Oleh:
Zaenal Arifin
A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang memandang setiap penganutnya sebagai
da’i bagi dirinya sendiri dan orang lain. Karena Islam menganut adanya hierarki
religius, setiap Muslim bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri di hadapan
Allah. Namun, karena ajaran Islam bersifat rahmatan li’alamin dan ditujukan kepada seluruh umat manusia, kaum Muslimin
memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa ajarannya sampai kepada seluruh
manusia di sepanjang sejarah.
Dalam bahasa Islam, tindakan menyebarkan dan mengomunikasikan
pesan-pesan Islam merupakan esensi dakwah. Dakwah adalah sebuah istilah teknis
yang pada dasarnya dipahami sebagai upaya untuk mengimbau orang lain ke arah
atau jalan yang lurus, yang sesuai dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah. Dakwah adalah setiap kegiatan yang
bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada
Allah SWT sesuai dengan akidah, syariat dan akhlak islamiyah.[1] Tujuan
utama dakwah ialah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan
di akhirat yang diridhai oleh Allah SWT, yakni dengan menyampaikan nilai-nilai
yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan sesuai dengan segi atau
bidangnya masing-masing.
Islam adalah agama universal yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan,
persamaan hak dan mengakui adanya keragaman latar belakang budaya dan kemajemukan
yang biasa disebut dengan multikultural. Multikultural menurut Islam adalah
sebuah sunnatullah yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin dilawan atau
diingkari. Setiap orang akan menghadapi kemajemukan dimanapun dan dalam hal
apapun.[2]
Hal ini menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai multikultural karena islam
adalah agama yang dengan tegas mengakui perbedaan setiap individu untuk hidup
bersama dan saling menghormati satu dengan yang lainnya.
Substansi dakwah perlu dikembangkan sebagai respon atas kondisi yang
dilatarbelakangi oleh keragaman budaya atau masyarakat multikultural.
Pengertian multikultural
sendiri, secara konsepsional ada dua perbedaan dengan makna yang saling
berkatian. Pertama, multikultural sebagai kondisi kemajemukan
kebudayaan atau pluralisme budaya dari suatu masyarakat.[3]
Kondisi ini diasumsikan dapat membentuk sikap toleransi. Kedua,
multikulturalisme merupakan seperangkat kebijakan pemerintah pusat yang
dirancang sedemikian rupa agar seluruh masyarakat dapat memberikan
perhatian kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku bangsa.[4]
Hal ini beralasan, karena bagaimanapun juga, semua kelompok etnik atau
suku bangsa telah memberi kontribusi bagi pembangunan suatu bangsa.
Peranan dan fungsi kitab suci al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi
Muhamamd SAW adalah sebagai landasan pokok ajaran agama Islam dalam semua sisi
kehidupan umatnya. Al Qur’an memberikan pedoman dan petunjuk tentang
prinsip-prinsip Islam yang menjadi intisari dakwah, tidak ketinggalan prinsip
dalam kehidupan sosio-kultural umat manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Segala aturan kehidupan bermasyarakat telah disampaikan oleh Rasulullah melalui
ayat-ayat al Qur’an dan sunnah Beliau dalam mengatur pola kehidupan pada masa di
Mekkah dan di Madinah sebagai pengajaran kepada umatnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik permasalahan
terkait jalan dakwah yang dapat ditempuh dalam menghadapi kondisi
mulktikultural di masyarakat, berangkat dari sumber utama ajaran Islam yaitu al
Qur’an. Ayat-ayat al Qur’an telah memberikan pengetahuan dan wawasan bagi
umatnya dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat dengan keragaman dan
kemajemukan yang berada didalamnya. Bagaimana dakwah multikultural menurut al
Qur’an? Diantaranya di dalam al Qur’an diterangkan adanya kemajemukan suku dan
bangsa (QS al Hujurat:13); keragaman dan perbedaan pendapat (al Ma’idah: 48; QS
Hud: 118-119; Yunus: 19).
B.
Kemajemukan Bangsa dan Suku
Allah SWT menciptakan manusia dengan bermacam-macam
perbedaan supaya bisa saling berinteraksi mengenal antara satu dengan yang
lainnya. Perbedaan bangsa dan suku tentu kan melahirkan bermacam budaya yang
ada di masyarakat. Berangkat dari perbedaan tersebut maka setiap budaya akan
mempunyai nilai atau norma tingkah laku yang terdapat di dalam masyarakat
bermacam-macam.[5]
Allah berfirman dalam QS al Hujurat: 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antarakamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Kata مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
artinya dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan maksudnya dari Adam dan Hawa. Manusia di alam
nyata ini adalah sama bahwa ayah mereka berasal dari Nabi Adam dan ibunya
adalah Hawa.[6]
Kata
شُعُوبًا merupakan bentuk jamak dari kata sya’b
yangbberarti bangsa, yang terdiri dari beberapa suku atau kabilah yang
bersepakat untuk bersatu di bawah aturan-aturan yang disepakati bersama.
Kata
قَبَائِلَ merupakan
bentuk jamak dari kata qabilah yang berarti kabilah atau suku. Biasanya
kata qabilah atau suku didasarkan pada banyaknya keturunan yang menjadi
kebanggaan.[7]
Adapun sebab turunnya
ayat di atas, diriwayatkan bahwa ketika Fathu Makkah Bilal naik ke atas Ka’bah
untuk adzan. Berkatalah beberapa orang: “Apakah pastas budak hitam adzan di
atas Ka’bah?”. Maka berkatalah lainnya: “Sekiranya Allah membenci orang in,
pasti Allah akan menggantinya”. Ayat ini turun sebagai penegasan bahwa dalam
Islam tidak ada diskriminasi, dan yang paling mulia adalah yang paling taqwa.
Dalam riwayat
lain, ayat di atas turun berkenaan dengan Abi Hindin akan dikawinkan oleh
Rasulullah kepada seorang wanita Bani Bayadlah. Bani Bayadlah berkata: “Wahai
Rasulullah pantaskah kalau kami mengawinkan putri-putri kami kepada budak-budak
kami?”. Ayat di atas turun sebagai penjelasan bahwa dalam Islam tidak ada
perbedaan antara bekas budak dengan orang merdeka.[8]
Ayat di atas
menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan
seorang perempuan (Hawa) dan menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku bukan
untuk saling mencemoohkan, tetapi supaya saling mengenal dan menolong. Allah
tidak emnyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan,
kepangkatan, atau kekayaannya karena yang paling mulia diantara manusia di sisi
Allah hanyalah orang yang paling bertaqwa kepada-Nya. Kebiasaan yang kita
lihat, manusia memandang kemuliaan itu selalu bertolak ukur dengan kebangsaan
dan kekayaan. Padahal menurut pandangan Allah, orang yang paling mulia itu
adalah orang yang paling betaqwa.[9]
Jadi, jika kamu hendak berbangga maka banggakanlah
ketaqwaanmu kepada-Nya. Sebagaimana misi ajaran Islam adalah saling menghargai,
menghormati dan saling menyanyangi dalam segi sosial mendapat perlakuan yang
sama.
Firman Allah dalam QS ar Ruum: 22
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافُ
أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ
Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan
warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Tidak ada
kelebihan bagi orang Arab atas orang yang bukan Arab, dan orang kulit putih
atas orang yang berkulit hitam, kecuali siapa diantara mereka yang paling
bertaqwa.” (HR. Muslim).[10]
Sesungguhnya
Al-Qur’an mengakui eksistensi bangsa dan suku sebagai realitas nyata bentuk
berkelompoknya ummat manusia. Namun Allah tidak pernah menyuruh manusia untuk
menjadikan faktor bangsa atau suku sebagai sumber perekat apalagi kebanggaan
dan kemuliaan. Allah jelas menekankan bahwa yang sepatutnya menjadi sebab
kemuliaan ialah berlombanya seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam hal
bertaqwa kepada Allah swt.
Allah
tidak menghendaki kecuali agar orang-orang beriman menjadikan Zat-Nya sebagai
pemersatu hubungan satu sama lain. Dan hendaknya janganlah kita berfikir bahwa
kekayaan dunia dapat menyebabkan bersatunya hati di antara sesama mukmin. Artinya, marilah kita jadikan
semangat beribadah, beramal sholeh, berkomitmen dan loyal kepada ajaran Islam
sebagai satu-satunya faktor yang mempersatukan kita, bukan selain itu. Jangan
hendaknya menyangka bahwa faktor kekayaan, kekuasaan, kesamaan qobilah, suku
atau bangsa, lidah (lisan) ,
warna kulit dapat menjadi faktor pengikat hubungan hati sesama orang
beriman. Itu semua hanyalah bentuk pengikat yang bersifat fatamorgana dan
palsu. Kalaupun bisa terlihat menyatu, maka itu hanyalah bentuk persatuan
artifisial, sebatas keakraban selagi masih di dunia atau selagi berbagai faktor
duniawi tersebut masih ada. Namun begitu faktor-faktor duniawi tersebut sudah
meninggalkan mereka, maka segera akan terjadi konflik bahkan saling salah
menyalahkan satu sama lain
C.
Keragaman dan Perbedaan Pendapat
Islam memberikan
penjelasan-penjelasan yang jelas akan pentingnya membina hubungan baik antara
muslim dengan muslim dan muslim dengan non-muslim.
Islam begitu menekankan akan pentingnya saling menghargai, saling menghormati
dan berbuat baik walaupun kepada umat yang lain dalam berbeda pendapat.
Allah berfirman dalam QS Al Maidah: 48
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ
أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا
الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ
فِيهِ تَخْتَلِفُون
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan.Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Ayat di atas menurut Thahir ibnu ‘Asyur sebagaimana yang dikutip oleh
Quraish Shihab menyebutkan bahwa, ayat di atas merupakan peringatan yang
ditunjukan kepada Rasulullah saw, dalam keadaan beliau menghadapi dua pihak
bersengketa yang masing-masing memiliki argumen kuat dan sulit dipilih mana
yang lebih kuat. Ketika itu Rasul saw diperingatkan agar sampai keinginan atau hawa nafsu salah satu pihak yang menjadi
dasar penguatan dan pemenangannya. Hal ini, karena seperti diketahui, Rasululullah
saw sangat ingin agar semua orang memeluk Islam, dan boleh jadi dengan memberi
putusan yang mendukung salah satu pihak, dapat mendorong mereka untuk beriman. Ayat
ini mengingatkan Rasul agar jangan sampai keinginan beliau itu mengantar kepada
pengabaian upaya sungguh-sungguh untuk menetapkan hukum yang adil, karena
menegakkan hukum yang adil adalah lebih utama daripada memperbanyak orang
memeluk Islam.[11]
Kata (لو) lauw/sekiranya
dalam firman-Nya: لو شاء الله lauw sya’a
Allah/sekiranya Allah menghendaki, menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dikehendaki-Nya, karena kata lauw, tidak
digunakan kecuali untuk mengandaikan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, yakni
mustahil. Ini berarti, Allah tidak menghendaki menjadikan manusia semua sejak
dahulu hingga kini satu umat saja, yakni satu pendapat, satu kecenderungan,
bahkan satu agama dalam segala prinsip dan rinciannya. Karena, jika Allah swt
menghendaki demikian, Dia tidak akan memberi manusia kebebasan memilah dan
memilih, termasuk kebebasan memilih agama dan kepercayaan. Kebebasan memilih
dan memilih itu dimaksudkan agar manusia dapat berlomba-lomba dalam kebajikan,
dan demikian akan terjadi kreativitas dan peningkatan kualitas, karena hanya
dengan perbedaan dan perlombaan yang sehat, kedua hal itu akan tercapai.
Dari penjelasan di atas kiranya dipahami juga bahwa ayat ini bukannya menafikan
kehendak Allah menjadikan manusia satu, dalam arti satu keturunan, atau asal
usul. Karena, manusia dalam hal kesatuan asal usul adalah satu. Yang demikian
itu menjadi kehendak Allah SWT.
Firman Allah dalam QS Yunus: 19:
وَمَاكَانَ
النَّاسُ إِلا أُمَّةًوَاحِدَةً فَاخْتَلَفُوا وَلَوْلاكَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ
رَبِّكَ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ فِيمَا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
Manusia dahulunya hanyalah satu
umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang
telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara
mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu.
Al Qur’an telah mengisyaratkan bahwa manusia telah
berselisih sejak dahulu dan perselisihan dalam persoalan duniawi tidapak di
pungkiri. Namun, perselisihan mengenai akidah menjadi keputusan yang
ditangguhkan putusannya oleh Allah pada yang telah dipastikan.[12]
Firman Allah dalam QS Hud: 118-119:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا
يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ
Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia
menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi
rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.
Memang perselisihan dan perbedaan yang terjadi pada
masyarakat manusia dapat menimbulkan kelemahan serta ketegangan antar mereka,
tetapi dalam kehidupan ini ada perbedaan yang tidak dapat dihindari, yaitu ciri
dan tabiat manusia yang pada gilirannya menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam
banyak hal. Belum lagi perbedaan lingkungan dan perkembangan ilmu yang juga
memperluas perbedaan mereka. Ini semua merupakan kehendak Allah dan itu
diperlukan manusia bukan saja sebagai makhluk sosial, tetapi juga sebagai hamba
Allah yang harus mengabdi kepada-Nya.
D.
Penutup
Pada prinsipnya dalam Islam manusia mendapat prioritas
kesamaan, karena Islam menghormati manusia dan memuliakannya dasi segi
statusnya sebagai manusia yaitu kalifatu fil ardli, tidak dari kategori
yang lainnya yaitu manusia dari keturunan apapun dan dari warna apapun tanpa
diskriminasi antara satu bangsa dengan bangsa yang lainnya, antara suku dengan
suku yang lainnya, dan antara satu warna dengan warna yang lainnya. Di sisi lain,
manusia memang kadang berbeda dalam kebangsaan dan suku mereka, kekayaan,
jabatan maupun pangkat mereka. Akan tetapi perbedaan dan keterpautan yang
disebut dengan multikultural ini tidakalah menjadikan seseorang pun dari mereka
mempunyai nilai kemanusiaan lebih besar dibandingkan yang lainnya.
Islam sangat menghargai adanya perbedaan dan
mengedepankan adanya toleransi pada umat manusia, baik kemajemukan bangsa dan
suku, keragaman dan perbedaan pendapat ,kita diperintahkan untuk saling
mengenal satu sama lain, karena sesungguhnya perbedaan adalah rahmat. Nilai
manusia disisi Allah bukanlah dari bangsa atau suku, kekayaan, lidan dan atau
wana kulit. Akan tetapi manusia yang mempunyai nilai kemuliaan menurut
pandangan Allah adalah yang paling bertaqwa kepada-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
al Maraghi, Ahmad Mustafa,
Terjemah Tafsir al Maraghi, Semarang: Toha Putra, 1993.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an
dan Tafsirnya, , Jakarta:
Departemen Agama RI, 2009.
Djaelani,
Bisri M., Ensiklopedi Islam, Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007.
Ibnu Katsir, Ismail, Tafsir Ibnu Katsir, penerj: Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000.
Imarah,
Muhammad, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai
Pesatuan, penerj; Abdul Hayyie al Kattanie, Jakarta: Gema Insani Press,
1999.
Nata,
Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Shaleh,
Qamarudin, HAA. Dahlan dan M.D. Dahlan, Asbabun Nuzul: Latar Belakang
Historis Turunnya Ayat-Ayat al Qur’an, Bandung: Diponegoro, 1990.
Shihab, Quraish, Tafsir
Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Suparta,
Munzier, Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi atas Pendidikan
Agama Islam di Indonesia, Jakarta: al Ghazali Center, 2008.
Tim Penyusun Kamus
Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa,
2008.
[1]Bisri M.
Djaelani, Ensiklopedi Islam, (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), h. 90.
[2]Munzier
Suparta, Islamic Multicultural Education: Sebuah Refleksi atas Pendidikan
Agama Islam di Indonesia, (Jakarta: al Ghazali Center, 2008), h. 5.
[5]Muhammad
Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai
Pesatuan, penerj; Abdul Hayyie al Kattanie, (Jakarta: Gema Insani Press,
1999), h. 170.
[6]Ahmad Mustafa al Maraghi, Terjemah
Tafsir al Maraghi, Juz XXVI, (Semarang: Toha Putra, 1993), h. 234.
[7]Departemen Agama RI,
Al-Qur’an
dan Tafsirnya,
Jilid 9, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 419.
[8]Qamarudin
Shaleh, HAA. Dahlan dan M.D. Dahlan, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-Ayat al Qur’an, (Bandung: Diponegoro, 1990), h. 475.
[9]Departemen
Agama RI, op.cit., h. 420.
[10]Abudin
Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h.
104.
[11]Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 03, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), h. 113.
[12]Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, penerj: Bahrun Abu Bakar, Juz XI, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000), h. 171.
0 komentar:
Posting Komentar