Kamis, 28 April 2011

Filsafat Dakwah : Pertautan Filsafat, Ilmu dan Dakwah

Oleh : Zaenal Arifin 

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Balakang
Ketika manusia melihat atau mengalami suatu peristiwa, akan terdorong naluri ingin tahunya, ia pun akan bertanya: apakah ini? Dari mana datangnya? Apa sebabnya demikian? Mengapa demikian? dan sebagainya. Manusia yang semula tidak tahu, ia akan berusaha untuk mencari tahu kemudian mencari tahu, hingga keingintahuannya terpenuhi.
Manusia telah mendapat anugerah istemewa dari Sang Khaliq yang tak miliki oleh makhluk lain yaitu berupa akal. Keberadaan akal digunakan manusia untuk berpikir terhadap segala peristiwa yang pernah dialaminya. Manusia yang berpikir merupakan bukti keberadaan manusia yang membedakan dirinya dengan makhluk lain. Dengan berpikir manusia berusaha mencari tahu tentang segala sesuatu kejadian yang pernah dialaminya. Dari proses berpikir inilah manusia mencoba mencari jawaban dari rasa ingin tahunya berdasarkan pengalaman yang pernah dialaminya. Hasil dari pengalaman manusia telah menyimpulkan suatu pengetahuan yang menjadi pedoman hidupnya.
Jika keingintahuan manusia terpenuhi yaitu berupa pengetahuan, sementara waktu ia akan merasa puas. Namun, manusia memerlukan kaidah ilmu pengetahuan masih banyak hal yang mengelilingi manusia, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, ada atau yang mungkin ada. Oleh karena itu, manusia mencoba melakukan berbagai penyelidikan terhadap pengetahuan yang sebenarnya. Hasil dari proses penyelidikan manusia melahirkan ilmu pengetahuan.
Manusia tidak berhenti disitu dalam mencapai suatu ilmu pengetahuan. Namun, ilmu pengetahuan masih diperlukan pemikiran yang lebih lanjut mengenai hakikatnya sebuah ilmu pengetahuan. Berarti suatu pengetahuan masih harus diuji kebenarannya. Hal ini kembali mendorong naluri ingin tahu manusia membuat pertanyaan lain yang terus bermunculan untuk berusaha mencari kebenaran dari suatu ilmu pengetahuan.
Dalam persepsi dakwah Islam, mengetahui ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yang esensial. Islam telah mengajarkan umatnya untuk mempergunakan akal untuk berpikir dalam mengetahui suatu ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan mencoba menjawab berbagai pertanyaan manusia yang dipikirkannya. Dalam kajian ajaran agama Islam pun diperlukan pemikiran yang lebih mendalam mengenai hakikat dari ilmu pengetahuan. Mengetahui ilmu pengetahuan akan mengetahui suatu kebenaran dakwah. Kebenaran dari suatu ilmu pengetahuan akan memudahkan pemahaman dalam dakwah dari seorang dai untuk menyampaikan pesan dakwah kepada mad’u. Hal ini penting dalam menunjang keberhasilan dakwah dalam menjalin komunikasi antar dai dengan mad’u, mengingat mad’u mempunyai berbagai karakteristik, sosiologis dan psikologis yang berbeda-beda.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik beberapa rumusan masalah untuk dibahas lebih lanjut diantaranya sebagai berikut :
1. Bagaimana pengertian filsafat ilmu?
2. Bagaimana pengertian pengetahuan ilmiah dan kebenaran ilmu?
3. Apa hakikat dari ilmu komunikasi?
4. Apa hakikat dari kebenaran? 


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Ilmu
Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha untuk menemukan suatu kebenaran melalui proses berpikir dan merasa sedalam-dalamnya terhadap segala sesuatu sampai kepada inti persoalan. Filsafat juga dapat diartikan sebagai suatu kecintaan kepada kebijaksanaan.
Filsafat bermula dari pertanyaan dan berakhir pada pertanyaan. Hakikat filsafat adalah bertanya terus-menerus, karenanya dikatakan bahwa filsafat adalah sikap bertanya itu sendiri. Dengan bertanya, filsafat mencari kebenaran. Namun, filsafat tidak menerima kebenaran apapun sebagai sesuatu yang sudah selesai. Yang muncul adalah sikap kritis, meragukan terus kebenaran yang ditemukan. Dengan bertanya, orang menghadapi realitas kehidupan sebagai suatu masalah, sebagai sebuah pertanyaan, tugas untuk digeluti, dicari tahu jawabannya.
Sedangkan ilmu berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam menurut peristiwa atau kejadian yang alami manusia.
Filsafat itu sendiri merupakan hasil dari proses pemikiran, sedangkan ilmu adalah usaha mencari kebenaran. Dapat diartikan, filsafat ilmu adalah pemikiran tentang kebenaran. Apakah benar itu benar? Kalau itu benar maka berapa kadar kebenarannya.? Apakah ukuran-ukuran kebenaran itu? Di mana otoritas kebenaran itu? Tujuan filsafat dan ilmu yakni sama-sama mencari kebenaran. Hanya saja filsafat tidak berhenti pada satu garis kebenaran, tetapi ingin terus mencari kebenaran kedua, ketiga dan seterusnya. Sedangkan ilmu kadang sudah merasa cukup puas dengan satu kebenaran dan bila ilmu itu disuntik dengan filsafat alias pemikiran maka ia akan bergerak maju untuk mencari kebenaran yang lain lagi.
Filsafat mempunyai peran penting dalam bidang keilmuan karena dalam filsafat kita bisa menjumpai pandangan-pandangan tentang apa saja tentang ilmu (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual).
Untuk dapat memahami arti dan makna dari filsafat ilmu, terdapat tiga aspek memberikan pengertian mengenai filsafat ilmu yaitu:
a. Aspek ontologi, yaitu berada dalam wilayah ada. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: apakah objek yang ditelaah ilmu? Bagaimanakah hakikat dari objek itu? Bagaimanakah hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan dan ilmu?
b. Aspek epistemologi, yaitu berada dalam wilayah pengetahuan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: bagaimanakah proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya?
c. Aspek aksiologi, yaitu berada dalam wilayah nilai. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: untuk apa pengetahuan ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Dimana, filsafat ilmu merupakan landasan pemikiran dari ilmu bersangkutan, titik tolak bagaimana ilmu tersebut bermaksud mencapai tujuannya, filsafat yang bertemu dengan disiplin tertentu akan menjawab masalah-maslaah yang tidak dapat dijawab oleh disiplin yang bersangkutan.
Dengan demikian, filsafat ilmu bertugas mencoba menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu secara rasional dalam menjelaskan kebenaran suatu ilmu. Diantaranya filsafat ilmu mempelajari tentang teori pembagian ilmu, metode yang digunakan dalam ilmu, tentang dasar kepastian dan jenis keterangan serta implikasi dari suatu ilmu. Sehingga kebenaran suatu ilmu dapat diterima sebagai suatu ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjwabkan secara ilmiah.


B. Pengertian Pengetahuan Ilmiah dan Kebenaran Ilmu
1. Pengetahuan Ilmiah (Ilmu Pengetahuan)
Sebelum mengetahui, manusia terlebih dahulu melihat, mendengar, serta merasa segala yang ada di sekitarnya. Segala yang dilihat, didengar, dan dirasa itulah yang merangsang naluri ingin tahu seseorang. Sepanjang hidupnya, manusia akan dirangsang alam sekitarnya untuk tahu. Hal utama yang terkena rangsang adalah panca indera, yaitu penglihatan, penciuman, perabaan, pendengaran, serta pengecapan. Hasil persentuhan alam dengan panca indra disebut pengalaman. Ketika tersentuh rangsang, manusia akan bereaksi. Namun, pengalaman semata-mata tidak membuat seseorang menjadi tahu. Pengalaman hanya memungkinkan seseorang menjadi tahu. Hasil dari tahu disebut pengetahuan. Pengetahuan ada jika demi pengalamannya, manusia mampu mencetuskan pernyataan atau putusan atas objeknya. Dengan kata lain, orang yang tidak dapat memberi pernyataan atau putusan demi pengalamannya dikatakan tidak berpengetahuan.
Dalam perkembangannya, pengetahuan yang dihasilkan dari pengalaman manusia mengalami perkembangan sesuai dengan lingkungannya. Kemudian dikembangkan manusia untuk mengetahui keadaannya dan lingkungannnya, atau menyesuaikan lingkungannnya dengan dirinya dalam rangka strategi hidupnya. Pengetahuan dikembangkan berdasarkan analisis obyektif, lebih jauh hanya sekedar melalui keyakinan seseorang. Hasilnya, pengetahuan berkembang menjadi ilmu pengetahuan atau biasa disebut ilmu saja, didapat melalui akumulasi waktu yang berkembang sejajar dengan perkembangan kemajuan manusia.
Menurut Fathurrahman Djamil, dalam Ensiklopedia Indonesia bahwa pengetahuan merupakan kontak antara manusia sebagai subyek dengan obyek yang berupa permasalahan yang merasuk dalam pikiran manusia. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah suatu system dari berbagai pengetahuan mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu yang disusun sedemikian rupa, menurut asas-asas tertentu, sehingga menjadi kesatuan; suatu system dari berbagai pengetahuan didapatkan sebagai hasil pemeriksaan yang dilakukan secar teliti dengan mamakai metode tertentu.
Pengetahuan diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam kategori sebagai ilmu. Sedangkan ilmu pengetahuan diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya.
Untuk memahami perbedaan antara pengetahuan dengan ilmu dinyatakan bahwa setiap pengetahuan belum tentu sebagai ilmu, tetapi setiap ilmu sudah pasti merupakan pengetahuan. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu. Ada 4 syarat agar pengetahuan dapat disebut ilmu, yaitu:
1. Sistematis, yaitu tersusun dalam sebuah rangkaian sebab akibat. Untuk mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis, sehingga membentuk suatu sistem, yang artinya utuh menyeluruh, terpadu, menjelaskan rangkaiansebab akibat menyangkut objeknya.
2. Metodis, yaitu cara. Dalam upaya mencapai kebenaran, selalu terdapat kemungkinan penyimpangan. Oleh karena itu, harus diminimalisasi. Konsekuensinya, harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran.
3. Objektif, yaitu sesuai dengan objeknya. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yaitu persesuaian tahu dengan objek, dan karena itu disebut kebenaran objektif, bukan berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
4. Universal, yaitu secara keseluruhan (umum). Kebenaran yang hendak dicapai bukan yang tertentu saja, melainkan yang bersifat umum. Dengan kata lain, pengetahuan tentang yang khusus, yang tertentu saja tidak diinginkan. Pola pikir yang digunakan adalah pola pikir induktif, yaitu cara berpikir dari hal-hal khusus sampai pada kesimpulan umum. Contohnya, Segitiga lancip, jumlah sudutnya 180 derajat. Segitiga siku-siku, jumlah sudutnya 180 derajat. Segitiga tumpul, jumlah sudutnya 180 derajat. Maka, ditarik kesimpulan secara umum bahwa semua segitiga bersudut 180 derajat, apapun bentuk segitiga itu.
Dengan demikian, jika pengetahuan hendak disebut ilmu (pengetahuan ilmiah), ia harus memenuhi sifat ilmiah sebagai syarat ilmu, yaitu sistematis, metodis, objektif, universal. Syarat dari objek ilmu adalah harus bisa diverifikasi atau diuji.
2. Kebenaran Ilmu Pengetahuan
Patut dibahas langkah yang benar menuju kepada kebenaran ilmu pengetahuan. Seringkali kita ragu-ragu untuk menentukan apakah asumsi pikiran dapat dikategorikan sebagai salah satu pemikiran ilmiah yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran ilmiah. Yusuf Hadi Miarso, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, menyatakan bahwa kebenaran dapat dibedakan dalam empat lapis yaitu :
1. Lapis paling dasar adalah kebenaran inderawi yang diperoleh melalui panca indera kita dan dapat dilakukan oleh siapa saja,
2. Lapis di atasnya adalah kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui kegiatan yang sistematik, metodis, obyektif dan universal oleh mereka yang terpelajar.
3. Pada lapis di atasnya lagi adalah kebenaran filsafat yang diperoleh melalui kontemplasi mendalam oleh orang yang sangat terpelajar dan hasilnya diterima serta dipakai sebagai rujukan oleh masyarakat luas.
4. Sedangkan pada lapis kebenaran tertinggi adalah kebenaran religi yang diperoleh dari Yang Maha Pencipta melalui wahyu kepada para nabi serta diikuti oleh mereka yang meyakininya.
Kebenaran inderawi diperoleh berdasarkan pengalaman manusia melalui kontak panca indera terhadap lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan meningkatkan pengetahuannya.
Adapun ilmu pengetahuan pada dasarnya akan terus mengalami perkembangan dan bukanlah sesuatu yang sudah selesai dipikirkan. Ia merupakan suatu hal yang tidak mutlak karena kebenaran yang dihasilkan bersifat relatif, positf dan terbatas. Hal ini disebabkan karena ilmu pengetahuan tidak mempunyai alat lain dalam menguak rahasia alam kecuali indera dan kecerdasan (otak). Sehingga, hasil penelitian, penyelidikan dan percobaan ilmu pengetahuan yang lama, akan disisihkan oleh penelitian, penyelidikan dan percobaan baru yang dilakukan dengan metode-metode baru dan dengan perlengkapan-perlengkapan yang lebih sempurna.
Kebenaran ilmiah selalu terbuka bagi peninjauan kembali berdasarkan fakta dan data baru yang sebelumnya tidak diketahui. Kebenaran ilmiah tidak bergantung kepada siapa yang menyampaikan ilmu tersebut. Akan tetapi, ilmu itu sendiri akan mengoreksi atas dirinya sendiri. Jadi setiap ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak lebih dari hipotesis-hipotesis yang senantiasa dapat diuji kembali.
Kebenaran filsafat merupakan kebenaran yang diperoleh dengan cara merenungkan atau memikirkan sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya sesuatu yang mungkin ada. Kebenaran filsafat diterima sebagai pengetahuan yang benar walaupun bukti-buktinya tidak diperoleh dari pengalaman langsung atau konkrit, sebab pemikirannya melampaui pengalaman manusia. Didalam filsafat sendiri terdapat system dan berbagai corak yang masing-masing mencerminkan kebenaran dari sudut pandangnya yang satu dengan yang lain bisa berbeda.
Kebenaran religi dianggap sebagai kebenaran mutlak. Kepada kita hanya ada dua pilihan yaitu ambil atau tinggalkan; kalau kita mengambilnya atau menganutnya maka kita harus mengerjakan semua perintah atau ajarannya. Mulailah berkembang berbagai mazhab atau aliran dalam bidang agama dengan memberikan penafsiran terhadap apa yang telah diperintahkan secara tertulis. Kalau kebenaran religi saja memungkinkan adanya tafsir yang menimbulkan mazhab atau aliran tersendiri, apalagi dalam memperoleh kebenaran ilmiah.
Bagaimanapun suatu ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah itu diperoleh dengan memenuhi sifat ilmiah yaitu sistematis, metodis, obyektif dan univer pada dasarnya selalu akan mengalami perkembangan de ngan adanya penemuan-penemuan ilmu pengetahuan baru

C. Hakikat Ilmu Komunikasi
Dewasa ini ilmu komunikasi dianggap sangat penting, sehubungan dengan dampak sosial yang menjadi kendala bagi kemaslahatan umat manusia akibat perkembangan teknologi. Kehidupan manusia di dunia tidak dapat dilepaskan dari aktivitas komunikasi karena komunikasi merupakan bagian integral dari sistem dan tatanan kehidupan sosial manusia dan masyarakat.
Arti dari komunikasi adalah membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga diartikan sebagai suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan di anut secara sama. Secara istilah, komunikasi adalah suatu proses dengan mana suatu pesan dipindahkan atau dioperkan (lewat suatu saluran) dari suatu sumber (komunikator) kepada penerima (komunikan) dengan maksud mengubah perilaku.
Ilmu komunikasi, seperti juga antropologi atau sosiologi ,adalah disiplin ilmu deskriptif. Dalam sejarah pertumbuhanya, ilmu komunikasi berawal sejak retorika terlahir sebagai pengetahuan dan seni berbicara secara lisan, tatap muka dalam konteks publik. Ilmu dan seni dalam menyampaikan pesan ini kemudian berkembang bukan saja dalam tataran tatap muka dengan publik, melainkan juga melalui media massa.
Berdasarkan filsafat keilmuan, ilmu komunikasi dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari penyampaian pesan antar manusia, dapat dinyatakan bahwa hakikat ilmu komunikasi mencoba mengkaji ilmu komunikasi dari segi ciri-ciri, cara perolehan, dan pemanfaatannya. Oleh karena itu, hakikat ilmu komunikasi mencoba untuk menjawab tiga pertanyaan pokok sebagai berikut:
1. Aspek ontologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Apakah ilmu komunikasi? Apakah yang ditelaah oleh ilmu komunikasi? Apakah objek kajiannya? Bagaimanakah hakikat komunikasi yang menjadi objek kajiannya?
2. Aspek Epistemologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya, metodologinya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar bisa mendapat pengetahuan dan ilmu yang benar dalam hal komunikasi? Apa yang dimaksud dengan kebenaran? Apakah kriteria kebenaran dan logika kebenaran dalam konteks ilmu komunikasi?
3. Aspek Aksiologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Untuk apa ilmu komunikasi itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan pengetahuan dan ilmu tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimanakah kaitan ilmu komunikasi berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Hal pokok yang dikaji oleh komunikasi adalah proses pernyataan antar manusia. Yang dinyatakan itu adalah pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai alat penyalurnya. Tegasnya komunikasi berarti penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan, jika dianalisis pesan komunikasi terdiri dari dua aspek: yaitu isi pesan dan lambang (simbol). Konkritnya isi pesan itu adalah pikiran atau perasaan, Lambang adalah bahasa untuk menyampaikan pesan.
Jika seseorang salah komunikasinya (miscommunication), maka orang yang dijadikan sasaran mengalami salah persepsi (misperception), yang gilirannya salah Interpretasi (misinterpretation), berikutnya salah pengertian (misunderstanding) dan akibatnya akan menimbulkan salah perilaku (misbehavior).

D. Hakikat Kebenaran
Manusia sebagai makhluk yang berpikir berusaha untuk memenuhi rasa ngin tahunya. Keingintahuannya ini merupakan pertanyaan terhadap sesuatu yang perlu dicari jawabannya. Hasil dari pencarian jawaban ini berupa pengetahuan sesuai yang diharapkan yaitu pengetahuan yang benar (kebenaran).
Kebenaran adalah kenyataan adanya yang menampakkan diri sampai masuk akal. Maka kebenaran dapat dimengerti sebagai penyamaan akal dengan kenyataan. Itu terjadi pada taraf inderawi atau pada taraf akal-budi, akan tetapi tidak pernah sampai pada kesamaan yang sempurna. Ilmu-ilmu empiris mencoba mengejar kesamaan itu dengan aneka cara yang khas ada pada ilmu itu. Ilmu-ilmu pasti tidak langsung berkecimpung dalam usaha manusia menuju kebenaran tersebut, tetapi ilmu-ilmu pasti dapat memberi sumbangan positif kepada ilmu-ilmu di luar ilmu itu untuk makin dekat kepada kebenaran sejati (apapun itu sesungguhnya).
Pada dasarnya hakikat dari kebenaran yaitu mencari kebenaran yang sesunggguhnya dari suatu ilmu. Untuk dapat memberikan asumsi mengenai apa itu kebenaran terdapat tiga teori kebenaran yaitu :
1. Kebenaran korespondensi
Kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta.. Misal, pernyataan bahwa Muhammad dalah putra Abdullah dinyatakan benar apabila Abdullah benar-benar mempunyai anak yang bernama Muhammad.
2. Kebenaran koherensi
Kebenaran koherensi adalah kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Misal, pernyataan bahwa KH Hasyim Asy’ari adalah murid Syekh Kholil, dikatakan benar apabila telah ada pernyataan kebenaran bahwa Syekh Kholil mempunyai seorang murid dan KH Hasym Asy’ari adalah salah satu dari murid Syekh Kholil.
3. Kebenaran pragmatis
Kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Misal, agama itu benar bukan dikarenakan Tuhan itu ada dan disembah oleh penganut agama, tetapi agama itu benar karena ia mempunyai dampak positif bagi masyarakat.
Jadi, jalan untuk mencari kebenaran terbentuk oleh kesesuaian hubungan antara fakta atau realitas, hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri dengan pernyataan yang dipercayai kebenarannya serta pernyataan itu mempunyai kegunaan. 


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat kami simpulkan bahwa filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat bertugas mencoba menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu secara rasional dalam menjelaskan kebenaran suatu ilmu. dengan mempelajari tentang teori pembagian ilmu, metode yang digunakan dalam ilmu, tentang dasar kepastian dan jenis keterangan serta implikasi dari suatu ilmu. Sehingga kebenaran suatu ilmu dapat diterima sebagai suatu ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjwabkan secara ilmiah.
Adapun pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan (pengetahuan ilmiah), apabila ia memenuhi sifat ilmiah sebagai syarat ilmu, yaitu sistematis, metodis, objektif, universal. Namun, syarat dari objek ilmu adalah harus bisa diverifikasi atau diuji sehingga dapat diterima kesahihannya oleh masyarakat luas. Ilmu pengetahuan pada dasarnya bersifat relative, positif dan terbatas, maka ia selalu akan mengalami perkembangan dan dimungkinkan akan mendapat kritik dengan adanya penemuan-penemuan ilmu pengetahuan yang baru.
Ilmu komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dalam memahami makna dari isi pesan melalui lambang (symbol) dari segi ciri-ciri, cara perolehan dan pemanfaatannya
Sedangkan hakikat dari kebenaran yaitu mencoba mencari kebenaran yang sesungguhnya dalam kaitannya menemukan ilmu pengetahuan yang benar dengan menggunakan teori korespondensi, koherensi, dan pragmatis.
Melalui ilmu pengetahuan diharapkan dakwah islam akan menemukan jalan kebenaran dengan mengenal filsafat suatu ilmu, penggunaan komunikasi dakwah serta mencari jawaban yang benar terhadap suatu ilmu secara rasional.

DAFTAR PUSTAKA

Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Jakarta: Indeks, 2008
Dani Vardiansyah. Pengantar Ilmu Komunikasi. Cet.1. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet.III, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, Bandung : Refika Aditama, 2004.
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001
Pawito dan C Sardjono. Teori-Teori Komunikasi.Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 1994
Yusuf Hadi Miarso, Menyingkap Tabir Kebenaran Ilmiah, Semnas TP Yogyakarta tgl 22 Agustus 2003
Agung Santoso, Pengetahuan Ilmiah dan Kajian Filsafat, www.google.com di akses tgl 21 Maret 2011
Sismana, Hakikat Kebenaran, www.google.com di akses tgl 21 Maret 2011
Yumei dan Yulia, Filsafat Ilmu, www.google.com di akses tgl 21 Maret 2010
Yusra Marasabessy,Filsafat Itu Energi Dan Ilmu Itu Cahaya,www.ngamumule-islam.blogspot.com di akses tgl 21 Maret 2011

Selasa, 05 April 2011

50 TAHUN SALAH PAHAM

Dikisahkan, disebuh gedung pertemuan yang amat
megah, seorang pejabat senior istana sedang
menyelenggarakan pesta ulang tahun perkawinannya
yang ke-50. Peringatan kawin emas itu ramai didatangi oleh
tamu-tamu penting seperti para bangsawan, pejabat istana,
pedagang besar serta seniman-seniman terpandang dari
seluruh pelosok negeri. Bahkan kerabat serta kolega dari
kerajaan-kerajaan tetangga juga hadir. Pesta ulang tahun
perkawinan pun berlangsung dengan megah dan sangat
meriah.
Setelah berbagai macam hiburan ditampilkan, sampailah pada
puncak acara, yaitu jamuan makan malam yang sangat mewah.
Sebelum menikmati jamuan tersebut, seluruh hadirin mengikuti
prosesi penyerahan hidangan istimewa dari sang pejabat istana
kepada istri tercinta. Hidangan itu tak lain adalah sepotong ikan
emas yang diletakkan di sebuah piring besar yang mahal. Ikan
emas itu dimasak langsung oleh koki kerajaan yang sangat
terkenal.
“Hadirin sekalian, ikan emas ini bukanlah ikan yang mahal.
Tetapi, inilah ikan kegemaran kami berdua, sejak kami menikah
dan masih belum punya apa-apa, sampai kemudian di usia
perkawinan kami yang ke-50 serta dengan segala keberhasilan
ini. Ikan emas ini tetap menjadi simbol kedekatan, kemesraan,
kehangatan, dan cinta kasih kami yang abadi,” kata sang pejabat
senior dalam pidato singkatnya.
Lalu, tibalah detik-detik yang istimewa yang mana seluruh
hadirin tampak khidmat menyimak prosesi tersebut. Pejabat
senior istana mengambil piring, lalu memotong bagian kepala
dan ekor ikan emas. Dengan senyum mesra dan penuh
kelembutan, ia berikan piring berisikan potongan kepala dan
ekor ikan emas tadi kepada isterinya. Ketika tangan sang isteri
menerima piring itu, serentak hadirin bertepuk tangan dengan
meriah sekali. Untuk beberapa saat, mereka tampak ikut
terbawa oleh suasana romantis, penuh kebahagiaan, dan
mengharukan tersebut.
Namun suasana tiba-tiba jadi hening dan senyap. Samar-samar
terdengar isak tangis si isteri pejabat senior. Sesaat kemudian,
isak tangis itu meledak dan memecah kesunyian gedung pesta.
Para tamu yang ikut tertawa bahagia mendadak jadi diam
menunggu apa gerangan yang bakal terjadi. Sang pejabat
tampak kikuk dan kebingungan. Lalu ia mendekati isterinya dan
bertanya “Mengapa engkau menangis, isteriku?”
Setelah tangisan reda, sang isteri menjelaskan “Suamiku…sudah
50 tahun usia pernikahan kita. Selama itu. aku telah dengan
melayani dalam duka dan suka tanpa pernah mengeluh. Demi
kasihku kepadamu, aku telah rela selalu makan kepala dan ekor
ikan emas selama 50 tahun ini. Tapi sungguh tak kusangka, di hari
istimewa ini engkau masih saja memberiku bagian yang sama.
Ketahuilah suamiku, itulah bagian yang paling tidak aku sukai.”
tutur sang isteri.
Pejabat senior terdiam dan terpana sesaat. Lalu dengan mata
berkaca-kaca pula, ia berkata kepada isterinya,” Isteriku yang
tercinta…50 tahun yang lalu saat aku masih miskin, kau bersedia
menjadi isteriku. Aku sungguh-sungguh bahagia dan sangat
mencintaimu. Sejak itu aku bersumpah pada diriku sendiri, bahwa
seumur hidup aku akan bekerja keras, membahagiakanmu,
membalas cinta kasih dan pengorbananmu.”
Sambil mengusap air matanya, pejabat senior itu melanjutkan,
“Demi Tuhan, setiap makan ikan emas, bagian yang paling aku
sukai adalah kepala dan ekornya. Tapi sejak kita menikah, aku rela
menyantap bagian tubuh ikan emas itu. Semua kulakukan demi
sumpahku untuk memberikan yang paling berharga buatmu.”
Sang pejabat terdiam sejenak, lalu ia melanjutkan lagi “Walaupun
telah hidup bersama selama 50 tahun dan selalu saling mencintai,
ternyata kita tidak cukup saling memahami. Maafkan saya, hingga
detik ini belum tahu bagaimana cara membuatmu bahagia.”
Akhirnya, sang pejabat memeluk isterinya dengan erat. Tamutamu
terhormat pun tersentuh hatinya melihat keharuan tadi dan
mereka kemudian bersulang untuk menghormati kedua
pasangan tersebut.
……………………

Arti cerita diatas:
Bisa saja, sepasang suami - isteri saling mencintai dan hidup
serumah selama bertahun-tahun lamanya. Tetapi jika di
antaranya tidak ada saling keterbukaan dalam komunikasi, maka
kemesraan mereka sesungguhnya rawan dengan konflik.
Kebiasaan memendam masalah itu cukup riskan karena seperti
menyimpan bom waktu dalam keluarga. Kalau perbedaan tetap
disimpan sebagai ganjalan dihati, tidak pernah dibiacarakan
secara tulus dan terbuka, dan ketidakpuasan terus
bermunculan, maka konflik akan semakin tak tertahankan dan
akhirnya bisa meledak. Jika keadaan sudah seperti ini, tentulah
luka yang ditimbulkan akan semakin dalam dan terasa lebih
menyakitkan.
Kita haruslah selalu membangun pola komunikasi yang terbuka
dengan dilandasi kasih, kejujuran, kesetiaan, kepercayaan,
pengertian dan kebiasaan berpikir positif

============================================
Sumber artikel, dari buku:
Sudarmono, Dr.(2010). Mutiara Kalbu Sebening Embun Pagi, 1001 Kisah Sumber Inspirasi. Yogyakarta: Idea Press. Volume 2. Hal. 349-350. ISBN 978-6028-686-938.

POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN DAKWAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penelitian adalah pekerjaan ilmiah yang bermaksud mengungkapkan rahasia ilmu secara obyektif, dengan dibentengi bukti-bukti yang lengkap dan kokoh. Penelitian merupakan proses kreatif untuk mengungkapkan suatu gejala melalui cara tersendiri sehingga diperoleh suatu informasi. Pada dasarnya, informasi tersebut merupakan jawaban atas masalah-masalah yang dipertanyakan sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian juga dapat dipandang sebagai usaha mencari tahu tentang berbagai masalah yang dapat merangsang pikiran atau kesadaran seseorang.
Sebagian dari kualitas hasil suatu penelitian bergantung pada teknik pengumpulan data yang digunakan. Pengumpulan data dalam penelitian ilmiah dimaksudkan untuk memperoleh bahan-bahan yang relevan, akurat, dan reliable. Untuk memperoleh data seperti itu, peneliti dapat menggunakan metode, teknik, prosedur, dan alat-alat yang dapat diandalkan. Ketidaktepatan dalam penggunaan intrumen penelitian tersebut dapat menyebabkan rendahnya kualitas penelitian.
Penelitian bertujuan menemukan jawaban atas pertanyaan melalui aplikasi prosedur ilmiah. Prosedur ini dikembangkan untuk meningkatkan taraf kemungkinan yang paling relevan dengan pertanyaan serta menghindari adanya bias. Sebab, penelitian ilmiah pada dasarnya merupakan usaha memperkecil interval dugaan peneliti melalui pengumpulan dan penganalisaan data atau informasi yang diperolehnya.
Dalam penelitian dakwah, salah satu bagian dalam langkah-langkah penelitian adalah menentukan populasi dan sampel penelitian. Seorang peneliti dapat menganalisa data keseluruhan objek yang diteliti sebagai kumpulan atau komunitas tertentu. Seorang peneliti juga dapat mengidentifikasi sifat-sifat suatu kumpulan yang menjadi objek penelitian hanya dengan mengamati dan mempelajari sebagian dari kumpulan tersebut. Kemudian, peneliti akan mendapatkan metode atau langkah yang tepat untuk memperoleh keakuratan penelitian dan penganalisaan data terhadap objek.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebagaimana dikemukakan di atas, maka makalah ini bermaksud mengkaji masalah diantaranya sebagai berikut :
1. Bagaimana pengertian populasi penelitian?
2. Bagaimana pengertian sampel penelitian?
Kedua rumusan masalah di atas, akan diuraikan lebih gamblang dalam bab selanjutnya.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Populasi
Sugiyono menyatakan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga benda-benda alam yang lain. populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada objek/subjek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh objek atau subjek itu.
Menurut Margono, populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan. Jadi populasi berhubungan dengan data, bukan manusianya. Kalau setiap manusia memberikan suatu data, maka banyaknya atau ukuran populasi akan sama dengan banyaknya manusia.
Sudjana menjelaskan bahwa populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung maupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif dari karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya. Pendapat lain dengan singkat menyatakan bahwa populasi adalah keseluruhan unit sampling secara fisik yang dibatasi secara ketat oleh kriterium tertentu. Atau keseluruhan dari hasil pengukuran (data) yang dibatasi secara ketat oleh kriterium tertentu.
Kerlinger menyatakan bahwa populasi merupakan semua anggota kelompok orang, kejadian, atau objek yang telah dirumuskan secara jelas. Nazir menyatakan bahwa populasi adalah kumpulan dari individu dengan kualitas serta ciri-ciri yang telah ditetapkan. Kualitas atau ciri tersebut dinamakan variabel. Sebuah populasi dengan jumlah individu tertentu dinamakan populasi finit. Sedangkan, jika jumlah individu dalam kelompok tidak mempunyai jumlah yang tetap, ataupun jumlahnya tidak terhingga, disebut populasi infinit. Misalnya, jumlah petani dalam sebuah desa adalah populasi finit. Sebaliknya, jumlah pelemparan mata dadu yang terus-menerus merupakan populasi infinit.
Pengertian lainnya, diungkapkan oleh Nawawi yang menyebutkan bahwa populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes, atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karaktersitik tertentu di dalam suatu penelitian. Kaitannya dengan batasan tersebut, populasi dapat dibedakan berikut ini.
1. Populasi terbatas atau populasi terhingga, yakni populasi yang memiliki batas kuantitatif secara jelas karena memilki karakteristik yang terbatas. Misalnya 5.000 orang dai pada awal tahun 1999, dengan karakteristik; masa belajar di pesantren 10 tahun, lulusan pendidikan Timur Tengah, dan lain-lain.
2. Populasi tak terbatas atau populasi tak terhingga, yakni populasi yang tidak dapat ditemukan batas-batasnya, sehingga tidak dapat dinyatakan dalam bentuk jumlah secara kuantitatif. Misalnya dai di Indonesia, yang berarti jumlahnya harus dihitung sejak dai pertama ada sampai sekarang dan yang akan datang.
Dalam keadaan seperti itu jumlahnya tidak dapat dihitung, hanya dapat digambarkan suatu jumlah objek secara kualitas dengan karakteristik yang bersifat umum yaitu orang-orang, dahulu, sekarang dan yang akan menjadi dai.
Selain itu, menurut Margono populasi dapat dibedakan ke dalam hal berikut ini:
1. Populasi teoretis (teoritical population), yakni sejumlah populasi yang batas-batasnya ditetapkan secara kualitatif. Kemudian agar hasil penelitian berlaku juga bagi populasi yang lebih luas, maka ditetapkan terdiri dari dai berumur 25 tahun sampai dengan 40 tahun, lulusan Mesir, dan lain-lain.
2. Populasi yang tersedia (accessible population), yakni sejumlah populasi yang secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan tegas. Misalnya, dai sebanyak 250 di kota Bandung terdiri dari dai yang memiliki karakteristik yang telah ditetapkan dalam populasi teoretis.
Margono pun menyatakan bahwa persoalan populasi penelitian harus dibedakan ke dalam sifat berikut ini:
1. Populasi yang bersifat homogen, yakni populasi yang unsur-unsurnya memiliki sifat yang sama, sehingga tidak perlu dipersoalkan jumlahnya secara kuantitatif. Misalnya, seorang dokter yang akan melihat golongan darah seseorang, maka ia cukup mengambil setetes darah saja. Dokter itu tidak perlu satu botol, sebab setetes dan sebotol darah, hasilnya akan sama saja.
2. Populasi yang bersifat heterogen, yakni populasi yang unsur-unsurnya memiliki sifat atau keadaan yang bervariasi, sehingga perlu ditetapkan batas-batasnya, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Penelitian di bidang sosial yang objeknya manusia atau gejala-gejala dalam kehidupan manusia menghadapi populasi yang heterogen.
Meskipun banyak populasi yang anggotanya terbatas jumlahnya seperti jumlah muballigh di Jakarta, jumlah mahasiswa Islam di Yogyakarta, di mana keduanya sebenarnya dapat dapat dihitung namun karena hal itu sulit dilakukan maka dianggap tidak terbatas.
Metode penarikan/pengambilan data dengan jelas mengawali/melibatkan seluruh anggota populasi disebut sensus. Seorang peneliti meskipun mengetahui bahwa metode sensus ini akan banyak memerlukan pemikioran, memakan waktu yang lama serta relatif mahal, namun tetap melakukan sensus, hal ini disebabkan oleh karena :
a. Untuk ketelitian
Suatu penelitian sering meminta ketelitian dan kecermatan yang tinggi, sehingga memerlukan data-data yang besar jumlahnya. Apabila unsur penelitian dan kecermatan ini harus diprioritaskan maka harus digunakan metode sensus.
b. Sumber bersifat heterogen
Apabila menghadapi sumber informasi yang bersifat heterogen di mana sifat dan karakteristik masing-masing sumber sulit untuk dibedakan maka lebih baik digunakan metode sensus
Tidak ada salahnya seorang peneliti hendak meneliti seluruh unsur populasi. Namun, sensus akan mudah dilakukan terhadap populasi dalam jumlah yang kecil. Penelitian untuk mengetahui sikap para dai di suatu kelurahan terhadap peraturan pemerintah tentang penyebaran agama, misalnya, dapat dilakukan dengan mewawancarai seluruh dai di kelurahan itu, tanpa kecuali. Akan tetapi, apabila yang menjadi populasinya adalah seluruh masyarakat di kelurahan tersebut, usaha mewawancarai setiap anggota populasi tanpa kecuali menjadi sulit dilakukan. Oleh karena itu, seorang peneliti dapat mengambil sampel untuk diteliti.

B. Pengertian Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Pendapat yang senada pun dikemukakan oleh Sugiyono yang menyatakan bahwa sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan diberlakukan untuk populasi.
Menurut Wardi Bachtiar menyatakan bahwa sampel adalah bagian kecil dari anggota populasi yang diambil menurut prosedur tertentu sehingga dapat mewakili populasinya atau sebagai percontohan yang diambil dari populasi. Percontohan mempunyai karakteristik yang mencerminkan karakteristik populasi. Karena itu sampel merupakan perwakilan dari populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul representatif.
Suatu sampel dikatakan representative apabila ciri-ciri sampel yang berkaitan dengan tujuan penelitian sama atau hampir sama dengan ciri-ciri populasinya. Dengan sampel yang representatif ini, maka informasi yang dikumpulkan dari sampel hampir sama dengan informasi yang dapat dikumpulkan dari populasinya.
Margono menyatakan bahwa sampel adalah sebagai bagian dari populasi, sebagai contoh yang diambil dengan menggunakan cara-cara tertentu. Sutrisno Hadi menyatakan bahwa masalah sampel dalam suatu penelitian timbul disebabkan hal berikut:
1. Peneliti bermaksud mereduksi objek penelitian sebagai akibat dari besarnya jumlah populasi, sehingga harus meneliti sebagian saja.
2. Penelitian bermaksud mengadakan generalisasi dari hasil-hasil penelitiannya, dalam arti mengenakan kesimpulan-kesimpulan kepada objek, gejala, atau kejadian yang lebih luas.
Penggunaan sampel dalam kegiatan penelitian dilakukan dengan berbagai alasan. Nawawi mengungkapkan beberapa alasan tersebut, yaitu:
1. Ukuran populasi
Dalam hal populasi tak terbatas (tak terhingga) berupa parameter yang jumlahnya tidak diketahui dengan pasti, pada dasarnya bersifat konseptual. Karena itu sama sekali tidak mungkin mengumpulkan data dari populasi seperti itu. Demikian juga dalam populasi terbatas yang jumlahnya sangat besar, tidak praktis untuk mengumpulkan data dari populasi 50 juta dai pesantren yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia, misalnya.
2. Masalah biaya
Besar-kecilnya biaya tergantung juga dari banyak sedikitnya objek yang diselidiki. Semakin besar jumlah objek, maka semakin besar biaya yang diperlukan, lebih-lebih bila objek itu tersebar di wilayah yang cukup luas. Oleh karena itu, sampling ialah satu cara untuk mengurangi biaya.
3. Masalah waktu
Penelitian sampel selalu memerlukan waktu yang lebih sedikit daripada penelitian populasi. Sehubungan dengan hal itu, apabila waktu yang tersedia terbatas, dan keimpulan diinginkan dengan segera, maka penelitian sampel, dalam hal ini, lebih tepat.
4. Percobaan yang sifatnya merusak
Banyak penelitian yang tidak dapat dilakukan pada seluruh populasi karena dapat merusak atau merugikan. Misalnya, tidak mungkin mengeluarkan semua darah dari tubuh seseorang pasien yang akan dianalisis keadaan darahnya, juga tidak mungkin mencoba seluruh neon untuk diuji kekuatannya. Karena itu penelitian harus dilakukan hanya pada sampel.
5. Masalah ketelitian
Masalah ketelitian adalah salah satu segi yang diperlukan agar kesimpulan cukup dapat dipertanggungjawabkan. Ketelitian, dalam hal ini meliputi pengumpulan, pencatatan, dan analisis data. Penelitian terhadap populasi belum tentu ketelitian terselenggara. Boleh jadi peneliti akan bosan dalam melaksanakan tugasnya. Untuk menghindarkan itu semua, penelitian terhadap sampel memungkinkan ketelitian dalam suatu penelitian.
6. Masalah ekonomis
Pertanyaan yang harus selalu diajukan oleh seorang peneliti; apakah kegunaan dari hasil penelitian sepadan dengan biaya, waktu dan tenaga yang telah dikeluarkan? Jika tidak, mengapa harus dilakukan penelitian? Dengan kata lain penelitian sampel pada dasarnya akan lebih ekonomis daripada penelitian populasi.
Pelaksanaan penelitian, kecuali teknik sensus pada populasi, dilakukan pada sampel. Keputusan hasil penelitian pada sampel merupakan keputusan populasi, artinya karena sampel sifatnya representatif atau mewakili populasi, maka keputusan yang ditentukan dari sampel merupakan keputusan populasi. Generalisasi berlaku pada seluruh populasi tersebut.
Karena berbagai alasan, tidak semua hal yang ingin dijelaskan atau diramalkan atau dikendalikan dapat diteliti. Penelitian ilmiah boleh dikatakan hampir selalu hanya dilakukan terhadap sebagian saja dari hal-hal yang sebenarnya mau diteliti. Jadi penelitian hanya dilakukan terhadap sampel, tidak terhadap populasi. Namun kesimpulan-kesimpulan penelitian mengenai sampel itu akan dikenakan atau digeneralisasikan terhadap populasi. Generalisasi dari sampel ke populasi ini mengandung resiko bahwa akan terdapat kekeliruan atau ketidaktepatan, karena sampel tidak akan mencerminkan secara tepat keadaan populasi. Makin tidak sama sampel itu dengan populasinya, maka makin besarlah kemungkianan kekeliruan dalam generalisasi itu. Karena hal yang demikian itulah maka teknik penentuan sampel itu menjadi sangat penting peranannya dalam penelitian. Berbagai teknik penentuan sampel itu pada hakikatnya adalah cara-cara untuk memperkecil kekeliruan generalisasi dari sampel yang representative, yaitu sampel yang benar-benar mencerminkan populasinya.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan sebagai objek penelitian. Jadi populasi berhubungan dengan data, bukan manusianya. Kalau setiap manusia memberikan suatu data maka, banyaknya atau ukuran populasi akan sama dengan banyaknya manusia.
Sedangkan sampel adalah sebagai wakil populasi yang diteliti atau bagian dari populasi yang akan diteliti dan yang dianggap dapat menggambarkan populasi, atau sebagai contoh yang diambil dengan menggunakan cara-cara tertentu.


DAFTAR PUSTAKA

A. Furchan, Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004
Asep Saeful Muhtadi dan Maman Abdul Djaliel, Metode Penelitian Dakwah, Cet.1, Bandung : Pustaka Setia, 2003
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial : Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Cet.4, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000,
Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia. 2005
S. Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pengantar Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2006
S.Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, Cet.7, Jakarta: Rineka Cipta. 2007
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta. 2005.
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, Cet.1, Jakarta: Logos, 1997

SUSAHNYA MEMAHAMI WANITA

Suatu malam, ketika sedang berjalan sepanjang
pelabuhan Ketapang Banyuwangi Jawa Timur, seorang
pria menemukan lampu tua yang diletakkan
di atas batu. Ketika ia mengambil dan menggosoknya, seorang
Jin mendadak muncul.
“Baik, cukup sudah!” bentak Jin itu.
“Ini keempat kalinya dalam bulan ini orang menggangguku!
Aku begitu marah sampai aku hanya akan memberimu satu
permintaan bukannya tiga! Jadi ayolah, ayo! Katakan apa yang
kau inginkan, dan jangan membuang waktuku seharian!.”
Orang itu berpikir cepat, kemudian berkata,
“Yah, aku selalu bermimpi pergi ke Bali, tetapi aku takut terbang
dan aku cenderung mabuk laut di atas kapal. Bagaimana kalau
kau buatkan aku jembatan ke Bali? Dengan begitu, aku bisa naik
mobil ke sana.” Jin itu tertawa.
“Jembatan ke Bali?! Kau pasti bercanda? Bagaimana aku bisa
mendapat penyangga yang sampai ke dasar Laut? Itu
membutuhkan terlalu banyak baja, dan sangat terlalu banyak
beton! itu sama sekali tidak bisa dilakukan! Pikirkan permintaan
lain!” Kecewa, pria itu berusaha keras untuk memikirkan
permintaan lain.
Akhirnya ia berkata,
“Baiklah, aku punya keinginan lain. Semua wanita dalam
hidupku berkata aku tidak peka. Aku berusaha dan berusaha
untuk menyenangkan mereka, tetapi tidak ada yang berhasil.
Aku tidak tahu di mana kesalahanku. Satu permintaanku adalah
untuk mengerti wanita... tahu bagaimana sebenarnya perasaan
mereka ketika mereka membisu padaku... tahu mengapa
mereka menangis ... tahu apa yang mereka inginkan ketika
mereka tidak memberitahu aku apa yang sebenarnya mereka
inginkan... aku ingin tahu apa yang membuat mereka benarbenar
bahagia.”
Sunyi sejenak, kemudian Jin itu berkata, “Kau mau jembatan itu
berjalur dua atau empat?”

MORAL CERITA:
benarkah wanita begitu rumit untuk dipahami?
============================================
Sumber artikel, dari buku:
Sudarmono, Dr.(2010). Mutiara Kalbu Sebening Embun Pagi, 1001 Kisah Sumber Inspirasi. Yogyakarta: Idea Press. Volume 2. Hal. 351-352. ISBN 978-6028-686-938.
Design by Zay Arief