disunnahkannya menyegerakan shalat Shubuh, inilah mazhab Malik, Syafi’i, Ahmad dan Jumhur/mayoritas ulama,…” (Syarah Muslim 3/4)

C. Waktu yang Dilarang untuk Shalat
Dalam hadits telah menerangkan tentang waktu yang dilarang untuk melaksanakan shalat,
عن عقبة بن عامر قال:ثلاث ساعات كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهانا أن نصلي فيهن. أو أن نقبر فيهن موتانا: حين تطلع الشمس بازغة حتى ترتفع. وحين يقوم قائم الظهيرة حتى تميل الشمس. وحين تضيف الشمس للغروب
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra, beliau berkata : Ada tiga waktu yang Rasulullah saw melarang kami dari mengerjakan shalat dan menguburkan orang yang mati diantara kami di waktu tersebut : yaitu ketika matahari mulai terbit hingga meninggi, ketika bayangan tepat dibawah benda hingga matahari tergelincir dari tengah-tengah, ketika matahari condong ke arah barat akan tenggelam hingga tenggelam (HR. Muslim [831]).
Nabi saw telah menerangkan alasan larangan ini yaitu karena ketika matahari terbit ia berada di antara dua tanduk syetan, dan ketika matahari tepat di atas kepala api jahannam sedang dinyalakan, sedangkan ketika matahari tenggelam ia berada diantara dua tanduk syetan, dan ketika itulah orang-orang kafir bersujud. Shalat yang terlarang dilakukan pada waktu-waktu tersebut adalah shalat sunnah mutlak yang tidak memiliki sebab, sehingga di waktu itu boleh mengerjakan shalat bagi orang yang mau mengqadha’ shalat yang terlewatkan baik itu shalat sunnah maupun shalat wajib, atau shalat sesudah wudhu, dan shalat tahiyatul masjid (diringkas dari al-Wajiz, hal. 64-66).
‘Amr bin ‘Abasah ra menceritakan tentang pertemuannya dengan Nabi saw di Madinah setelah sebelumnya ia pernah bertemu dengan beliau ketika masih bermukim di Makkah. Saat bertemu di Madinah ini, ‘Amr bertanya kepada beliau tentang shalat maka Beliau memberi jawaban:

صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ؛ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُوْرَةٌ، حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ حِيْنَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ. فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُوْدَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari. Kemudian shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga tombak tidak memiliki bayangan, kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat karena ketika itu neraka Jahannam dinyalakan/dibakar dengan nyala yang sangat. Apabila telah datang bayangan (yang jatuh ke arah timur/saat matahari zawal) shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga engkau mengerjakan shalat ashar (terus boleh mengerjakan shalat sampai selesai shalat ashar, pent.), kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat hingga matahari tenggelam karena matahari tenggelam di antara dua tanduk syaitan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari.” (HR. Muslim no. 1927)
Al-Imam An Nawawi rahimahullahu berkata, “Umat sepakat tentang dibencinya shalat yang dikerjakan tanpa sebab pada waktu-waktu terlarang tersebut. Mereka juga sepakat bolehnya mengerjakan shalat fardhu yang ditunaikan pada waktu-waktu terlarang tersebut. Adapun untuk shalat nawafil (shalat sunnah) yang dikerjakan karena ada sebab, mereka berbeda pendapat. Seperti shalat tahiyatul masjid, sujud tilawah dan sujud syukur, shalat id, shalat kusuf (gerhana), shalat jenazah dan mengqadha shalat yang luput dikerjakan. Mazhab Asy-Syafi’i dan satu kelompok membolehkan semua itu tanpa ada karahah (kemakruhan). Mazhab Abu Hanifah dan yang lainnya memandang semuanya masuk ke dalam larangan karena keumuman hadits-hadits yang melarang. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan orang-orang yang sependapat dengannya berargumen bahwa telah tsabit (shahih) dari perbuatan Nabi saw bahwa beliau mengqadha shalat sunnah yang mengikuti shalat zhuhur setelah shalat ashar. Ini jelas menunjukkan tentang bolehnya mengqadha shalat sunnah yang luput dikerjakan pada waktunya. Tentunya kebolehan untuk mengerjakan shalat sunnah yang memang pada waktunya lebih utama lagi. Dan mengerjakan shalat faridhah (wajib) yang diqadha karena luput dari waktunya lebih utama lagi. Termasuk dalam kebolehan ini adalah shalat yang dikerjakan karena ada sebab.” (Al-Minhaj, 6/351)
Adapun beberapa waktu yang dilarang untuk melaksanakan shalat berdasarkan dalil dari hadits Nabi saw, diantaranya sebagai berikut
1. Sesudah shalat shubuh hingga munculnya matahari
عن ابى هريرة نهى النبى صلى ا الله عليه و سلم عن ا لصلا ة بعد ا لصبح حتى تطلع ا لشمس
Dari Abu Hurairah, ”Nabi Saw. Telah melarang shalat sesudah shalat shubuh hingga terbit matahari.” (HR Bukhari dan Muslim)
2. Ketika munculnya matahari hingga naik matahari setinggi tombak (pukul 8.00-9.00) jam Zawaliyah
3. Ketika waktu istiwa’ hingga bergeser, kecuali di hari Jum’at
عن ابى هريرة نهى النبى صلى ا الله عليه و سلم عن ا لصلا ةنصف النهارحتى تزول الشمس الايوم الجمعة
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. Telah melarang sholat pada waktu tengah hari tepat sampai tergelincir matahari kecuali hari Jum’at ( HR, Abu Daud)
4. Sesudah shalat ashar hingga tenggelamnya matahari
عن ابى هريرة نهى النبى صلى ا الله عليه وسلم عن الصلاةبعدالعصر
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw.telah melarang shalat sesudah shalat ashar(HR. Muslim)

5. Ketika matahari tenggelam hingga sempurna tenggelamnya
عن عقبة بن عامر قال:ثلاث ساعات كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهانا أن نصلي فيهن. أو أن نقبر فيهن موتانا: حين تطلع الشمس بازغة حتى ترتفع. وحين يقوم قائم الظهيرة حتى تميل الشمس. وحين تضيف الشمس للغروب
Dari Uqbah bin Amir, “Ada tiga waktu di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di timur dan di barat) sampai matahari tergelincir dan ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim)



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjabaran di atas, sholat lima waktu adalah rukun Islam yang kedua dan wajib dilaksanakan bagi setiap muslim. Dimana didalam pelaksanaannya berdasarkan dalil-dalil yang terdapat Al Qur’an dan Al Hadits menerangkan bahwa sholat telah ditentukan waktunya. Maka dari itu, dalam pelaksanaan shalat lima waktu harus sesuai dengan waktu. Sehingga wajib diketahui bagi setiap muslim, sesuai dengan petunjuk dari al Qur’an dan Al Hadits yang menjadi pedoman umat muslim dalam memenuhi panggilan dari Allah swt untuk beribadah kepada-Nya.
B. Saran
Sholat lima waktu merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan bagi setiap muslim, dimana pelaksanaannya sesuai waktu yang telah ditentukan. Maka, bagi kaum akademisi dan umat muslim lainnya harus melaksanakan sholat pada waktunya, sesuai dengan petunjuk dari Al Qur’an dan Al Hadits.

DAFTAR PUSTAKA
Al Ashqalani, Ibnu Hajar. Terjemah Buluighul Maram; penerjemah Muh. Syarief Sukandy. Cet. VIII. Bandung: Al Ma’arif. 1986
Al Ashqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari; penerjemah Amiruddin,Lc. Jakarta: Pustaka Azzam. 2003
Imam Abu Dawud. Sunan Abu Dawud.
Imam Bhukari. Shahih Bukhari.
Imam Muslim. Shahih Muslim.
Imam Nawawi. Shahih Muslim Syarah Nawawi.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Madzab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali; penerjemah Maskur, Afif Muhammad. Cet. V. Jakarta: Lentera. 2006
Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. 1994
Umar Abdul Jabar. Al Mabadi’ Al Fiqhiyyah; Juz III,

SHOLAWAT SORONG

PERKEMBANGAN DAN PENGAWALAN
SHALAWAT NABI MUHAMMAD SAW
(Studi Kasus terhadap Masyarakat Kabupaten Sorong)
Zaenal Arifin
I. Pendahuluan
Shalawat adalah bentuk kecintaan kepada Nabi Muhammad saw yang
merupakan bias dari spectrum padang cinta yang luas terhadap Allah swt yang
mesti dijaga keberlangsungannya. Bentuk penghormatan atau rasa cinta terhadap
Nabi Muhammad saw ini, sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah
swt. Hal itu, dilakukan dengan membaca maulid Nabi atau syair shalawat karya
para ulama untuk mengenang kembali riwayat kehidupan sang khataman nabiyyin
(penutup para nabi) yang diutus Allah swt bagi umat manusia. Sehingga, umat
manusia dapat meneladani akhlak Nabi Muhammad saw semasa hidupnya sesuai
dengan kadar kesanggupan yang dimiliki manusia.1Sebagaimana Allah swt
berfiman QS. Al Qalam: 4:
ٍ ِ َ ُ ٍ ُ َ َ َ َ َ وَإِّ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung.” 2
Dalam perkembangannya, shalawat kepada Nabi Muhammad saw menjadi
wujud amalan esensial bagi umat muslim dan tertanam di hati para pecinta
Rasulullah saw. Dimana, apresiasi para muslim ini akan terbawa kemanapun
mereka menginjakkan kakinya, termasuk di Kabupaten Sorong yang menjadi
salah satu tujuan program transmigrasi sebagian besar umat muslim dari Jawa.
Dari itu, umat muslim dari Jawa mengamalkan shalawat di tempat barunya untuk
mensosialisasikan agama Islam itu sendiri, sebagaimana yang sudah terlaksana di
tanah Jawa.3 Kondisi ini berlangsung seiring dengan berkembangnya pola hidup
1
Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan.(Cet. I;Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002), hal.
88
2
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, CV. Toha Putra: Semarang, 1989, hal. 960
3Muhammad Mujib. Kecintaan Struktural-Esensial terhadap Rasulullah saw. Buletin
Sidogiri.(Edisi 005; PP Sidogiri: Pasuruan, 2005), hal. 8
masyarakat muslim Jawa yang berbaur dengan masyarakat lain yang dikatakan
sebagai medan ladananya orang Nasrani di bumi Cendrawasih.
Tradisi masyarakat muslim di Kabupaten Sorong dalam acara keagamaan
tak lepas korelasinya dari bentuk budaya Islam masyarakat Jawa. Pelaksanaan
acara keagamaan acap kali dilakukan dengan pembacaan shalawat untuk
mengambil barokah dari khoirul anam Nabi Muhammad saw, antara lain acara
aqiqah, khitanan dan nikah. Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa bershalawat untukku sekali, niscaya Allah bershalawat
untuknya sepuluh kali." (HR. Muslim dari Abu Hurairah).4
Manusia bershalawat kepada Nabi saw merupakan sebagai bentuk penghormatan,
sedangkan Allah swt bershalawat untuk manusia dalam bentuk ampunan atau
rahmat. Sehingga, esensi bershalawat sudah merasuki psikologis umat muslim
untuk selalu diaplikasikan di segala lini kehidupan.5
Masyarakat muslim pecinta shalawat akan mengaktualisasikan bagaimana
bentuk bershalawat kepada Nabi Muhammad saw. Berbagai macam cara
dilakukan untuk bershalawat sebagai implementasi Hubbun Nabi (cinta Nabi)
demi mendapatkan syafa’atnya di yaumil qiyamah. Nabi saw bersabda:
“Manusia yang paling utama terhadap diriku pada hari kiyamat, ialah
manusia yang paling banyak bershalawat untukku” (HR At Thurmudzy) 6
Salah satu cara yang digunakan masyarakat muslim Jawa dalam pembacaan
shalawat dengan menggunakan iringan musik rebana. Irama klasik rebana
mempunyai suara yang khas, dapat menjadi pemacu semangat dalam bershalawat
dan syair-syair pujian terhadap Rasulullah saw. Dari itu, rebana mempunyai nilai
seni dalam bershalawat dimana manusia selalu ingin mencoba sesuatu hal yang
baru.
4
Abu Fajar Al Qalami dan Abdul Wahid Al Banjari, Terjemah Riyadhush Shalihin, (Cet. I;
Gitamedia: Jakarta, 2004), hal. 471
5 Abu Sangkan .Shalawat Untuk Nabi, diakses di www.google.com tanggal 06 Januari 2010
6 Ibid.,
Berdasarkan realita mengenai shalawat sebagai bentuk kecintaan kepada
Nabi Muhammad saw bagi umat Islam, khususnya masyarakat Jawa yang terjadi
di Kabupaten Sorong tersebut, terdapat satu masalah pokok yang menarik untuk
dikaji dalam makalah ini, yaitu bagaimana perkembangan dan pengawalan
shalawat Nabi Muhammad saw di Kabupaten Sorong? Untuk menjawab
permasalahan tersebut, dalam pembahasan selanjutnya akan diuraikan tiga
persoalan utama. Pertama, bagaimana perkembangan shalawat Nabi saw di
Kabupaten Sorong?. Kedua, bagaimana bentuk atau model pengawalan shalawat
Nabi saw di Kabupaten Sorong?. Ketiga, bagaimana pengaruh shalawat Nabi saw
terhadap peningkatan kualitas keagamaan masyarakat Kabupaten Sorong?.
Sebelim ketiga masalah tersebut dijabarkan satu persatu. pada bagian berikut,
akan di uraikan setting masyarakat Aimas sebagai masyarakat pecinta shalawat
dalam berbagai aspek kehidupan.
II. Aimas: Potret Masyarakat Jawa yang mengamalkan Shalawat Nabi
Muhammad saw
Kabupaten Sorong adalah sebuah kabupaten di provinsi Papua Barat,
Indonesia. Sebelum terjadi pemekaran wilayah, Kabupaten Sorong merupakan
bagian dari wilayah pemerintahan Kota Sorong. Dalam perkembangannya,
Kabupoaten Sorong telah terbentuk pemerintahan sendiri dengan ibu kota yang
terletak di Kota Aimas. Lokasi Kota Aimas dari Kota Sorong di tepuh jarak 19 km
yang merupakan salah satu penghasil minyak utama di Indonesia. Kawasan
perairannya dikenal sebagai habitat Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea
vandelli).
Kabupaten Sorong mempunyai luas wilayah 7.415,29 km2 dengan
kepadatan penduduk 12 jiwa/km2. Pada tahun 2008, jumlah penduduk di wilayah
Kabupaten Sorong sekitar 90.933 jiwa.7 Status kependudukan di Kabupaten
Sorong diklasifikasikan dalam tiga golongan. Pertama, penduduk asli yang sudah
lama hidup di tanah Papua. Kedua, penduduk transmigrasi yang datang dari
7
Kabupaten Sorong diakses di http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sorong. tanggal 24
Februari 2010
berbagai pulau di Indonesia sesuai dengan program pemerintah dan menetap di
Sorong. Ketiga, penduduk yang merantau mengadu nasib di Sorong dalam
mencari pekerjaan dan sukses kemudian hidup menetap.
Potensi ekonomi masyarakat Kabupaten Sorong dapat dilihat di Kota
Aimas yang menjadi tolak ukur kehidupan masyarakat. Ada berbagai macam cara
yang dilakukan masyarakat dalam mencukupi kebutuhan ekonominya.
Diantaranya ada yang menjadi petani, berdagang, penjual ikan, nelayan dan lainlain.
Untuk masyarakat Aimas, cenderung bertumpu dari hasil pertanian dan
perdagangan hasil pertanian. Lahan pertanian yang luas dapat menghasilkan
berbagai macam tanaman yang terjangkau masyarakat, antara lain sayuran dan
buah-bauhan. Akan tetapi, lahan pertanian masih bergantung dengan adanya air
hujan atau air sumur. Sehingga, hasilnya kurang maksimal jika kekurangan air
atau tidak ada hujan. Dikarenakan belum adanya aliran irigasi yang memadai
untuk pengairan lahan pertanian.
Di bidang pendidikan, masyarakat sudah banyak yang mencapai
pendidikan formal tingkat SMA, bahkan sampai perguruan tinggi. Sedangkan
dalam pendidikan agama sudah berdiri beberapa pondok pesantren untuk
menimba ilmu agama Islam dari para ustadz bagi kader-kader bangsa yang islami.
Ilmu agama Islam ini, dapat diaplikasikan dalam pembentukan karakter
masyarakat Aimas dan sekitarnya. Karena, pendidikan agama Islam ini akan
membentuk masyarakat yang menganut ajaran Islami, dimana ajaran Islam
bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadits sudah mencakup segala aspek kehidupan.
Dilihat dari sisi agama Islam, kebudayaan masyarakat muslim Aimas
banyak dipengaruhi dari masyarakat pendatang, khususnya masyarakat muslim
Jawa. Bentuk-bentuk kebudayaan Islam sudah merasuk di masyarakat
sebagaimana terjadi di tanah Jawa, seperti jaranan, seni tari, seni wayang kulit,
rebana, dan lain-lain. Sebagaimana posisi agama Islam bersifat mengakomodir
ajaran sebelumnya dengan memberi makna baru.8 Sehingga, shalawat dengan
iringan rebana memberi makna bahwa kesenian dapat dijadikan sebagi media
dakwah agana Islam.
III. Perkembangan Shalawat Nabi SAW di Kabupaten Sorong
Allah swt telah mengutus Nabi Muhammad saw dan telah memberinya
kekhususan dan kemuliaan untuk menyampaikan risalah. Ia telah menjadikannya
rahmat bagi seluruh alam dan pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa serta
menjadikannya orang yang dapat memberi petunjuk ke jalan yang lurus. Maka
seorang hamba harus taat kepadanya, menghormati dan melaksanakan hakhaknya.
Dengan segala jasa beliau kepada umat manusia, lalu Allah menyebutkan
tindakan yang pantas untuk dilakukan kepada beliau, yakni mengucapkan
shalawat. Allah swt berfirman QS. Al-Ahzab: 56:
ِ ْ َ َ ا ُ ا صَّ ُ َ#& 'َ ( َ ِ اّ َ) ُ أَّ َ ِ ِّ َ ّ ا َ َ نَ ُ َّ ُ ُ َ َ ِ!" َ# َ وَ َّ إِنَّ ا
ً, ِ ْ- ا تَ ُ, ِ َّ/ وَ
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk nabi.
Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” 9
Dari ayat di atas, ada beberapa redaksi menyangkut pengertian shalawat.
Shalawat juga berarti doa, baik untuk diri sendiri, orang banyak atau kepentingan
bersama. Sedangkan shalawat sebagai ibadah ialah pernyataan hamba atas
ketundukannya kepada Allah swt, serta mengharapkan pahala dari-Nya,
sebagaimana yang dijanjikan Nabi Muhammad saw, bahwa orang yang
bershalawat kepadanya akan mendapat pahala yang besar, baik shalawat itu dalam
bentuk tulisan maupun lisan (ucapan).10
Menurut H. Ahmad Soetedjo, selaku Ketua MUI Kabupaten Sorong,
sekitar tahum 1980-an keberadaan pembacaan shalawat Nabi saw di Kabupaten
8
Dewi Yuliana dan Zaenal Arifin, Posisi Islam Diantara Agama-Agama di Dunia, Makalah
Metodologi Studi Islam, BPI Khusus STAIN Sorong, 2010
9
Departemen Agama RI, op. cit., hal. 678
10 Arti Shalawat diakses di http://achehsumatra.blogspot.com/2005/08/arti-shalawat.html tanggal
30 Januari 2010
Sorong telah dirintis oleh masyarakat muslim terdahulu datang dalam program
transmigrasi di tanah Papua, khususnya masyarakat muslim Jawa. Pada saat itu,
masih sebagian kecil muslim yang mengamalkan shalawat. Shalawat yang sering
dibaca oleh masyarakat ialah Maulid Al Barzanji karya Syeikh Ja’far bin Hasan
Al Barzanji. Di dalam Maulid Al Barzanzi, riwayat Nabi dikisahkan dalam
kalimat yang sangat indah, enak dibaca dan enak di dengar. Demikian juga,
kasidah Al Barzanji yang berisi shalawat dan pujian kepada Nabi saw disusun
dalam karya seni yang sangat tinggi kualitasnya dan ritmenya bisa didendangkan
dengan berbagai lagu.11
Pelaksanaan pembacaan shalawat diadakannya tiap hari besar agama Islam
atau dalam acara keagamaan seperti aqiqah dan nikah. Pembacaan shalawat
sebagai implementasi kecintaan kepada Nabi saw, yaitu doa yang secara khusus
diperuntukkan kepada Nabi Muhammad saw dengan korelasi mendapat syafa’at
darinya. Dalam teologi Islam dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw memiliki
“otoritas” syafa`at, yakni perlindungan kepada ummatnya kelak nanti di hari
kiamat, ketika tidak ada lagi yang bisa memberikan perlindungan.12
Orang yang berpeluang memperoleh syafa’at Nabi adalah orang yang
mencintainya. Wujud dari cinta Rasulullah dibuktikan dengan membaca salawat
itu. Nabi saw sendiri secara konsepsional sudah tidak memerlukan doa dari
ummatnya, jadi shalawat itu bukan untuk kepentingan Nabi, tetapi untuk
kepentingan kita. Jika Nabi diibaratkan sebuah gelas, ia sudah penuh dengan air
putih bersih, dan orang yang membaca shalawat Nabi ibarat menambahkan air ke
dalam gelas yang sudah penuh itu dengan harapan memperoleh luberannya, yakni
luberan syafa`atnya. Semoga kita sebagai umatnya mendapakan syafa’at Nabi
Muhammad saw di hari kiyamat kelak.
11
Agus Syafi’i. Makna Shalawat, diakses di http//:agussyafii.blogspot.com/2009/03/maknashalawat.
html. pada tanggal 07 Januari 2010
12 Wawancara dengan H. Ahmad Soetedjo (Ketua MUI Kabupaten Sorong) di gedung LPTQ Kab.
Sorong pada tanggal 20 Februari 2010
Dalam perkembangannya, pembacaan shalawat Nabi saw menjadi beragam.
Tidak hanya Kitab Al Barzanji atau kasidah syair pujian Nabi saw yang ada
didalamnya saja. Para ulama telah menulis dalam bentuk Maulid Nabi atau
kasidah syair-syair pujian terhadap Nabi saw, seperti Maulid Ad Diyba’i karya
Imam Jalil Abdurahman Ad Diyba’I, Maulid Simthud Durar karya Al Habib Ali
bin Muhammad bin Husain Al Habsyi, dan nanti akan lebih banyak lagi. Hal itu,
dilakukan sebagai wujud kecintaan para alim ulama kepada Nabi saw. Tiada lain
para ulama mengharapkan barokah dan syafa’at dari Nabi Agung Muhammad saw
yang diutus Allah swt bagi seluruh umat manusia.
Dalam tahap selanjutnya, untuk lebih mewarnai suasana dalam membaca
shalawat digunakan iringan musik rebana yang dipelopori oleh para remaja,
khususnya anak perantau muslim. Para remaja menginspirasi para tokoh agama
untuk menggunakan media rebana dalam bershalawat. Sekelumit pengalaman
menabuh rebana dan lagu syair shalawat disatukan. Dengan motivasi dan spirit
yang tinggi terbentuklah kelompok pembacaan shalawat dengan media iringan
rebana. Rebana telah memberi warna baru dalam bershalawat, yakni lagu berpadu
dengan musik. 13Hal ini, dapat mendorong masyarakat muslim untuk mengajak
berkumpul dan mempublikasikan shalawat dengan mudah. Sehingga, shalawat
dapat mengajak masyarakat untuk mengungkap kembali riwayat hidup Rasulullah
saw untuk diteladani. Allah swt berfirman QS. Al Ahzab:21 :
0 ِ َ 1 ْمَ ا َ ْ َ وَا َ ّ ا ُ3 ْ0 َ نَ ْ آَ ' َ, ِ ٌ 6 َ َ- َ7 ةٌ ْ َ / ِ أُ َ ّ لِ ا ُ/ رَ ِ; ْ ُ َ نَ ْ آَ < َ= َ ا0ً ِ> َ آَ َ ّ ا 0 وَذَآَ َ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”14
Menurut M. Quraish Shihab, Nabi Muhammad saw adalah manusia
seperti manusia yang lain dalam naluri, fungsi fisik, dan kebutuhannya, tetapi
bukan dalam sifat-sifat dan keagungannya, karena beliau mendapat bimbingan
13Wawancara dengan sahabat Abdul Salam (Sekretaris GP-Ansor Kab. Sorong) dalam acara
Maulid Nabi di Aimas. tanggal 26 Februari 2010
14
Departemen Agama RI, op. cit., hal. 670
Allah swt dan kedudukan istimewa di sisi-Nya, sedang yang lain tidak demikian.
Seperti halnya permata adalah jenis batu yang sama jenisnya dengan batu yang di
jalan, tetapi ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh batu-batu lain.15
Kegiatan bershalawat secara berjamaah di mulai dari kegiatan rutin setiap 2
minggu sekali dengan berkumpulnya masyarakat Kabupaten Sorong di masjid
atau mushola. Pembacaan shalawat berjama’ah ini dijadikan sebagai media syiar
Islam untuk mengenal dan mencintai Rasulullah saw dengan diiringi musik rebana
klasik yang merupakan ciri khas kebudayan Islam di nusantara. Kebudayaan Islam
ini berkembang pesat dalam masyarakat di daerah Jawa. Iringan rebana inilah
kombinasi seni dan ritual bershalawat tergabung jadi satu dan mampu merenggut
hati para jama’ah untuk mengucapkan atau mengumandangkan sholawat atas Nabi
Muhammad SAW, dialah sebaik-baiknya pemimpin umat.
Selain untuk mendapatkan barokah membaca shalawat, pembacaan
shalawat merupakan senjata yang ampuh untuk mengumpulkan warga muslim,
karena mengumpulkan umat itu tidak mudah. Pembacaan shalawat berlangsung
untuk munajah kepada Allah swt dan Rasulullah saw untuk mendekatkan diri
kepda Allah swt. Tak ketinggalan di majelis shalawat ini disisipkan kajian tentang
ajaran agama Islam, ilmu fiqih atau bahtsul masail. Sepulang dari acara
pembacaan shalawat akan didapat pencerahan hati bagi pelakunya. Maka,
shalawat dapat digunakan sebagai media berdakwah untuk mensyiarkan ajaran
agama Islam dan menjalin silaturahmi dalam menjaga ukhuwah islamiyah antar
warga muslim.
IV. Bentuk atau Model Pengawalan Shalawat Nabi SAW di Kabupaten
Sorong
Pada saat kita telah diberi bantuan oleh orang lain, sudah pastinya akan
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga, atau mungkin mengucapkan doa
untuk kebaikannya. Begitu pula dengan Rasulullah Saw yang telah mengeluarkan
kita dari lembah kegelapan menuju alam terang benderang, maka sudah
15
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an.(Cet.13,Penerbit Mizan: Bandung.1996), hal 54
sepantasnya bagi kita untuk mengucapkan sholawat serta salam atas beliau,
sebagai ungkapan rasa terima kasih dan kecintaan kita atas jasa dan perjuangan
yang tidak tertandingi di alam jagad ini.
Penghormatan kita kepada presiden bukan berarti kehormatan presiden itu
akan bertambah atau berkurang kalau anda tidak menghormatinya, karena
kedudukan presiden itu adalah tempat yang paling terhormat di suatu negara.
Sebagai rakyat seharusnyalah kita menghormati dan menghargai presiden
sebagaimana Allah telah memuliakan orang yang diangkat derajatnya sebagai
presiden. Sebab orang tersebut tidak akan menjadi presiden tanpa pertolongan dan
kasih sayang-Nya. Untuk itu hargailah dan bersyukurlah kita telah memiliki
presiden.
Logika kita yang menyebutkan bahwa mana mungkin bahwa seorang
rakyat yang menderita memerintahkan presiden untuk menaikkan pangkat dan
gajinya sang panglima sementara diri kita yang menderita masih kekurangan.
Dalam ibadah sehari-hari, sebenarnya ada sebuah perbuatan ringan yang
apabila kita lakukan mendatangkan manfaat yang begitu besar, dan apabila kita
tinggalkan maka kita termasuk golongan orang yang tidak berbalas budi.
Dalam ibadah-ibadah lain, Allah SWT memerintahkan kepada hambahambaNya
untuk mengerjakannya, namun khusus dalam perintah membaca
sholawat, Allah Swt menyebutkan bahwa Allah Swt sendiri bersholawat atasnya,
kemudian memerintahkan kepada malaikatNya, baru kemudian kepada orangorang
yang beriman untuk bersholawat atasnya. Dengan hal ini semakin
menunjukkan bahwasanya membaca sholawat atas Nabi Muhammad saw, tidak
cuma sekedar ungkapan terima kasih, tetapi ia juga menjadi ibadah yang utama.
V. Pengaruh Shalawat Nabi terhadap Peningkatan Kualitas Keagamaan
Masyarakat Kabupaten Sorong
Umat Islam harus mentaati Allah dan Rasul untuk mendapatkan nikmat
Allah bersama para Nabi, para shiddiq, para syuhada’ dan shalihin. Allah
swtberfirman QS. An Nisa’: 69:
'َ ِ ِّ َ ّ ا ' ِ َ # ْ ِ) ْ َ َ ُ َ ّ ا َ َ ْ أَ 'َ ( َ ِ اّ @ َ َ # ِ َ A َ وB َُ; لَ ُ/0َّ َ وَا َ ّ ا @ ِ ِ C ُ ْ ' َ# وَ
ً= ِ; رَ ِ َ A َ أُو ' ُ َ - َ7 وَ 'َ ِD ِ َ ّ اءِ وَا < َ َ ) ُFّ وَا 'َ ِ= < ِ ِّ ّ وَا
“Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orangorang
saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
Shalawat dalam korelasinya dengan peningkatan kualitas keagamaan
masyarakat muslim, dalam hadits Nabi saw bersabda:
“Siapa mencintai Allah swt, pasti banyak menyebutnya (berdzikir
kepadaNya), buahnya ia diingat oleh Allah dengan pemberian rahmat dan
ampunanNya, danm dimasukkan surga bersama para Nabi, para WaliNya,
serta dimulyakan dengan memandang keindahan DzatNya. Dan siapa
mencintai Nabi saw, pasti banyak bershalawat kepada beliau, buahnya
“wushul”/dapat mencapai syafaatnya, dan mendekatinya di surga”.
Maksudnya menjadi teman dekat kelak di surga.” 16
Taat kepada Allah swt diwujudkan dengan bertakwa kepadaNya. Sedangkan
taat kepada Nabi saw diwujudkan dengan mematuhi sunnah beliau dan
bershalawat kepadanya. Sehingga, umat Islam di Kabupaten Sorong akan selalu
mengamalkan shalawat Nabi saw.
Masyarakat muslim Kabupaten Sorong memperbanyak berkumpul untuk
bershalawat. Dalam pertemuan untuk bershalawat banyak disebut asma Allah dan
Rasul-Nya yang membuahkan banyak hal, termasuk syiar dan dapat
menggetarkan hati supaya khusuk dalam munajah terhadap Allah swt. Sesuatu
yang bisa meneteskan air mata karena merasa kecil dan banyak dosa.
membuahkan keimanan dan rohani yang kuat. Nabi saw bersabda:
Barangsiapa yang membaca shalawat kepadaku sebanyak satu kali maka
Allah akan memberikan kebaikan kepada orang itu sebanyak 10 kali, akan
16
Abu H.F. Ramadlan, Terjemah Durratun Nashihin, (Mahkota: Surabaya, 1987), hal 187
dihapus orang itu (pembacanya) dari 10 kesalahan (dosa) dan akan
ditinggikan derajatnay 10 kali (kebaikan).(HR. Bhukhari)17
Sehingga dengan bershalawat, akan meningkatkan keimanan dan ketakwaan untuk
mendekatkan diri kepada Allah swt serta dapat lebih mengenal siapa Nabi
Muhammad SAW sebagai suri tauladan bagi umatnya.
Dalam perkumpulan shalawat tersebut, sebagai wujud syiar agama Islam
dalam menyebarkan ajarannya. Karena masyarakat muslim di Kabupaten Sorong
dapat menjalin silaturahmi antar sesama muslim untuk menjaga ukhuwah
islamiyah. Kerukunan antar warga akan selalu terjaga baik. Kebutuhan akan
pertolongan dari orang lain dapat terlaksana dengan mudah. Sesama muslim
adalah saudara bagaikan sebuah bangunan. Muslim satu dengan lainnya bersatu
untuk saling melengkapi.
Kegiatan bershalawat bagi masyarakat juga dapat membentuk akhlak yang
mulia. Dengan lebih mengenal Rasulullah saw dapat dijadikan contoh
kehidupannya bersama para sahabatnya. Dalam diri Rasulullah saw mempunyai
sifat yang mulia, yakni pemaaf, sabar, kasih saying, ikhlas dan masih banyak lagi.
Karena masyarakat meneladani Rasulullah sebagai uswatun hasanah bagi
umatnya.
VI. Kesimpulan
Umat Islam harus mentaati Allah dan Rasul-Nya. Wujud dari taat kepada
Allah swt yaitu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
laranganNya yang biasa disebut taqwa. Ketakwaan kepada Allah swt itu sendiri,
akan timbul secara sempurna apabila mengikuti tuntunan dari Rasulullah saw
sebagai uswatun hasanah.
Taat kepada Allah dan Rasul-Nya terwujud karena adanya rasa cinta
terhadap Allah dan Rasul-Nya. Bentuk dari kecintaan kepada Allah, kita akan
banyak menyebut nama-Nya yaitu berdzikir kepada-Nya. Sedangkan bentuk
17
Hussein Bahreisj, Al Jami’ush Shaih Hadits Shahih Bukhari-Muslim, CV. Karya Utama:
Surabaya, 2000 hal 272
kecintaan kepada Rasulullah saw, kita juga akan banyak menyebutnya yakni
dengan bershalawat untuk beliau.
Perkembangan shalawat yang terjadi di Kabupaten Sorong telah dirintis para
pendatang terdahulu. yaitu masyarakat muslim yang datang dalam program
transmigrasi di tanah Papua, khususnya masyarakat muslim Jawa. Pada awalnya,
pembacaan shalawat dilaksanakan dalam bentuk kelompok kecil bahkan masih
langka terjadi di masyarakat. Shalawat yang dibaca saat itu kitab Al Barzanji
karya Syeikh Ja’far Al Barzanji serta kasidah atau syair pujian terhadap Nabi saw.
Pembacaan shalawat di gunakan dalam acara memperingati hari besar agama
Islam dan upacara keagaman seperti aqiqah atau nikah.
Seiring waktu berjalan, ada perkembangan yang menarik dari pembacaan
shalawat. Motivasi dalam bershalawat menjadi lebih semangat dengan diiringi
musik klasik rebana. Dentuman suara khas rebana yang ditabuh akan membawa
rohani pembaca shalawat bergetar dalam bentuk kecintaan terhadap Nabi saw.
Rasa cinta kepada Nabi saw sebagai jalan menuju kecintaan kepada sang Pencipta
Nabi Agung Muhammad saw, tiada lain Allah swt.
Bershalawat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas keagamaan
masyarakat Kabupaten Sorong, antara lain:
1. Masyarakat bershalawat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt melalui
tuntunan Rasulullah saw sebagai tali penghubung menuju hadirat Allah swt.
2. Masyarakat muslim yang mencintai Nabi Muhammad saw akan
memperbanyak membaca shalawat untuk mendapatkan syafaat dari
Rasulullah saw di hari kiamat kelak
3. Masyarakat dapat lebih mengenal siapa Nabi saw karena dalam diri
Rasulullah saw terdapat suri tauladan yang baik yaitu uswatun hasanah bagi
umatnya
4. Masyarakat bershalawat untuk berkumpul untuk mendapatkan siraman
rohaniahnya dalam pembentukan akhlak yang mulia
5. Masyarakat bershalawat untuk menjalin silaturahim antar sesama muslim
sehingga ukhuwah islamiyah akan selalu terjaga.
Semoga Allah swt memberi rahmat dan ampunan-Nya bagi para pecinta
Nabi Muhammad saw (Ahbaabul Musthofa) yang selalu mengumandangkan
shalawat.
Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad wa’ala ali syyidina
Muhammad…
DAFTAR PUSTAKA
Al Qalami, Abu Fajar dan Abdul Wahid Al Banjari, Terjemah Riyadhush
Shalihin, Cet. I; Gitamedia: Jakarta, 2004
Bahreisj, Hussein ,Al Jami’ush Shahih Hadits Shahih Bukhari-Muslim, CV. Karya
Utama: Surabaya, 2000
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, CV. Toha Putra: Semarang,
1989
Nata, Abudin, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan. Cet. I; PT Raja Grafindo Persada:
Jakarta,2002
Ramadlan, Abu H.F., Terjemah Durratun Nashihin, Mahkota: Surabaya, 1987
Shihab, M.Quraish, Wawasan Al-Qur’an.Cet.13;Penerbit Mizan: Bandung.1996
Yuliana, Dewi dan Zaenal Arifin, Posisi Islam Diantara Agama-Agama di Dunia,
Makalah Metodologi Studi Islam, BPI Khusus STAIN Sorong, 2010
Abu Sangkan, Shalawat Untuk Nabi, diakses di www.google.com 06 Januari 2010
Agus Syafi’i. Arti Shalawat, diakses di
http//:agussyafii.blogspot.com/2009/03/makna-shalawat.html.
07 Januari 2010
Arti Shalawat. http://achehsumatra.blogspot.com/2005/08/arti-shalawat.html
07 Januari 2010
Kabupaten Sorong . http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sorong.
24 Februari 2010
Buletin Sidogiri. Wahana Aktualisasi Pemikiran Salaf. Edisi 005; PP Sidogiri:
Pasuruan, 2005
Wawancara dengan H. Ahmad Soetedjo (Ketua MUI Kabupaten Sorong) di
gedung LPTQ Kab. Sorong pada tanggal 20 Februari 2010
Wawancara dengan sahabat Abdul Salam (Sekretaris GP-Ansor Kab. Sorong)
dalam acara Maulid Nabi di Aimas. tanggal 26 Februari 2010

KITAB MUWATHTHA’ KARYA IMAM MALIK BIN ANAS

BAB I
PENDAHULUAN

Hasil kodifikasi hadis yang dilakukan oleh Muhammad ibn Syihab al Zuhri (51-125 H) dan Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm dianggap sebagai kitab hadis yang pertama ada dalam sejarah pembukuan hadis. Namun karya kedua ulama tersebut tidak dapat dijumpai lagi saat sekarang ini. Setelah kedua tokoh tersebut maka bermuncullah sejumlah ulama Hadis yang menghimpun dan mengkodifikasi Hadis, sehingga lahirlah kitab-kitab hadis yang bervariasi jenis dan macamnya dilihat dari sistimatika penyusunannya.
Di antara kitab-kitab Hadis yang merupakan hasil kodifikasi para ulama tersebut yang masih dapat kita jumpai saat ini di antaranya kitab al Muwaththa’ yang disusun oleh Imam Malik ibn Anas.
Oleh karena itu dalam makalah ini akan memaparkan secara garis besar salah satu kitab hadis tertua produk abad ke-2 H., al-Muwaththa’, dengan memfokuskan dua materi bahasan. Pertama, tentang biografi Imam Malik yang mencakup identitas, kepribadian, guru-guru dan murid-murid serta buah karya Imam Malik dalam keilmuannya. Kedua, tentang kitab al-Muwaththa’ itu sendiri yang meliputi beberapa aspek yakni latar belakang penyusunan, penamaan, isi, sistematika, metode, kualitas hadis-hadisnya, pendapat para ulama serta kritikan para orientalis terhadap karya tersebut.
Dengan kupasan dua fokus kajian di dalam makalah ini diharapkan dapat mengantarkan kepada para pembaca untuk lebih jauh menelusuri dan mencermati kitab al-Muwaththa’ lebih dalam lagi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sekilas Biografi Imam Malik

1. Nama dan Nasab serta tahun kelahirannya
Imam Malik yang memiliki nama lengkap Abu Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn Amr ibn al-Haris ibn Gaiman ibn Husail ibn Amr ibn al-Haris al-Asbahi al-Madani. Kunyah-nya Abu Abdullah, sedang laqab-nya al-Asbahi, al-Madani, al-Faqih, al-Imam Dar al-Hijrah, dan al-Humairi. Dengan melihat nasab Imam Malik, beliau memiliki silsilah yang sampai kepada tabi’in besar (Malik) dan kakek buyut (Abu Amir) seorang sahabat yang selalu mengikuti dalam peperangan pada masa Nabi.
Imam Malik dilahirkan di kota Madinah, dari sepasang suami-istri Anas bin Malik dan Aliyah binti Suraik, bangsa Arab Yaman. Ayah Imam Malik bukan Anas bin Malik sahabat Nabi, tetapi seorang tabi’in yang sangat minim sekali informasinya. Dalam buku sejarah hanya mencatat, bawa ayah Imam Malik tinggal di suatu tempat bernama Zulmarwah, nama suatu tempat di padang pasir sebelah utara Madinah dan bekerja sebagai pembuat panah. Sedang kakeknya, memiliki kunyah Abu Anas adalah tabi’in besar yang banyak meriwayatkan hadis dari Umar, Talhah, Aisyah, Abu Hurairah dan Hasan bin Abi Sabit; termasuk penulis mushaf Usmani serta termasuk orang yang mengikuti penaklukan Afrika pada masa khalifah Usman.
Tentang tahun kelahirannya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para sejarawan. Ada yang menyatakan 90 H, 93 H, 94 H dan adapula yang menyatakan 97 H. Tetapi mayoritas sejarawan lebih cenderung menyatakan beliau lahir tahun 93 H pada masa Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik ibn Marwan dan meninggal tahun 179 H.
Imam Malik menikah dengan seorang hamba yang melahirkan 3 anak laki-laki (Muhammad, Hammad dan Yahya) dan seorang anak perempuan (Fatimah yang mendapat julukan Umm al-Mu’minin). Fatimah temasuk di antara anak-anaknya yang dengan tekun mempelajari dan hafal dengan baik Kitab al-Muwaththa’ .
2. Pribadinya
Imam Malik memiliki budi pekerti yang luhur, sopan, lemah lembut, suka menolong orang yang kesusahan, dan suka berderma kepada fakir miskin. Beliau juga termasuk orang yang pendiam, tidak suka membual dan berbicara seperlunya, sehinga dihormati oleh banyak orang.
Namun di balik kelembutan sikapnya, beliau memiliki kepribadian yang sangat kuat, dan kokoh dalam pendirian. Beberapa hal yang bisa menjadi bukti adalah: Pertama, penolakan Imam Malik untuk datang ke tempat penguasa (istana), Khalifah Harun ar-Rasyid, dan menjadi guru bagi keluarga mereka. Bagi Imam Malik semua orang yang membutuhkan ilmu harus datang kepada guru dan ilmu tidak mendatangi muridnya serta tidak perlu secara eksklusif disendirikan, meski mereka adalah penguasa. Kedua, Imam Malik pernah dicambuk 70 kali oleh Gubernur Madinah Ja’far ibn Sulaiman ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas, paman dari Khalifah Ja’far al-Mansur, karena menolak mengikuti pandangan Ja’far ibn Sulaiman. Bahkan dalam sebuah riwayat diceritakan Imam Malik didera dengan cemeti, sehingga tulang punggungnya hampir putus dan keluar dari lengannya dan tulang belakangnya hampir remuk. Setelah itu beliau diikat di atas punggung unta dan diarak keliling Madinah, supaya beliau malu dan mau mencabut fatwa-fatwanya yang berbeda dengan penguasa, tetapi Imam Malik tetap menolaknya. Ketiga, meski tiga Khalifah (Ja’far al-Mansur (131-163 H); al-Mahdi (163-173 H); dan Harun al-Rasyid (173-197 H) telah meminta Imam Malik menjadikan al-Muwaththa’ sebagai Kitab resmi negara, namun tiga kali pula Imam Malik menolak permintaan mereka.
3. Guru-Guru, Murid-Murid Dan Karya-Karyanya
a. Guru-gurunya
Sejak kecil atas dukungan orang tuanya, khususnya ibunya, beliau berguru kepada para ulama di Madinah. Beliau tidak pernah berkelana keluar dari Madinah. Karena, kota Madinah pada masa itu adalah pusat Ilmu Pengetahuan Agama Islam, dan karena di tempat inilah banyak tabi’in yang berguru dari sahabat-sahabat Nabi dan banyak ulama dari berbagai penjuru dunia berdatangan untuk berguru dan bertukar pikiran. Imam Malik pernah belajar kepada 900 guru, 300 di antaranya dari golongan tabi’in dan 600 orang dari kalangan tabi’it tai’in., Di antara guru-gurunya yang terkemuka adalah:
1) Rabi’ah ar-Ra’yi bin Abi Abdurrahman Furuh al-Madani (w. 136 H). Rabi’ah adalah guru Imam Malik pada waktu kecil, yang mengajari Imam Malik tentang Ilmu Akhlak, Ilmu Fiqh dan Ilmu Hadis. Ada 12 riwayat hadis yang diriwayatkan, dengan perincian lima musnad dan satu mursal.
2) Ibnu Hurmuz Abu Bakar bin Yazid (w. 147 H). Imam Malik berguru kepada Hurmuz selama kurang lebih 8 tahun dalam Ilmu Kalam, Ilmu I’tiqad dan Ilmu Fiqh dan mendapatkan 54-57 hadis darinya.
3) Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124 H), Imam Malik meriwayatkan 132 hadis darinya, dengan rincian 92 hadis musnad dan yang lainnya mursal.
4) Nafi’ ibn Surajis Abdullah al-Jaelani (w. 120 H). Dia adalah pembantu keluarga Abdullah ibn Umar dan hidup masa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Riwayat Imam Malik darinya adalah riwayat yang paling sahih sanadnya. Imam Malik mendapat 80 hadis lebih dari Nafi’.
5) Ja’far Sadiq ibn Muhammad ibn Ali al-Husain ibn Abu Talib al-Madani. (w. 148 H). Beliau adalah salah seorang imam isna asy’ariyyah, ahlul bait dan ulama besar. Imam Malik berguru fiqh dan hadis kepadanya dan mengambil sembilan hadis darinya dalam bab manasik.
6) Muhammad ibn al-Munkadir ibn al-Hadiri al-Taimy al-Qurasyi (w. 131 H). Beliau adalah saudara dari Rabi’ah al-Ra’yi, ahli fiqh Hijaz dan Madinah, ahli hadis dan seorang qari` yang tergolong sayyidat al-qura.
b. Murid-muridnya
Murid-murid Imam Malik dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok:
1) Dari kalangan Tabi’in di antaranya Sufyan al-Sauri, al-Lais bin Sa’id, Hammad ibn Zaid, Sufyan ibn Uyainah, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Syarik ibn Lahi’ah, dan Ismail ibn Khatir
2) Dari Kalangan Tabi’it-tabi’in adalah al-Zuhri, Ayub al-Syahkhtiyani, Abul Aswad, Rabi’ah ibn Abd al-Rahman, Yahya ibn Sa’id al-Ansari, Musa ibn ‘Uqbah dan Hisyam ibn ‘Urwah.
3) Bukan Tabi’in: Nafi’ibn Abi Nu’aim, Muhammad ibn Aljan, Salim ibn Abi ‘Umaiyah, Abu al-Nadri, Maula Umar ibn Abdullah, al-Syafi’i, dan Ibn Mubarak.
c. Karya-karyanya
Di antara karya-karya Imam Malik adalah: (a) al-Muwaththa’ , (b) Kitab Aqdiyah, (c) Kitab Nujum, Hisab Madar al-Zaman, Manazil al-Qamar, (d) Kitab Manasik, (e) Kitab Tafsir li Garib al-Qur’an, (f) Ahkam al-Qur’an, (g) al-Mudawanah al-Kubra, (h) Tafsir al-Qur’an, (i) Kitab Masa’Islam, (j) Risalah ibn Matruf Gassan, (k) Risalah ila al-Lais, (l) Risalah ila ibn Wahb. Namun, dari beberapa karya tersebut yang sampai kepada kita hanya dua yakni, al-Muwaththa’ dan al-Mudawwanah al-Kubra.
4. Wafat Imam Malik
Sebagaimana tahun kelahirannya, ada beberapa versi tentang waktu meninggalnya Imam Malik. Ada yang berpendapat tanggal 11, 12, 13, 14 bulan Rajab 179 H dan ada yang berpendapat 12 Rabi’ul Awwal 179 H. Di antara pandangan yang paling banyak diikuti adalah pendapat Qadi Abu Fadl Iyad yang menyatakan bahwa Imam Malik meninggal pada hari Ahad12 Rabi’ul Awwal 179 H dalam usia 87 tahun, setelah satu bulan menderita sakit. Beliau dikebumikan di kuburan Baqi’. Beliau berwasiat untuk dikafani dengan pakaianya yang putih dan dishalatkan di tempat meninggalnya. Dengan meninggalnya Imam Malik, berkurang satu tokoh dan ulama besar Madinah.
B. Mengenal Kitab Al-Muwaththa’
1. Latar Belakang Penyusunan
Ada beberapa versi yang mengemuka mengenai latar belakang penyusunan al-Muwaththa’ . Menurut Noel J. Coulson problem politik dan sosial keagamaan-lah yang melatarbelakangi penyusunan al-Muwaththa’. Kondisi politik yang penuh konflik pada masa transisi Daulah Umayyah-Abasiyyah yang melahirkan tiga kelompok besar (Khawarij, Syi’ah-Keluarga Istana) yang mengancam integritas kaum Muslim. Di samping kondisi sosial keagamaan yang berkembang penuh nuansa perbedaan. Perbedaan-perbedaan pemikiran yang berkembang (khususnya dalam bidang hukum) yang berangkat dari perbedaan metode nash di satu sisi dan rasio di sisi yang lain, telah melahirkan pluratis yang penuh konflik.
Versi yang lain menyatakan penulisan al-Muwaththa’ dikarenakan adanya permintaan Khalifah Ja’far al-Mansur atas usulan Muhammad ibn al-Muqaffa’ yang sangat prihatin terhadap perbedaan fatwa dan pertentangan yang berkembang saat itu, dan mengusulkan kepada Khalifah untuk menyusun undang-undang yang menjadi penengah dan bisa diterima semua pihak. Khalifah Ja’far lalu meminta Imam Malik menyusun Kitab hukum sebagai Kitab standar bagi seluruh wilayah Islam. Imam Malik menerima usulan tersebut, namun ia keberatan menjadikannya sebagai kitab standar atau kitab resmi negara.
Sementara versi yang lain, di samping terinisiasi oleh usulan Khalifah Ja’far al-Mansur, sebenarnya Imam Malik sendiri memiliki keinginan kuat untuk menyusun kitab yang dapat memudahkan umat Islam memahami agama.
2. Penamaan Kitab
Tentang penamaan kitab al-Muwaththa’ adalah orisinil berasal dari Imam Malik sendiri. Hanya saja tentang mengapa kitab tersebut dinamakan dengan al-Muwaththa’ ada beberapa pendapat yang muncul:
Pertama, sebelum kitab itu disebarluaskan Imam Malik telah menyodorkan karyanya ini di hadapan para 70 ulama Fiqh Madinah dan mereka menyepakatinya. Dalam sebuah riwayat al-Suyuti menyatakan: “Imam Malik berkata, Aku mengajukan kitabku ini kepada 70 ahli Fiqh Madinah, mereka semua setuju denganku atas kitab tersebut, maka aku namai dengan al-Muwaththa’ .
Kedua, pendapat yang menyatakan penaman al-Muwaththa’ , karena kitab tersebut “memudahkan” khalayak umat Islam dalam memilih dan menjadi pegangan hidup dalam beraktivitas dan beragama.
Ketiga, pendapat yang menyatakan penaman al-Muwaththa’ , karena kitab al-Muwaththa’ merupakan perbaikan terhadap kitab-kitab fiqh sebelumnya.
3. Isi Kitab
Kitab ini menghimpun hadis-hadis Nabi, pendapat sahabat, qaul tabi’in, Ijma’ ahlul Madinah dan pendapat Imam Malik. Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatta’:
a. Ibnu Habbab yang dikutip Abu Bakar al-A’rabi dalam Syarah al-Tirmizi menyatakan ada 500 hadis yang disaring dari 100.000 hadis
b. Abu Bakar al-Abhari berpendapat ada 1726 hadis dengan perincian 600 musnad, 222 mursal, 613 mauquf dan 285 qaul tabi’in.
c. Al-Harasi dalam “Ta’liqah fi al-Usul” mengatakan Kitab Malik memuat 700 hadis dari 9000 hadis yang telah disaring
d. Abu al-Hasan bin Fahr dalam “Fada’il” mengatakan ada 10.000 hadis dalam kitab al-Muwaththa’ .
e. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi mengatakan “Kitab al-Muwaththa’ berisi 1824 hadis”.
f. Ibnu Hazm berpendapat, dengan tanpa menyebutkan jumlah persisnya, 500 lebih hadis musnad, 300 lebih hadis mursal, 70 hadis lebih yang tidak diamalkan Imam Malik dan beberapa hadis dha’if.
g. M. Syuhudi Ismail menyatakan “Kitab al-Muwaththa’ hadisnya ada 1804”.
Perbedaan pendapat ini terjadi karena perbedaan sumber periwayatan di satu sisi dan perbedaan cara penghitungan. Ada ulama hadis yang hanya menghitung hadis berdasar jumlah hadis yang disandarkan kepada nabi saja, namun adapula yang menghitung dengan menggabungkan fatwa sahabat, fatwa tabi’in yang memang termaktub dalam al-Muwaththa’.
Menurut al-Suyuti, lebih dari seribu orang yang meriwayatkan al-Muwaththa’, dan banyak naskah tentang itu. Namun yang terkenal adalah 14 naskah menurut al-Suyuti, dan menurut al-Kandahlawi ada 16 naskah, sedang menurut Qadi Iyad ada 20 naskah, meski ada yang berpendapat ada 30 naskah. Di antara naskah itu adalah:
a. Naskah Yahya bin Yahya al-Masmudi al-Andalusi (w. 204 H). Beliaulah yang pertama kali mengambil al-Muwaththa’ dari Yazid bin ‘Abdurrahman bin Ziyad al-Lahmi (al-Busykatun) dan pembawa mazhab Maliki di Andalusia
b. Naskah ibn Wahb (w. 197 H)
c. Naskah Abu Ubaidillah Abd al-Rahman bin al-Qasim ibn Khalid al-Misri (w. 191 H)
d. Naskah Abu Abd al-Rahman Abdullah bin Musalamah bin Qa’nabi al-Harisi (w.221 H).
e. Naskah Abdullah bin Yusuf al-Dimsyqi Abu Muhammad at-Tunaisi (w. 217 H)
f. Naskah Mu’an al-Qazzazi (w. 198 H);
g. Naskah Sa’id bin ‘Uffair (w. 226 H)
h. Naskah Ibn Bukair (w. 231 H)
i. Naskah Abu Mas’ab Ahmad bin Abu Bakr al-Qasim az-Zuhri (w. 242 H)
j. Naskah Muhammad ibn al-Mubarak al-Quraisyi (w. 215 H).
k. Naskah Musa’ab ibn Abdullah al-Zubairi (w. 215 H).
l. Naskah Suwaid ibn Zaid Abi Muhammad al-Harawi (w. 240 H)
m. Naskah Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (w. 179 H)
n. Naskah Yahya bin Yahya al-Taimi (w. 226 H)
o. Naskah Abi Hadafah al-Sahmi (w. 259 H)
Di antara naskah-naskah tersebut, riwayat Yahya bin Yahya al-Andalusi yang paling populer.
Ada perbedaan pendapat yang berkembang ketika dihadapkan pada pertanyaan apakah kitab al-Muwaththa’ ini kitab fiqih an-sich, Kitab Hadis an-sich atau Kitab Fiqh sekaligus kitab Hadis. Menurut Abu Zahra , al-Muwaththa’ adalah kitab Fiqh, argumen yang dipeganginya; Tujuan Malik mengumpulkan hadis adalah untuk melihat fiqh dan undang-undangnya bukan keshahihannya dan Malik menyusun kitabnya dalam bab-bab bersistematika fiqh.
Senada dengan Abu Zahra, Ali Hasan Abdul Qadir juga melihat al-Muwaththa’ sebagai kitab fiqh dengan dalil hadis. Sebab tradisi yang dipakai adalah tradisi kitab fiqh yang seringkali hanya menyebut sebagian sanad atau bahkan tidak menyebut sanadnya sama sekali adalah dalam rangka kepraktisan/keringkasan.
Sedang menurut Abu Zahwu kitab ini bukan semata-mata kitab Fiqh, tetapi sekaligus kitab hadis, karena sistematika fiqh juga dipakai dalam kitab-kitab hadis yang lain, di samping Imam Malik sesekali juga mengadakan kritik melalui pendapat beliau dalam mengomentari sebuah riwayat hadis, dan juga menggunakan kriteria-kriteria dalam menseleksi hadisnya.
4. Sistematika Kitab
Kitab al-Muwaththa’ adalah kitab hadis yang bersistematika Fiqh. Berdasar kitab yang telah di-tahqiq oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab al-Muwaththa’ terdiri dari 2 juz, 61 kitab (bab) dan 1824 hadis. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Juz I : (1) Waktu-waktu Shalat, 80 tema, 30 hadis, (2) Bersuci, 32 tema, 115 hadis, (3) Shalat, delapan tema, 70 hadis, (4) Lupa dalam Shalat, satu tema, tiga hadis, (5) Shalat Jum’at, 9 tema, 21 hadis, (6) Shalat pada bulan Romadlan, dua tema, tujuh hadis, (7) Shalat Malam, lima tema, 33 hadis, (8) Shalat Jama’ah, 10 tema, 38 hadis, (9) Mengqashar Shalat dalam perjalanan, 25 tema, 95 hadis, (10) Dua hari raya, tujuh tema, 13 hadis, (11) Shalat dalam keadaan takut, satu tema, empat hadis, (12) Shalat gerhana matahari dan bulan, dua tema, empat hadis, (13) Shalat minta hujan, tiga tema, enam hadis, (14) Menghadap qiblat, enam tema, 15 hadis, (15) Al-Qur’an, 10 tema, 49 hadis, (16) Shalat Mayat, 16 tema, 59 hadis, (17) Zakat, 30 tema, 55 hadis, (18) Puasa, 22 tema, 60 hadis, (19) I’tikaf, 8 tema, 16 hadis, (20) Haji, 83 tema, 255 hadis.
Juz II: (21) Jihad, 21 tema, 50 hadis, (22) Nadhar dan sumpah, 9 tema, 17 hadis (23) Qurban, enam tema, 13 hadis, (24) Sembelihan, empat tema, 19 hadis, (25) Bintang buruan, tujuh tema, 19 hadis, (26) Aqiqah, dua tema, tujuh hadis, (27) Faraid, 15 tema, 16 hadis, (28) Nikah, 22 tema, 58 hadis, (29) Talaq, 35 tema, 109 hadis, (30) Persusuan, tiga tema, 17 hadis, (31) Jual beli, 49 tema, 101 hadis, (32) Pinjam meminjam, 15 tema, 16 hadis, (33) Penyiraman, dua tema, tiga hadis, (34) Menyewa tanah, satu tema, lima hadis, (35) Syufa’ah, dua tema, empat hadis, (36) Hukum, 41 tema, 54 hadis, (37) Wasiyat, 10 tema, sembilan hadis, (38) Kemerdekaan dan persaudaraan, 13 tema, 25 hadis (39) Budak Mukatabah, 13 tema, 15 hadis, (40) Budak Mudharabah, tujuh tema, delapan hadis, (41) Hudud, 11 tema, 35 hadis, (42) Minuman, lima tema, 15 hadis, (43) Orang yang berakal, 24 tema, 16 hadis, (44) Sumpah, lima tema, dua hadis, (45) al-Jami’, tujuh tema, 26 hadis, (46) Qadar, dua tema, 10 hadis, (47). Akhlak yang baik, empat tema, 18 hadis, (48) Memakai pakaian, delapan tema, 19 hadis, (49) Sifat Nabi SAW., 13 tema, 39 hadis, (50) Mata, tujuh tema, 18 hadis, (51) Rambut, lima tema, 17 hadis, (52) Penglihatan, dua tema, tujuh hadis, (53) Salam, tiga tema, delapan hadis, (54) Minta izin, 17 tema, 44 hadis, (55) Bai’ah, satu tema, tiga hadis, (56) Kalam, 12 tema, 27 hadis, (57) Jahannam, satu tema, dua hadis, (58) Sadaqah, tiga tema, 15 hadis, (59) Ilmu, satu tema, satu hadis, (60) Dakwah orang yang teraniaya, satu tema, satu hadis, (61) Nama-nama Nabi SAW., satu tema, satu hadis.
5. Metode Kitab dan Kualitas Hadis-hadisnya
Secara eksplisit, tidak ada pernyataan yang tegas tentang metode yang dipakai Imam Malik dalam menghimpun kitab al-Muwaththa’ . Namun secara implisit, dengan melihat paparan Imam Malik dalam kitabnya, metode yang dipakai adalah metode pembukuan hadis berdasar klasikikasi hukum Islam (abwab fiqhiyyah) dengan mencantumkan hadis marfu’ (berasal dari Nabi), mauquf (berasal dari sahabat) dan maqthu’ (berasal dari tabi’in). Bahkan bukan hanya itu, kita bisa melihat bahwa Imam Malik menggunakan tahapan-tahapan berupa (a) penseleksian terhadap hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi, (b) Atsar/fatwa sahabat,. (c) fatwa tabi’in, (d) Ijma’ ahli Madinah dan (e) pendapat Imam Malik sendiri.
Meskipun kelima tahapan tersebut tidak selalu muncul bersamaan dalam setiap pembahasannya, urutan pembahasan dengan mendahulukan penulusuran dari hadis Nabi yang telah diseleksi merupakan acuan pertama yang dipakai Imam Malik, sedangkan tahapan kedua dan seterusnya dipaparkan Imam Malik tatkala menurutnya perlu untuk dipaparkan.
Dalam hal ini empat kriteria yang dikemukakan Imam Malik dalam mengkritisi periwayatan hadis adalah: (a) Periwayat bukan orang yang berperilaku jelek (b) Bukan ahli bid’ah (c) Bukan orang yang suka berdusta dalam hadis (d) Bukan orang yang tahu ilmu, tetapi tidak mengamalkannya.
Meskipun Imam Malik telah berupaya seselektif mungkin dalam memfilter hadis-hadis yang diterima untuk dihimpun, tetap saja para ulama hadis berbeda pendapat dalam memberikan penilaian terhadap kualitas hadis-hadisnya:
a. Sufyan ibn ‘Uyainah dan al-Suyuti mengatakan, seluruh hadis yang diriwayatkan Imam Malik adalah shahih, karena diriwayatkan dari orang-orang yang terpercaya
b. Abu Bakar al-Abhari berpandangan tidak semua hadis dalam al-Muwaththa’ sahih, 222 hadis mursal, 623 hadis mauquf dan 285 hadis maqthu’.
c. Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan bahwa hadis-hadis yang termuat dalam al-Muwaththa’ adalah sahih menurut Imam Malik dan pengikutnya.
d. Ibn Hazm dalam penilaiannya yang termaktub dalam Maratib al-Diyanah, ada 500 hadis musnad, 300 hadis mursal dan 70 hadis dha’if yang ditinggalkan Imam Malik. Sedang menurut Ibn Hajar di dalamnya ada hadis yang mursal dan munqati’.
e. al-Gafiqi berpendapat dalam al-Muwatta ada 27 hadis mursal dan 15 hadis mauquf.
f. Hasbi ash-Shiddiqi menyatakan dalam al-Muwaththa’ ada hadis yang sahih, hasan dan da’if.
Meskipun dalam al-Muwaththa’ tidak semuanya shahih, ada yang munqati’, mursal dan mu’dal. Banyak ulama hadis berikutnya yang mencoba mentakhrij dan me-muttasil-kan hadis-hadis yang munqati’, mursal dan mu’dal seperti Sufyan ibn Uyainah, Sufyan al-Sauri, dan Ibn Abi Dzi’bi. Dalam pandangan Ibnu Abdil Barr dari 61 hadis yang dianggap tidak muttasil semuanya sebenarnya musnad dengan jalur selain Malik, yakni:
أنه بلغنى أن رسول الله ص.م قال: إنى لأنسى أو أنسى
“Seseorang telah menyampaikan hadis pada seseorang, bahwa Rasul SAW telah bersabda: Aku lupa atau aku telah lupa, karena itu mungkin yang aku kerjakan adalah sunnah.”

أنه سمع من يثقه به من أهل العلم تقول أن رسول الله ص.م. أرى أعمار الناس قبله أو ما شاء الله من ذلك فكأنه تقاصر أعمار أمته أن لا تبلغوا من العمل مثل الذى بلغ غيرهم فى طول العمر فأعطاه الله ليلة القدر خير من ألف شهر
“Dari Malik bahwasanya dia mendengar dari orang yang terpercaya di antara ulama berkata Rasulullah telah diperlihatkan umur orang-orang yang mati sebelumnya, atau apa yang telah Allah kehendaki tentang itu dan itu menjadikan seakan-akan kehidupan umatnya terlalu pendek bagi mereka untuk melakukan perbuatan baik sebagaimana orang-orang sebelum mereka dapat melakukannya dengan usia mereka yang panjang, maka Allah memberikan kepadanya lailatul qadar yang lebih baik dari seribu bulan.”

أن معاذ بن جبل فال: آخر ما أوصانى به رسول الله ص.م. حينما وضعت رجلى فى الغرزان قال: احسن خلقك للناس يا معاذ بن جبل
“Dari Malik bahwa Muadz bin Jabal berkata: Petunjuk akhir dari Rasulullah telah disampaikan kepadaku ketika aku meletakkan kaki di Sanggurdi, ia berkata: berkelakuan baiklah kepada orang hai Muadz ibn Jabal”

أنه بلغه أن رسول الله ص.م. كان يقول إذا أنشأت بحرية ثم تشائت فتلك عين غديقة
“Dari Malik bahwasanya telah sampai kepadanya bahwa rasul bersabda ketika awan muncul dari arah laut dan pergi menuju Syria akan turun sejumlah hujan besar.”
6. Kitab-kitab Syarahnya
Kitab al-Muwaththa’ disyarahi oleh beberapa ulama di antaranya:
a. al-Tamhid lima fi al-Muwaththa’ min al-Ma’ani wa al-Asanid karya Abu Umar ibn Abdil Bar al-Namri al-Qurtubi ( w. 463 H)
b. Al-Istizkar fi Syarh Mazahib Ulama al-Amsar karya Ibn ‘Abdil Barr (w. 463 H.)
c. Kasyf al-Mugti fi Syarh al-Muwaththa’ karya Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H.)
d. Tanwirul Hawalik, karya Jalaluddin as-Suyuti (w. 911 H)
e. Syarah al-Ta’liq al-Mumajjad ala Muwatta’ Imam Muhammad karya al-Haki ibn Muhammad al-Laknawi al-Hindi
f. al-Muntaqa karya karya Abu Walid al-Bajdi (w. 474 H.).
g. al-Maswa karya al-Dahlawi al-Hanafi (w. 1176 H.)
h. Syarh al-Zarqani karya al-Zarqani al-Misri al-Maliki (w. 1014 H.)
7. Pendapat Para Ulama tentang al-Muwaththa’
Di antara ulama yang memberikan penilaian terhadap kitab al-Muwaththa’ adalah:
a. al-Syafi’i : “Di dunia ini tidak ada kitab setelah al-Qur’an yang lebih sahih daripada kitab Malik...”
b. al-Hafiz al-Muglatayi al-Hanafi: “ Buah karya Malik adalah kitab shahih yang pertama kali”
c. Ibn Hajar:” Kitab Malik sahih menurut Malik dan pengikutnya...”
d. Waliyullah al-Dahlawi menyatakan al-Muwaththa’ adalah kitab yang paling sahih, mashur dan paling terdahulu pengumpulannya.
8. Kritikan Orientalis terhadap al-Muwatta`
Di antara orientalis yang memberikan kritikan terhadap karya Imam Malik adalah Joseph Schacht. Schacht meragukan otentitas hadis dalam al-Muwaththa’, di antara hadis yang dikritiknya adalah tentang bacaan ayat sajdah dalam khutbah Jum’ah oleh Khatib:

عن هشام ين عروة عن أبيه أن عمر بن الخطاب قرأ سجدة وهو على المنبر يوم الجمعة فنزل فسجد الناس معه ثم قرأها يوم الجمعة الأخرى. فتهيأ الناس السجود فقال على رسلكم إن الله ثم يكتبها علينا إلا أن نشأ فلم يسجد ومنهم أن يسجد.
Dalam pandangan Schacht, hadis tersebut putus sanadnya, padahal dalam riwayat Bukhari sanadnya bersambung. Menurutnya, dalam naskah kuno kitab al-Muwaththa’ terdapat kata-kata “dan kami bersujud bersama Umar”. Kata-kata ini tidak pernah diucapkan oleh Urwah, hanya dianggap ucapannya. Oleh karenanya, dari pendekatan historis berarti naskah/teks hadis lebih dahulu ada, baru kemudian dibuatkan sanadnya. Sanad tersebut untuk kemudian dikembangkan dan direvisi sedemikian rupa dan disebut berasal dari masa silam.
Tuduhan Schacht tersebut dibantah oleh Muhammad Mustafa A’zami, teks tersebut adalah sesuai dengan naskah aslinya, karena naskah asli tulisan Malik tidak diketemukan. Para pen-syarah al-Muwaththa’ seperti Ibnu ‘Abdil Barr dan az-Zarqani sama sekali tidak pernah menyinggung tentang adanya naskah kuno seperti yang disebut Schacht. Secara umum Azami menyatakan apa yang dilakukan Schacht dalam penelitian otentitas sanad dengan mengambil contoh hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Fiqh seperti al-Muwaththa’ Imam Malik, al-Muwaththa’ al-Syaibani dan al-Umm al-Syafi’i adalah tidak tepat, karena pada umumnya metode yang dipakai dalam kitab-kitab fiqh ataupun sejarah tidak memberi data secara detail lengkap runtutan sanadnya, tetapi mencukupkan menyebutkan sumbernya atau sebagian sanadnya.
Hal lain yang dikritisi Schacht adalah tentang 80 hadis dalam al-Muwaththa’ yang disebut “Untaian Sanad Emas”, Yakni Malik-Nafi’-Ibnu Umar. Schact meragukan untaian sanad tersebut, mengingat usia Malik terlalu dini (15 tahun). Apa mungkin riwayat dari anak usia 15 tahun diikuti banyak orang, sementara masih banyak ulama besar lain di Madinah. Alasan lainnya, Nafi’ pernah menjadi hamba sahaya dalam keluarga Ibnu Umar, sehingga kredibilitasnya perlu dipertanyakan.
Hal tersebut disanggah Azami, Schacht dianggap keliru dalam menghitung usia Malik, seharusnya Schacht menghitung umur Malik saat Nafi’ wafat bukan dari tahun wafatnya Malik. Sehingga usia Malik saat itu adalah 20-24 tahun. Pada usia-usia tersebut bukan terlalu muda untuk dianggap sebagai seorang ulama. Adapun tentang Nafi’ yang mantan budak Ibnu Umar, sebenarnya itu tidak menjadi masalah karena penerimaan seorang rawi yang paling penting adalah “dapat dipercaya”, dan Nafi dianggap orang yang paling dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Ibn Umar. Di samping dalam hal ini Nafi’ bukan satu-satunya orang yang meriwayatkan hadis Ibn Umar, sehingga bisa dijadikan pembanding dan mungkinkah ribuan rawi di perbagai tempat bersepakat berbohong untuk menyusun sanad tersebut?
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari paparan di atas, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi:
1. Kitab al-Muwaththa’ disusun Imam Malik atas usulan Khalifah Ja’far al-Mansur dan keinginan kuat dari dirinya yang berniat menyusun kitab yang dapat memudahkan umat Islam memahami agamanya.
2. Kitab al-Muwaththa’ tidak hanya menghimpun hadis Nabi, tetapi juga memasukkan pendapat sahabat, Qaul Tabi’in, Ijma’ Ahlul Madinah dan pendapat Imam Malik. Menurut Fuad Abdul Baqi, al-Muwatta’ memuat 1824 hadis dengan kualitas yang beragam dengan metode penyusunan hadis berdasar klasifikasi hukum (abwab fiqhiyyah).
3. Tuduhan Joseph Schacht yang meragukan ketidakotentikan hadis dalam al-Muwaththa’ ditangkis oleh Mustafa al-A’zami. A’zami menolak penelitian otentitas sanad hadis dengan mendasarkan pada kitab-kitab fiqih seperti al-Muwatta’ al-Syaibani, al-Muwaththa’ Imam Malik dan al-Umm al-Syafi’i.
DAFTAR PUSTAKA
A.Yamin. Metodologi Kritik Hadis. Cet. II.Bandung: Pustaka Hidayah, 1996
Abu Zahwu, Muhammad . Al-Hadis wa al-Muhaddisun. Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah,t.t.
Al-Suyuti, Jalaluddin. Tanwir al-Hawalik Syarh al-Muwatta’. Beirut: Dar Ihya’ Kutub al-’Arabiyyah, t.t.
Al Siba’I, Musthafa. Al Sunnah wa Makanatuh fi Al Tasyri’ Al Islami. Kairo: Dar as Salam, 1998
Al-Syarbasi, Ahmad. Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab, terj. Sabil Huda dan A. Ahmadi. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Azami, Muhammad Mustofa, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Ya’qub. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Coulson, Noel J. Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad. Jakarta: P3M, 1987.
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadist, Yogyakarta: Bulan Bintang, 1974
Ismail, Muhammad Syuhudi.Cara Praktis Mencari Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Khalil,Moenawar.Biografi Empat Serangkai Imam Madzab.Jakarta:Bulan Bintang, 1994
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2008
Majalah As Salam No. V/Tahun II-2006 M/1427 H
Biografi Imam Malik bin Anas. www.google.com di akses tanggal 15 April 2010
Imam Malik. www.kotasantri.com di akses tanggal 15 April 2010
Translation of Malik's Muwatta, terjemahan Aisha Abdarahman at-Tarjumana dan Yaqub Johnson.www.wikipedia.com di akses tanggal 15 april 2010

Jumat, 03 September 2010

DAKWAH DISKUSI DAN DAKWAH KARYA TULIS





BAB I
PENDAHULUAN

Dakwah sebagai sebuah realitas, eksistensinya tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun. Aktivitas dakwah pada hakikatnya sebagai proses penyelamatan umat manusia dari berbagai persoalan yang merugikan, karenanya kegiatan dakwah merupakan kerja dan karya besar manusia, baik secara individual maupun kelompok yang dipersembahkan untuk Tuhan dan sesamanya dalam rangka menegakkan keadilan, meningkatkan kesejahteraan, menyuburkan persaudaraan dan kebersamaan, serta mencapai kebahagiaan baik di dunia kini maupun di akhirat kelak.
Bersumber pada al-Qur’an sebagai kitab dakwah, Sunnah Nabi sebagai penjelas kitab dakwah, dan produk ijtihad para waratsah al-anbiya, dipahami bahwa dakwah merupakan kewajiban setiap muslim sebagai upaya transmisi, transformasi, difusi dan internalisasi ajaran Islam kepada umat manusia. Proses kerja dan karya besar manusia (dakwah) ini dalam implementasinya melibatkan unsur subyek (da’i), pesan (maudhu), metode (ushlub), media (washilah), dan obyek (mad’u) dan dana bertujuan untuk mewujudkan kehidupan individu dan kelompok yang adil, sejahtera, persaduaraan, kebersamaan, selamat dan bahagia dan memperoleh ridha Allah.[1]
Berdasarkan sumber dakwah agama Islam, diantara bentuk dakwah dari sisi cara penyampaian terbagi menjadi dua bentuk yaitu bi ahsani qawl (dakwah menggunakan media lisan) dan bi ahsani ‘amal (dakwah melalui peerbuatan) dalam menyampaikan ajaran agama islam bagi umat manusia.[2]
Metode dakwah bi ahsani qawl sendiri terbagi dalam bentuk kegiatan dakwahnya melalui tabligh dan irsyad. Tabligh memiliki beberapa metode utama yaitu: pertama, khithabah yaitu penyampaian dan penyebarluasan ajaran melalui bahasa lisan; kedua, khitabah yaitu penyampaian dan penyebarluasan ajaran melalui bahasa tulisan; dan ketiga i’lâm, yaitu proses penyiaran dan penyebarluasan ajaran Islam, baik secara lisan maupun tulisan dengan cara menggunakan media bail cetak maupun elektronik.
Selanjutnya dalam makalah ini, akan kami uraikan dakwah menggunakan media lisan yang menitikberatkan bentuk kegiatan dakwahnya melalui tabligh. Dimana kegiatan berdakwah dengan media diskusi atau dialog (khithabah) dan dakwah dengan media karya tulis (kitabah).
Sedangkan tujuan dari penyusunan makalah ini, diharapkan pembaca dapat sedikit mengutip ilmu pengetahuan tentang metode berdakwah melalui berbagai media, baik melalui diskusi/dialog maupun melalui tulisan. Sehingga, dakwah islam akan selalu terjaga dan terus berkembang mengikuti gejolak perubahan zaman yang dibutuhkan penanganan oleh para cendikiawan muslim yang berkompeten. Demi berlangsungnya kehidupan manusia yang bersifat islami.

BAB II
PEMBAHASAN

A.     Dakwah Melalui Khithabah

Khithabah merupakan proses transmisi ajaran islam yaitu proses penyampaian ajaran Islam melalui bahasa lisan (bi ahsan al-qaul) kepada sasaran dakwah dalam kelompok besar. Kata khithabah berasal dari akar kata: (khathaba, yakhthubu, khuthbatan atau khithãbatan), berarti: berkhuthbah, berpidato, meminang, melamarkan, bercakap-cakap, mengirim surat.[3]
 Poerwadarminta mengartikan khithabah dalam bahasa Indoensia sinomim dengan kata pidato, terutama tentang menguraikan sesuatu ajaran Islam.[4] Dan secara bahasa khithabah juga terkadang diartikan sebagai pengajaran, pembicaraan dan nasihat.
Khithabah secara terminologis artinya adalah ceramah atau pidato yang mengandung penjelasan-penjelasan tentang sesuatu atau beberapa masalah yang disampaikan seseorang di hadapan sekelompok orang atau khalayak. Dalam pengertian lain,  khithabah merupakan suatu upaya menimbulkan rasa ingin tahu terhadap orang lain tentang suatu perkara yang berguna baginya, baik mengenai urusan dunia maupun akhirat.
Dalam implementasinya, khithabah merupakan pesan yang disampaikan oleh seorang khathib yang biasanya disampaikan di masjid ketika ibadah Jum’at, peringatan hari-hari raya atau pada kesempatan lain.[5] Di lingkungan orang Arab pra Islam, khathib sering diidentikan dengan sya’ir, atau penyair sebab antara keduanya memiliki peran dan posisi terkemuka dalam masyarakat suku Arab pada waktu itu, dalam bahasa yang sempurna biasanya mereka memuji-muji keunggulan suku, seraya mengungkap kelemahan musuh mereka.
Dalam al-Qur’an, khithabah disebutkan 9 kali dengan derivasinya sebanyak 12 kali penyebutan, dan digunakan untuk menyebut aktivitas berbicara yang dilakukan oleh manusia secara monologis dan dialogis. Penyebutan khithabah terdapat dalam Al-Qur’an: Al-Furqon(25):63, Hud(11):37, Al Mu’minun(23):27, Thaha(20):45, Al-Hijr(15):57, Adz-Dzariyat(51):31, Al Qashas(28):23, Yusuf(12):51, Shad(38):20, Shad(38):23, An-Naba(78):37, Al Baqoroh(2):235
Proses khithabah (khithabah diniyah maupun khithabah ta’tsiriyah) terdapat beberapa komponen yang terlibat didalamnya dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya karena saling menunjang. Unsur khithabah yang dimaksud adalah unsur subyek (khathib), pesan (maudhû), metode (ushlûb), media (washîlah), dan obyek (makhthub).
Dalam pelaksanaannya, proses khitabah dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu: pertama, khitabah diniyah merupakan proses tabligh yang terikat langsung dengan pelaksanaan ibadah mahdhah, seperti: Khuthbah ‘Idul Adha, Khuthbah ‘Idul Fitri, Khuthbah Nikah, Khuthbah Jum’at, Khuthbah Istisqa, Khuthbah Gerhana Bulan, dan Khuthbah Gerhana Matahari. Kedua, khithâbah ta’tsîriyyah yaitu proses tabligh yang tidak terikat dengan ibadah mahdhah, seperti: khitabah pada peringatan maulid Nabi, Isra Mi’raj, peringatan tahun baru 1 Muharram, Nuzulul Qur’an, peringatan hari kemerdekaan, tasyakur pernikahan, khitanan, dan lain sebagainya.Kedua, khithabah yang tidak terikat secara langsung dengan pelaksanaan ibadah mahdhah, disebut khithabah ta’tsiriyah, seperti: khitabah pada peringatan maulid Nabi, Isra Mi’raj, peringatan tahun baru 1 Muharram, Nuzulul Qur’an, peringatan hari kemerdekaan, tasyakur pernikahan, khitanan, dan lain sebagainya.
Maka dari itu, dai harus mempunyai pemahaman yang mendalam bukan saja menganggap bahwa dakwah dalam bentuk “amar ma’ruf nahi mungkar”, sekedar menyampaikan saja melainkan harus memenuhi beberapa syarat, yakni mencari materi yang cocok, mengetahui psikologis objek dakwah, memilih metode yang representatif, menggunakan bahasa yang bijaksana dan sebagainya. Secara konvensional, subjek dakwah terdiri dari dai (mubaligh) dan pengelola dakwah.

B.     DAKWAH MELALUI KITABAH

Sesungguhnya sejak masa kelahiran, perkembangan dan kebangkitan Islam, dakwah melalui tulisan sudah dipandang Rasulullah SAW sebagai salah satu bentuk langkah dakwah yang efektif. Dakwah lewat jurnalistik sudah dimulai dan dikembangkan oleh Rasulullah SAW dengan pengiriman surat dakwah kepada kaisar, raja-raja, ataupun pemuka masyarakat yang ada. Bila setiap pembuat berita dapat disebut sebagai wartawan atau jurnalis, maka nama sahabat Nabi mulai Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thallib, Ibnu Umar, Aisyah ra ( Istri Nabi) dan banyak lagi tokoh muslim yang mempunyai aktivitas serupa, tentulah layak mendapat sebutansebagai wartawan.
Dari para sahabat, catatan aktivitas kenabian Rasulullah SAW diberikan kepada para tabiin. Para tabiin kemudian memberikan kepada perawi-perawi hadits. dengan kerjasama tersebut akhirnya lahirlah karya-karya jurnalistik islam yang terkenal, langgeng hingga akhir zaman. Banyak nama Jurnalistik kenamaan yang dapat disebut, seperti Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Hanafi, Abu Dawud, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Imam Ghazali, Ibnu Rusd, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha.
Kitabah yaitu penyampaian dan penyebarluasan ajaran melalui bahasa tulisan. Pada implementasinya proses tabligh melalui tulisan dapat terbagi pada dua kategori, yaitu: pertama kitabah melalui media cetak, seperti: buku, novel, surat kabar, majalah, tabloid, dan jurnal; kedua khitabah melalui elektronik, seperti: blog, website, mailing list, sms, dan sebagainya. Tabligh melalui kitabah, dipandang efektif pada saat ini, sebab perkembangan teknologi informasi menjadi satu model peradaban tersendiri yang membawa hampir seluruh umat manusia terpesona olehnya. Perkembangan teknologi informasi menjadi peluang sekaligus tantangan bagi para mubaligh yang memiliki tugas dan misi suci untuk menyebarkanluaskan nilai-nilai yang mengajak umat manusia ke arah persaudaraan, keadilan, kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan di dunia kini dan di akhierat kelak

BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Berdasarkan pada uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa tabligh merupakan salah satu bentuk dakwah dan termasuk dalam kategori da’wah bi ahsan al-qawl. Metode dalam tabligh diantaranya, yaitu: khithabah yang bagi pada khithabah diniyah dan khithabah ta’tsiriyah;dan, kitabah yang terbagi pada kitabah melalui media cetak dan media elektronik; Sedangkan dalam proses penyampaian pesannya, para mubaligh berpegang pada prinsip komunikasi yang baik dan benar



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Munawir Warson, Al-Munawwir Kamus Besar Arab-Indonesia, Yogyakarta: Ponpes Al-Munawwir, 1984,
Isep Zaenal Arifin. Bimbingan Penyuluhan Islam Pengembangan Dakwah Bimbingan Psikoterapi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Muhammad Nur. Dasar-Dasar Ilmu Dakwah. Bandung: Widya Padjadjaran, 2009.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1985
Yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat, terj. Al-Quran wa al-Falsafah, oleh Ahmad Daudy, Jakarta: Bulan Bintang, 1988,





[1]Isep Zaenal Arifin. Bimbingan Penyuluhan Islam Pengembangan Dakwah Bimbingan Psikoterapi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Hal. 260
[2] Muhammad Nur. Dasar-Dasar Ilmu Dakwah. Bandung : Widya Padjadjaran, 2009. Hal. 53
[3] Ahmad Munawir Warson, Al-Munawwir Kamus Besar Arab-Indonesia, Yogyakarta: Ponpes Al-Munawwir, 1984, hlm. 376
[4] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 985-504
[5] John L. Pisto, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, Jilid III, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 223
Design by Zay Arief