Jumat, 23 November 2012

Perbedaan Pola Pikir

Suatu kali, sebuah keluarga yang cukup harmonis mengalami ujian yang cukup sulit. Sang ayah yang merupakan pencari nafkah satu-satunya, sakit keras. Karena itulah, sang ibu dan dua anak kembar mereka yang masih berusia belasan, terpaksa harus bekerja keras. Sang ibu membuat kue, dan kedua anak mereka menjualnya sembari berangkat ke sekolah. Dalam masa enam bulan itu, kondisi sang ayah terus memburuk. Hingga suatu hari, ia memanggil istri dan kedua anak kesayangannya.
“Istriku, waktuku sepertinya sudah tak lama lagi. Terima kasih sudah mendampingiku selama ini dan mendidik kedua anak kita dengan baik. Tolong jaga mereka,” kata sang ayah.
“Anakku yang sangat kusayangi. Aku juga berpesan dua hal kepada kalian. Pertama, jangan pernah menagih piutang kalian. Kedua, jangan biarkan diri kalian terbakar sinar matahari.” Kedua anak itu saling berpandangan. 
Mereka pun bertanya, ”Apa maksud ucapan Ayah?” Namun belum sempat dijawab, sang ayah sudah mengembuskan napas terakhirnya. Mereka pun menangisi kepergian orang yang sangat mereka cintai, sembari memikirkan, apa maksud pesan terakhir sang ayah. Waktu berganti, tahun-tahun pun berlalu. Kedua pemuda kembar itu telah berpisah untuk mencari jalan hidupnya masing-masing. Hingga suatu hari, ibu mereka berniat untuk mengunjungi kedua anaknya yang tinggal berjauhan.
Kali pertama, sang ibu mendatangi anak kedua. Saat itu, ia baru tahu, mengapa anak keduanya kerap mengeluh di surat yang selalu dikirimnya. Dia hidup miskin, tubuhnya kurus kering. Ia pun bertanya, “Anakku, mengapa kamu bisa mengalami kondisi seperti ini?” tanyanya. “Ibu… saya hanya menjalankan pesan ayah.” Jawabnya. “Yaitu, jangan pernah menagih piutang dan jangan sampai terbakar matahari. Pesan pertama saya laksanakan! Setiap ada yang berutang, saya tak pernah menagihnya kecuali mereka sendiri yang membayar. Dan, itu membuat banyak orang yang berutang malah tak pernah membayar. Yang kedua, karena tak boleh terbakar sinar matahari, ketika sedang ada uang, saya gunakan semuanya untuk membeli mobil sendiri. Akibatnya, saat ini uang saya tidak pernah cukup,” sebut si anak kedua memelas. 
Si ibu yang kasihan, lantas meminta si anak kedua ikut kembali tinggal bersamanya. Namun, sebelum itu, ia ingin menemui anak pertamanya. Ternyata, dia hidup sukses dan bahagia. Apa yang membuat kondisi anak pertama sangat berbeda dengan anak kedua? Si anak pertama pun menjawab, “Ibu, saya hanya menjalankan pesan yang diberikan ayah dulu. Waktu itu, ayah meminta saya tidak boleh menagih piutang. Maka, saya pun berusaha semaksimal mungkin tidak pernah membiarkan orang berutang. Untuk setiap barang yang saya jual, saya wajibkan untuk bayar di awal. Kemudian untuk mematuhi pesan kedua, saya selalu pergi pagi-pagi sekali dan baru pulang saat sudah malam. Saya pun bisa memaksimalkan waktu untuk bisa mencapai hasil hingga seperti sekarang.” 
Netter yang Luar Biasa, 
Dalam kisah ini, sangat jelas bahwa pola pikir (positif atau negatif) akan memberi dampak yang berbeda pula. Hal yang sama bisa terjadi pada kita. Suatu kondisi dan keadaan yang menimpa (misalnya krisis) akan memberi hasil yang berbeda jika kita bisa mengubah sudut pandang menjadi lebih positif. Sebab, dengan pola pikir yang positif, kita akan mempunyai cara berpikir yang lebih luas untuk memperbaiki keadaan. Saat gagal, bisa menjadi momen untuk belajar memperbaiki apa yang salah. Saat terjatuh, bisa menjadi masa mengevaluasi diri agar mampu bangkit lagi. Mari, kita perbaiki sudut pandang kita terhadap segala hal yang kita jumpai, dengan pola pikir yang selalu positif. Sehingga, setiap hasil apa pun yang kita dapati, dapat menjadi hal yang selalu penuh arti.

Senin, 05 November 2012

HIKMAH HIJRAH

HIKMAH HIJRAH
Setiap pekerjaan yang dilakukan seseorang pasti mempunyai motivasi atau niat. Hal ini pernah ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw., ketika seorang sahabatnya berhijrah dari Makkah ke Madinah: “Setiap pekerjaan harus atau pasti disertai dengan niat. Maka, barangsiapa hijrahnya didorong oleh niat karena Allah, hijrahnya akan dinilai demikian. Dan barang siapa berhijrah didorong oleh keinginan mendapatkan keuntungan duniawi, atau karena ingin mengawini seorang wanita, maka hijrahnya dinilai sesuai dengan tujuan tersebut.” 
Ketika Nabi saw. dan sahabat-sahabat beliau berhijrah, motivasi utama mereka adalah guna memperoleh ridha Allah SWT, yang diyakini Mahakuasa dan Mahabijaksana. Menjelang hijrah, kaum Muslim berada pada posisi yang sangat lemah dan teraniaya. Namun, keyakinan mereka akan datangnya kemenangan tidak pernah sirna. Hal ini diakibatkan oleh tebalnya iman mereka kepada Allah Yang Mahakuasa. Pokok pertama yang ditanamkan Rasul saw. kepada sahabat-sahabatnya – jauh sebelum berhijrah – adalah prinsip keimanan tersebut. Bukan saja karena keimanan kepada Allah merupakan ajaran dasar, tetapi juga karena iman membentengi manusia serta mengantarkan mereka kepada optimisme. 
Muhammad Rasyid Ridha menulis dalam Tafsir Al-Manar: “Iman membangkitkan sinar dalam akal, sehingga merupakan petunjuk jalan ketika berjumpa dengan gelap keraguan. Dengan iman, seseorang akan mudah mengatasi batu penghalang yang dapat menjatuhkannya ke jurang kebinasaan. Iman menumbuhkan dalam diri manusia suatu pusat penelitian atas tiap detak-detak hati yang terlintas dan setiap pandangan yang terbentang. Dengan iman, seseorang dapat melihat tembus sesuatu yang tersirat dari kulit yang tersurat. Demikian itulah, Tuhan tidak menghasilkan sesuatu yang baik, kecuali dari yang baik pula.” Memang, dalam perjalanan hidup, terkadang ada timbul rasa ragu akan adanya Dia Yang Mahakuasa. Tetapi, jika kepercayaan tadi dicoba untuk ditinggalkan, akan terasa bahwa keraguan tidak hilang, tetapi justru bertambah. 
Amir al-Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib pernah ditanya oleh Zi’lib Alyamani, dan terjadilah percakapan berikut: “Apakah Amir Al-Mukminin pernah melihat Tuhan?” “Bagaimana aku menyembah sesuatu yang aku tidak lihat?” “Bagaimana tuan melihat Dia?” “Dia tidak dapat dilihat oleh mata dengan pandangan yang nyata, tetapi Dia (keberadaan-Nya) dijangkau oleh hati dengan hakikat keimanan. Dia dekat dari segala sesuatu, tetapi tidak dapat disentuh. Dia jauh namun Dia tetap bersama segala sesuatu.” Bagaimana kita dapat melihat Tuhan dengan pandangan mata, sedangkan sebagian bukti ada-Nya saja – yaitu matahari – tidak dapat ditatap oleh mata kita. Kelelawar di siang hari bolong tidak dapat melihat, bukan karena tidak ada sesuatu, tetapi karena memang baru di kegelapanlah matanya dapat melihat. Perasaan akan adanya Allah dalam jiwa sanubari kita adalah sebagian hidup kita. Perasaan itu tidak dapat dipisahkan, sebagaimana tidak dapat dipisahkannya kasih ibu kepada anaknya, atau kasih suami kepada istrinya dalam suatu rumah tangga yang bahagia. Perasaan tersebut harus selalu dipelihara, diasah dan diasuh agar tidak luntur atau berkurang. Demikian itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. selama di Makkah dan ketika beliau berada di Madinah. 
Hijrah Rasulullah saw. telah berlalu empat belas abad lamanya. Namun, dari hijrah dan celah-celah peristiwanya, banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik. Berikut ini beberapa di antaranya. Pengorbanan Ketika Rasul saw. menyampaikan kepada Abu Bakar r.a. bahwa Allah SWT memerintahkannya untuk berhijrah, dan mengajak sahabatnya itu untuk berhijrah bersama, Abu Bakar menangis kegirangan. Dan, ketika itu juga ia membeli dua ekor unta dan menyerahkannya kepada Rasul saw. untuk memilih yang dikehendakinya. Terjadilah dialog berikut: 
“Aku tidak akan mengendarai unta yang bukan milikku.” “Unta ini kuserahkan untukmu.” “Baiklah, tapi aku akan membayar harganya.” Setelah Abu Bakar bersikeras agar unta itu diterima sebagai hadiah, namun Nabi saw. tetap menolak, Abu Bakar pada akhirnya setuju untuk menjualnya. Mengapa Nabi saw. bersikeras untuk membelinya? Bukankah Abu Bakar sahabat beliau? Dan, bukankah sebelum ini – bahkan sesudahnya – Nabi saw. selalu menerima hadiah dan pemberian Abu Bakar? 
Di sini terdapat suatu pelajaran yang sangat berharga. Rasulullah saw. ingin mengajarkan bahwa untuk mencapai suatu usaha besar, dibutuhkan pengorbanan maksimal dari setiap orang. Beliau bermaksud berhijrah dengan segala daya yang dimilikinya, tenaga, pikiran dan materi, bahkan dengan jiwa dan raga beliau. Dengan membayar harga unta itu, Nabi mengajarkan kepada Abu Bakar r.a. dan kepada kita bahwa dalam mengabdi kepada Allah, janganlah mengabaikan sedikit kemampuan pun, selama kita masih memiliki kemampuan itu. Allah berfirman: Sesungguhnya hanya kepada Tuhanlah tempat kembali (QS 96: 8). Makna Hidup Rasulullah saw. berangkat ke Madinah sambil memesan kemanakannya, ‘Ali bin Abi Thalib, agar tidur di tempat pembaringannya, sambil berselimut dengan selimut beliau guna mengelabui kaum musyrik. Dengan kesediaannya ini, ‘Âli pada hakikatnya mempertaruhkan jiwa raganya demi membela agama Allah. 
Di sini, sekali lagi, kita ingin berhenti untuk menarik pelajaran tentang: Apa sebenarnya arti hidup menurut pandangan agama? Hidup bukan sekadar menarik dan mengembuskan napas. Ada orang-orang yang telah terkubur, tapi oleh Al-Quran masih dinamai “orang yang hidup dan mendapat rezeki” (QS 3: 169). Demikian juga sebaliknya, ada orang-orang yang menarik dan mengembuskan napas, namun dianggap sebagai “orang-orang mati” (QS 35: 22). 
Hidup dalam pandangan agama adalah kesinambungan dunia akhirat dalam keadaan bahagia, kesinambungan yang melampaui usia di dunia ini. Sehingga, dengan demikian, tiada arti hidup seseorang apabila ia tidak menyadari bahwa ia mempunyai kewajiban-kewajiban yang lebih besar dan melebihi kewajiban-kewajibannya hari ini. Setiap orang yang beriman wajib mempercayai dan menyadari bahwa di samping wujudnya masa kini, masih ada lagi wujud yang lebih kekal, dan dapat menjadi jauh lebih indah daripada kehidupan dunia ini. 
Tawakkal dan Usaha Ketika Rasul saw. bersama Abu Bakar r.a. bersembunyi di suatu gua yang dikenal dengan nama Gua Tsur dan para pengejar mereka telah berdiri di mulut gua tersebut, Abu Bakar r.a. sangat gentar dan gusar. Rasul saw. menenangkannya sambil berkata: “Jangan kuatir dan jangan bersedih. Sesungguhnya Allah bersama kita.” Keadaan ini bertolak belakang dengan apa yang kemudian terjadi dalam peperangan Badar, sekitar satu setengah tahun setelah peristiwa hijrah ini. Ketika itu, yang gusar dan kuatir adalah Nabi Muhammad, sedang Abu Bakar r.a. yang menenangkan beliau. Mengapa terjadi dua sikap yang berbeda dari Nabi dan Abu Bakar? 
Di sini, sekali lagi kita mendapat pelajaran yang sangat dalam menyangkut arti hakikat-hakikat keagamaan. Dua peristiwa yang berbeda di atas menuntut pula dua sikap kejiwaan yang berbeda dan keduanya diperankan dengan sangat jitu oleh Nabi Muhammad saw. Kedua hakikat keagamaan itu adalah tawakkal dan usaha (taqwa). Rasul saw. diperintahkan untuk berhijrah seketika perintah itu tiba tanpa didahului – dalam waktu yang cukup lama – perintah bersiap-siap melaksanakan hijrah. Karena itu, perintah tersebut dilaksanakannya dengan penuh keyakinan bahwa Allah bersama mereka. Apa pun yang terjadi, maka itu adalah pilihan-Nya, sehingga ketika itu tiada lagi alasan untuk takut, gentar atau bersedih. Berbeda halnya dengan peperangan. Jauh sebelumnya beliau telah diperintahkan untuk mempersiapkan diri menghadapi musuh: Siapkanlah untuk menghadapi mereka (musuh) kekuatan apa saja yang kamu sanggupi (QS 8:60). 
Kekuatiran Nabi ketika itu timbul karena keraguan beliau akan persiapan-persiapan yang telah dilakukannya selama ini. Karena, jika keraguan itu benar, tentulah beliau telah menjerumuskan umat, bahkan agama, ke jurang yang sangat berbahaya. Beliau dan tentaranya dapat kalah akibat kurangnya persiapan. Beliau sadar bahwa, dalam hal ini, Tuhan tidak memilih kasih. Sekali lagi, kita mendapat pelajaran tentang arti tawakkal, kapan digunakan dan bagaimana batas-batasnya, serta arti dan pentingnya usaha dalam kehidupan ini. Tentu masih banyak pelajaran dan hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw., sehingga wajar jika Umar bin Khaththab menjadikan peristiwa tersebut sebagai awal kalender Islam. 
M. QURAISH SHIHAB*

OBAT PENYAKIT GILA

OBAT PENYAKIT GILA
 الفا تحة
 الم . ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ . الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ . وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ . أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ    البقرة : ٥ - ١ 
 وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ     البقرة :١٦٣
 اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَلا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ    البقرة : ٢٥٥ 
لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَإِنْ تُبْدُوا مَا فِي أَنْفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللَّهُ فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ . آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ . لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ    البقرة : ٢۸٦ - ٢۸٤ 
 شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ    ال عمران : ١۸
 إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ    الأعراف : ۵٤ 
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ    المؤمنون : ۱۱۷ 
 وَأَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَلا وَلَدًا     الجنّ : ۳
 وَالصَّافَّاتِ صَفًّا . فَالزَّاجِرَاتِ زَجْرًا . فَالتَّالِيَاتِ ذِكْرًا . إِنَّ إِلَهَكُمْ لَوَاحِدٌ . رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَرَبُّ الْمَشَارِقِ . إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ . وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ . لا يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلإ الأعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ . دُحُورًا وَلَهُمْ عَذَابٌ وَاصِبٌ . إِلا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ     الصفّت : ۱۰ 
- ﺍ هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ . هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ . هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ     الحشر : ٢٤ - ٢٢ 
 الإخلاص 
الفلق 
الناس
Design by Zay Arief