Selasa, 03 Desember 2013

DAKWAH MULTIKULTURAL MENURUT AL QUR’AN

Oleh:
Zaenal Arifin

A.     Pendahuluan
Islam adalah agama yang memandang setiap penganutnya sebagai da’i bagi dirinya sendiri dan orang lain. Karena Islam menganut adanya hierarki religius, setiap Muslim bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri di hadapan Allah. Namun, karena ajaran Islam bersifat rahmatan li’alamin dan ditujukan kepada seluruh umat manusia, kaum Muslimin memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa ajarannya sampai kepada seluruh manusia di sepanjang sejarah.
Dalam bahasa Islam, tindakan menyebarkan dan mengomunikasikan pesan-pesan Islam merupakan esensi dakwah. Dakwah adalah sebuah istilah teknis yang pada dasarnya dipahami sebagai upaya untuk mengimbau orang lain ke arah atau jalan yang lurus, yang sesuai dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dakwah adalah setiap kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai dengan akidah, syariat dan akhlak islamiyah.[1] Tujuan utama dakwah ialah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridhai oleh Allah SWT, yakni dengan menyampaikan nilai-nilai yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan sesuai dengan segi atau bidangnya masing-masing.
Islam adalah agama universal yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya keragaman latar belakang budaya dan kemajemukan yang biasa disebut dengan multikultural. Multikultural menurut Islam adalah sebuah sunnatullah yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Setiap orang akan menghadapi kemajemukan dimanapun dan dalam hal apapun.[2] Hal ini menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai multikultural karena islam adalah agama yang dengan tegas mengakui perbedaan setiap individu untuk hidup bersama dan saling menghormati satu dengan yang lainnya.
Substansi dakwah perlu dikembangkan sebagai  respon atas kondisi yang dilatarbelakangi oleh keragaman budaya atau masyarakat multikultural. Pengertian multikultural sendiri, secara konsepsional  ada dua perbedaan dengan makna yang saling berkatian. Pertama, multikultural sebagai kondisi kemajemukan kebudayaan  atau pluralisme budaya dari suatu masyarakat.[3] Kondisi ini diasumsikan dapat membentuk  sikap toleransi. Kedua, multikulturalisme merupakan seperangkat kebijakan pemerintah pusat yang dirancang sedemikian rupa agar seluruh masyarakat dapat memberikan perhatian  kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku bangsa.[4] Hal ini beralasan, karena bagaimanapun juga, semua kelompok etnik  atau suku bangsa telah memberi  kontribusi bagi pembangunan suatu bangsa.
Peranan dan fungsi kitab suci al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhamamd SAW adalah sebagai landasan pokok ajaran agama Islam dalam semua sisi kehidupan umatnya. Al Qur’an memberikan pedoman dan petunjuk tentang prinsip-prinsip Islam yang menjadi intisari dakwah, tidak ketinggalan prinsip dalam kehidupan sosio-kultural umat manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Segala aturan kehidupan bermasyarakat telah disampaikan oleh Rasulullah melalui ayat-ayat al Qur’an dan sunnah Beliau dalam mengatur pola kehidupan pada masa di Mekkah dan di Madinah sebagai pengajaran kepada umatnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik permasalahan terkait jalan dakwah yang dapat ditempuh dalam menghadapi kondisi mulktikultural di masyarakat, berangkat dari sumber utama ajaran Islam yaitu al Qur’an. Ayat-ayat al Qur’an telah memberikan pengetahuan dan wawasan bagi umatnya dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat dengan keragaman dan kemajemukan yang berada didalamnya. Bagaimana dakwah multikultural menurut al Qur’an? Diantaranya di dalam al Qur’an diterangkan adanya kemajemukan suku dan bangsa (QS al Hujurat:13); keragaman dan perbedaan pendapat (al Ma’idah: 48; QS Hud: 118-119; Yunus: 19).
B.     Kemajemukan Bangsa dan Suku
Allah SWT menciptakan manusia dengan bermacam-macam perbedaan supaya bisa saling berinteraksi mengenal antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan bangsa dan suku tentu kan melahirkan bermacam budaya yang ada di masyarakat. Berangkat dari perbedaan tersebut maka setiap budaya akan mempunyai nilai atau norma tingkah laku yang terdapat di dalam masyarakat bermacam-macam.[5]
Allah berfirman dalam QS al Hujurat: 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antarakamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Kata مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى artinya dari seorang laki-laki dan seorang perempuan maksudnya dari Adam dan Hawa. Manusia di alam nyata ini adalah sama bahwa ayah mereka berasal dari Nabi Adam dan ibunya adalah Hawa.[6]
Kata شُعُوبًا merupakan bentuk jamak dari kata sya’b yangbberarti bangsa, yang terdiri dari beberapa suku atau kabilah yang bersepakat untuk bersatu di bawah aturan-aturan yang disepakati bersama.
Kata قَبَائِلَ   merupakan bentuk jamak dari kata qabilah yang berarti kabilah atau suku. Biasanya kata qabilah atau suku didasarkan pada banyaknya keturunan yang menjadi kebanggaan.[7]
Adapun sebab turunnya ayat di atas, diriwayatkan bahwa ketika Fathu Makkah Bilal naik ke atas Ka’bah untuk adzan. Berkatalah beberapa orang: “Apakah pastas budak hitam adzan di atas Ka’bah?”. Maka berkatalah lainnya: “Sekiranya Allah membenci orang in, pasti Allah akan menggantinya”. Ayat ini turun sebagai penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, dan yang paling mulia adalah yang paling taqwa.
Dalam riwayat lain, ayat di atas turun berkenaan dengan Abi Hindin akan dikawinkan oleh Rasulullah kepada seorang wanita Bani Bayadlah. Bani Bayadlah berkata: “Wahai Rasulullah pantaskah kalau kami mengawinkan putri-putri kami kepada budak-budak kami?”. Ayat di atas turun sebagai penjelasan bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan antara bekas budak dengan orang merdeka.[8]
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi supaya saling mengenal dan menolong. Allah tidak emnyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kepangkatan, atau kekayaannya karena yang paling mulia diantara manusia di sisi Allah hanyalah orang yang paling bertaqwa kepada-Nya. Kebiasaan yang kita lihat, manusia memandang kemuliaan itu selalu bertolak ukur dengan kebangsaan dan kekayaan. Padahal menurut pandangan Allah, orang yang paling mulia itu adalah orang yang paling betaqwa.[9]
Jadi, jika kamu hendak berbangga maka banggakanlah ketaqwaanmu kepada-Nya. Sebagaimana misi ajaran Islam adalah saling menghargai, menghormati dan saling menyanyangi dalam segi sosial mendapat perlakuan yang sama.
Firman Allah dalam QS ar Ruum: 22
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.

Nabi Muhammad SAW bersabda:
Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang yang bukan Arab, dan orang kulit putih atas orang yang berkulit hitam, kecuali siapa diantara mereka yang paling bertaqwa.” (HR. Muslim).[10]

Sesungguhnya Al-Qur’an mengakui eksistensi bangsa dan suku sebagai realitas nyata bentuk berkelompoknya ummat manusia. Namun Allah tidak pernah menyuruh manusia untuk menjadikan faktor bangsa atau suku sebagai sumber perekat apalagi kebanggaan dan kemuliaan. Allah jelas menekankan bahwa yang sepatutnya menjadi sebab kemuliaan ialah berlombanya seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam hal bertaqwa kepada Allah swt.
Allah tidak menghendaki kecuali agar orang-orang beriman menjadikan Zat-Nya sebagai pemersatu hubungan satu sama lain. Dan hendaknya janganlah kita berfikir bahwa kekayaan dunia dapat menyebabkan bersatunya hati di antara sesama mukmin. Artinya, marilah kita jadikan semangat beribadah, beramal sholeh, berkomitmen dan loyal kepada ajaran Islam sebagai satu-satunya faktor yang mempersatukan kita, bukan selain itu. Jangan hendaknya menyangka bahwa faktor kekayaan, kekuasaan, kesamaan qobilah, suku atau bangsa, lidah (lisan) , warna kulit dapat menjadi faktor pengikat hubungan hati sesama orang beriman. Itu semua hanyalah bentuk pengikat yang bersifat fatamorgana dan palsu. Kalaupun bisa terlihat menyatu, maka itu hanyalah bentuk persatuan artifisial, sebatas keakraban selagi masih di dunia atau selagi berbagai faktor duniawi tersebut masih ada. Namun begitu faktor-faktor duniawi tersebut sudah meninggalkan mereka, maka segera akan terjadi konflik bahkan saling salah menyalahkan satu sama lain
C.     Keragaman dan Perbedaan Pendapat
Islam memberikan penjelasan-penjelasan yang jelas akan pentingnya membina hubungan baik antara muslim dengan muslim dan muslim dengan non-muslim. Islam begitu menekankan akan pentingnya saling menghargai, saling menghormati dan berbuat baik walaupun kepada umat yang lain dalam berbeda pendapat.
Allah berfirman dalam QS Al Maidah: 48
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُون
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.

Ayat di atas menurut Thahir ibnu ‘Asyur sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab menyebutkan bahwa, ayat di atas merupakan peringatan yang ditunjukan kepada Rasulullah saw, dalam keadaan beliau menghadapi dua pihak bersengketa yang masing-masing memiliki argumen kuat dan sulit dipilih mana yang lebih kuat. Ketika itu Rasul saw diperingatkan agar sampai keinginan  atau hawa nafsu salah satu pihak yang menjadi dasar penguatan dan pemenangannya. Hal ini, karena seperti diketahui, Rasululullah saw sangat ingin agar semua orang memeluk Islam, dan boleh jadi dengan memberi putusan yang mendukung salah satu pihak, dapat mendorong mereka untuk beriman. Ayat ini mengingatkan Rasul agar jangan sampai keinginan beliau itu mengantar kepada pengabaian upaya sungguh-sungguh untuk menetapkan hukum yang adil, karena menegakkan hukum yang adil adalah lebih utama daripada memperbanyak orang memeluk Islam.[11]
Kata (لو) lauw/sekiranya dalam firman-Nya: لو شاء الله lauw sya’a Allah/sekiranya Allah menghendaki, menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dikehendaki-Nya, karena kata lauw, tidak digunakan kecuali untuk mengandaikan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, yakni mustahil. Ini berarti, Allah tidak menghendaki menjadikan manusia semua sejak dahulu hingga kini satu umat saja, yakni satu pendapat, satu kecenderungan, bahkan satu agama dalam segala prinsip dan rinciannya. Karena, jika Allah swt menghendaki demikian, Dia tidak akan memberi manusia kebebasan memilah dan memilih, termasuk kebebasan memilih agama dan kepercayaan. Kebebasan memilih dan memilih itu dimaksudkan agar manusia dapat berlomba-lomba dalam kebajikan, dan demikian akan terjadi kreativitas dan peningkatan kualitas, karena hanya dengan perbedaan dan perlombaan yang sehat, kedua hal itu akan tercapai.
Dari penjelasan di atas kiranya dipahami juga bahwa ayat ini bukannya menafikan kehendak Allah menjadikan manusia satu, dalam arti satu keturunan, atau asal usul. Karena, manusia dalam hal kesatuan asal usul adalah satu. Yang demikian itu menjadi kehendak Allah SWT.
Firman Allah dalam QS Yunus: 19:
وَمَاكَانَ النَّاسُ إِلا أُمَّةًوَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا وَلَوْلاكَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ فِيمَا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.

Al Qur’an telah mengisyaratkan bahwa manusia telah berselisih sejak dahulu dan perselisihan dalam persoalan duniawi tidapak di pungkiri. Namun, perselisihan mengenai akidah menjadi keputusan yang ditangguhkan putusannya oleh Allah pada yang telah dipastikan.[12]
Firman Allah dalam QS Hud: 118-119:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ
Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.

Memang perselisihan dan perbedaan yang terjadi pada masyarakat manusia dapat menimbulkan kelemahan serta ketegangan antar mereka, tetapi dalam kehidupan ini ada perbedaan yang tidak dapat dihindari, yaitu ciri dan tabiat manusia yang pada gilirannya menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam banyak hal. Belum lagi perbedaan lingkungan dan perkembangan ilmu yang juga memperluas perbedaan mereka. Ini semua merupakan kehendak Allah dan itu diperlukan manusia bukan saja sebagai makhluk sosial, tetapi juga sebagai hamba Allah yang harus mengabdi kepada-Nya.
D.    Penutup
Pada prinsipnya dalam Islam manusia mendapat prioritas kesamaan, karena Islam menghormati manusia dan memuliakannya dasi segi statusnya sebagai manusia yaitu kalifatu fil ardli, tidak dari kategori yang lainnya yaitu manusia dari keturunan apapun dan dari warna apapun tanpa diskriminasi antara satu bangsa dengan bangsa yang lainnya, antara suku dengan suku yang lainnya, dan antara satu warna dengan warna yang lainnya. Di sisi lain, manusia memang kadang berbeda dalam kebangsaan dan suku mereka, kekayaan, jabatan maupun pangkat mereka. Akan tetapi perbedaan dan keterpautan yang disebut dengan multikultural ini tidakalah menjadikan seseorang pun dari mereka mempunyai nilai kemanusiaan lebih besar dibandingkan yang lainnya.
Islam sangat menghargai adanya perbedaan dan mengedepankan adanya toleransi pada umat manusia, baik kemajemukan bangsa dan suku, keragaman dan perbedaan pendapat ,kita diperintahkan untuk saling mengenal satu sama lain, karena sesungguhnya perbedaan adalah rahmat. Nilai manusia disisi Allah bukanlah dari bangsa atau suku, kekayaan, lidan dan atau wana kulit. Akan tetapi manusia yang mempunyai nilai kemuliaan menurut pandangan Allah adalah yang paling bertaqwa kepada-Nya.


DAFTAR PUSTAKA

al Maraghi, Ahmad Mustafa, Terjemah Tafsir al Maraghi, Semarang: Toha Putra, 1993.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, , Jakarta: Departemen Agama RI, 2009.
Djaelani, Bisri M., Ensiklopedi Islam, Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007.
Ibnu Katsir, Ismail, Tafsir Ibnu Katsir, penerj: Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000.
Imarah, Muhammad, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Pesatuan, penerj; Abdul Hayyie al Kattanie, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Shaleh, Qamarudin, HAA. Dahlan dan M.D. Dahlan, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al Qur’an, Bandung: Diponegoro, 1990.
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Suparta, Munzier, Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia, Jakarta: al Ghazali Center, 2008.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.


[1]Bisri M. Djaelani, Ensiklopedi Islam, (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), h. 90.
[2]Munzier Suparta, Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta: al Ghazali Center, 2008), h. 5.
[3]Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 1051.
[4]Multikulturalisme, www.wikipedia.com/multikulturalisme diakses tanggal 01 Januari 2012.
[5]Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Pesatuan, penerj; Abdul Hayyie al Kattanie, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 170.
[6]Ahmad Mustafa al Maraghi, Terjemah Tafsir al Maraghi, Juz XXVI, (Semarang: Toha Putra, 1993), h. 234.
[7]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 9, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 419.
[8]Qamarudin Shaleh, HAA. Dahlan dan M.D. Dahlan, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat al Qur’an, (Bandung: Diponegoro, 1990), h. 475.
[9]Departemen Agama RI, op.cit., h. 420.
[10]Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 104.
[11]Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 03, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 113.
[12]Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, penerj: Bahrun Abu Bakar, Juz XI, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000), h. 171.

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Zay Arief