Oleh : Zaenal Arifin
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagaimana
diketahui bahwa masyarakat merupakan salah satu miniatur pemerintahan sebuah
negara. Karena di masyarakatlah sebuah sistem keteraturan diberlakukan. Sistem
keteraturan yang dimaksud adalah tata nilai yang masih dipertahankan seperti
etika dan moral dalam cakupan agama.
Bersentuhan
dengan nilai dalam ajaran agama, maka masyarakat perlu mengetahui dan mengerti
dengan benar persepsi terhadap penyampai ajaran agama tersebut. Secara
sederhana dalam Islam penyampaian ajaran agama biasanya disebut dakwah dan
orang yang berperan sebagai penyampai ajarannya disebut da’i.[1]
Realita sosial menunjukan bahwa banyak para da’i
mengalami kegagalan dalam berdakwah, baik itu di lingkungan sang da’i sendiri
maupun di tempat yang lain. Hal ini bisa terjadi karena sebagian da’i tersebut
belum mampu membekali dirinya dengan sifat-sifat dai yang dapat diterima oleh
masyarakat. Hal ini mesti dipahami oleh seorang da’i sebelum ia terjun ke
lapangan dan wajib bagi seorang da’i untuk mengetahui dengan benar bagaimana
keadaan objek dakwah, baik dari karakter maupun kebiasaannya bahkan status
sosialnya sekalipun. Agar kita tidak salah langkah dalam bersikap di tengah
masyarakat.
Kita bisa menilai betapa pentingnya sifat-sifat dai
untuk kelancaran dakwah, sehingga Allah swt. memberikan penjelasan terkait
dengan sifat dai dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang berbeda-beda. Sebagai seorang da’i harus memahami
bagaimana nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits menuntun seorang da’i dengan bekal
ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat dai. Karena pemahaman sifat-sifat dai
sangatlah penting, mengingat sikap mad’u terhadap sang da’i sangat berusaha
untuk mengidentikkan diri mereka sebaik da’i bertingkah laku dalam
kesehariannya.
Di dalam al Qur’an, menerangkan beberapa sifat-sifat
dai yang dibutuhkan bagi seorang dai sebagai modala utama dalam kegiatan
berdakwahnya. Agar daia tersebut mampu mengajak dan menyerukan nilai-nilai
dakwah kepada mad’u dapat diterima dengan baiak, sehingga tujuan dakwah itu
sendiri akan lebih mudah tersampaikan. Diantara sifat dai yang diterangkan
dalam al Qur’an, antara lain dai yang berwawasan luas, dai yang amanat dan
adil, dai yang selektif terhadap berita, dan dai yang toleran terhadap suatu
kaum.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba merumuskan
masalah yang akan diuraikan lebih lanjut, yaitu Bagaimana
sifat-sifat dai yang diteranglan di dalam al Qur’an? Diantaranya:
1.
Bagaimana
seorang dai yang berwawasan luas menurut al Qur’an?
2.
Bagaimana seorang dai yang amanat dan adil menurut al
Qur’an?
3.
Bagaiamana
seorang dai harus selektif terhadap berita menurut al Qur’an?
4.
Bagaiamana
seorang dai harus toleran terhadap suatu kaum menurut al Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dai
yang Berwawasan Luas
Dakwah dalam Islam
merupakan tugas yang sangat mulia, merupakan tugas para Nabi dan Rasul, juga
merupakan tanggung jawab setiap muslim. Dakwah bukanlah pekerjaan yang mudah,
semudah membalikan telapak tangan, juga tidak dapat dilakukan oleh sembarang
orang. Seorang dai harus mempunyai persiapan yang matang baik dari segi
keilmuan atau dari segi akhlaq. Sangat sulit dibayangkan bahwa suatu dakwah
akan berhasil, jika seorang dai tidak mempunyai ilmu pengetahuan yang memadai
dan bertingkah laku buruk baik secara pribadi ataupun sosial.
Sosok dai tauladan yang
memiliki kepribadian sangat tinggi dan tak pernah kering digali adalah pribadi
Rasulullah Saw. Ketinggian kepribadian Rasulullah Saw dapat dilihat dari
pernyataan al-Qur’an, pengakuan Rasulullah Saw sendiri, dan kesaksian sahabat
yang mendampinginya.[2]
Allah berfirman
dalam QS Al-Mujadalah:11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي
الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا
فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا
الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu,
maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Menurut pendapat as-Sa’labi, kata tafassahu dalam
al-Qur’an disebut hanya sekali ini. Ia merupakan fi’il amr (kata kerja yang menunjukkan perintah), dari tafassaha-yatafassahu-tafassuhan, yang artinya tawassa’u (berilah keluasan). Perintah serupa itu biasanya
ditujukan kepada orang-orang yang hadir dalam suatu tempat dalam situasi
berdesak-desakan, agar melonggarkan diri, atau memberi kesempatan kepada orang
lain untuk masuk, sehingga memperoleh kesempatan untuk duduk atau berada di
tempat itu. Orang-orang yang hadir terlebih dahulu diminta melonggarkan tempat
yang telah ditempati, untuk ditempati orang-orang yang baru datang yang
kedudukan dan martabatnya lebih terpandang di lingkungan masyarakat setempat. Tafassaha kata dasarnya al-fash yang artinya luas, longgar,
lapang. Jadi, tafassahu artinya
berikan keluasan, atau kelapangan tempat untuk orang yang baru datang.
Sedangkan kata unsyuzu adalah fi’il amr (kata kerja yang menunjukkan perintah), dari nasyaza-yansyuzu-nasyza. An-nasyzu dalam
kamus artinya kana qa’idan faqama (dalam
keadaan duduk lalu berdiri). Perintah unsyuzu
ditujukan kepada orang-orang yang dalam keadaan duduk agar mereka berdiri
menyerahkan tempat duduknya kepada orang lain, untuk menghormati orang yang
baru datang. Pengertian yang dimaksud dari perintah unsyuzu adalah berdirilah, bergeser, dan berikan kelonggaran kepada
saudara-saudaramu.
Pada ayat-ayat yang sebelumnya,
Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar menghindari diri dari perbuatan
berbisik-bisik dan perundingan rahasia, karena hal itu akan menimbulkan rasa
tidak enak kepada kaum Muslimin lainnya yang tidak ikut, kecuali jika hal itu
sangat perlu dilakukan untuk melakukan perbuatan kebajikan dan perbuatan taqwa.
Dalam ayat berikut ini diterangkan cara-cara yang dapat menimbulkan rasa
persaudaraan di dalam suatu pertemuan, seperti memberi tempat kepada
teman-teman yang baru datang jika tempat masih memungkinkan.
Adapun sabab nuzul
ayat di atas, ada riwayat yang mengatakan bahwa ayat di atas turun pada hari jumat. Ketika itu Rasul saw berada di
satu tempat yang sempit, dan telah menjadi suatu kebiasaan beliau memberi
tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam perang Badr, karena besarnya jasa mereka. Ketika majlis tengah
berlangsung, beberapa orang diantara sahabat-sahabat tersebut hadir, lalu
mengucapkan salam kepada Rasul saw. Rasul pun menjawab, selanjutnya mengucapkan
salam kepada hadirin, yang juga dijawab, namun mereka tidak memberi tempat.
Para sahabat itu terus saja berdiri, maka rasul memerintahkan kepada
sahabat-sahabat yang lain-yang tidak terlibat dalam perang Badr untuk mengambil tempat lain agar para sahabat yang berjasa itu
duduk di dekat rasul. Perintah rasul itu, mengecilkan hati mereka yang disuruh
berdiri, dan ini digunakan oleh kaum munafikin untuk memecah belah dengan
berkata: Katanya Muhammad berlaku adil,
tetapi ternyata tidak. Rasul mendengar kritik itu bersabda: Allah merahmati siapa yang memberi
kelapangan bagi saudaranya. Kaum beriman menyambut tuntunan rasul dan ayat
di atas pun turun mengukuhkan perintah dan sabda rasul itu.
Apa yang dilakukan Rasul saw
terhadap sahabat-sahabat beliau yang memiliki jasa besar itu, dikenal juga
dalam pergaulan internasional dewasa ini. Kita mengenal ada yang dinamai
peraturan protokoler, di mana penyandang kedudukan terhormat memiliki
tempat-tempat terhormat di samping Kepala Negara, karena memang seperti penegasan dalam al-Qur’an surah an-Nisa: 95 dan surah al-Hadid: 10.[3]
Ayat di atas memberikan
penjelasan bahwa jika di antara kaun Muslimin ada yang diperintahkan Rasulullah
saw berdiri untuk memberikan kesempatan kepada orang tertentu untuk duduk, atau
mereka diperintahkan pergi dahulu, hendaklah mereka berdiri atau pergi, karena
beliau ingin memberikan penghormatan kepada orang-orang itu, ingin menyendiri
untuk memikirkan urusan-urusan agama, atau melaksanakan tugas-tugas yang perlu
diselesaikan dengan segera.[4]
Jika
dipelajari maksud ayat di atas, ada suatu ketetapan yang ditentukan ayat ini,
yaitu orang-orang menghadiri suatu majelis baik yang datang pada waktunya atau
yang terlambat, selalu menjaga suasana yang baik, penuh persaudaraan dan saling
bertenggang rasa. Bagi yang lebih dahulu datang, hendaklah memenuhi tempat di
muka, sehingga orang yang datang kemudian tidak perlu melangkahi atau
mengganggu orang yang telah lebih dahulu hadir. Bagi orang yang terlambat
datang, hendaklah rela dengan keadaan yang ditemuinya, seperti tidak ada tempat
duduk.
Ayat di
atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang
berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat yakni yang
lebih tinggi dari yang sekadar beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan itu,
sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperanan
besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di
luar ilmu itu.
Tentu
saja yang dimaksud dengan alladzina utu
al-‘ilm/yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan menghiasi
diri mereka dngan pengetahuan. Ini berarti ayatdi atas membagi kaum beriman
kepada dua kelompok besar, yang pertama sekadar beriman dan beramal saleh, dan
yang kedua beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat
kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang
disandangnya, tetapi juga amal pengajarannya kepada pihak lain baik secara
lisan, atau tulisan maupun dengan keteladanan.
Syaikh Mustafa Mansur,
dalam bukunya Fiqhud Dakwah menjelaskan bahwa seorang dai mesti memiliki
wawasan berfikir yang mencakup tiga aspek dasar. Pertama, memahami Islam
secara betul dan menyeluruh yang memungkinkan da’i dapat melaksanakan Islam
dengan pelaksanaan yang benar terhadap dirinya, dan dengan itu pula ia dapat
menyampaikan Islam dengan baik kepada orang lain. Kedua, para dai mesti
mengetahui kondisi dan situasi dunia islam dulu dan sekarang, mengetahui
peristiwa-peristiwa aktual yang mempengaruhi kaum muslimin, mengetahui siapakah
golongan yang bergerak dibidang dakwah, kecenderungan dan cara-cara mereka,
bagaimana bentuk kerjasama yang bisa dilakukan dengan mereka. Ketiga,
para dai harus menyampaikan untuk memantapkan speliasasi ilmu yang berkaitan
dengan urusan hidup manusia seperti kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi dan
lain-lain. Seorang calon dai harus meningkatkan profesioanalismenya dalam
bidang bidang keilmuan yang digelutinya.[5]
Seorang dai mestilah
melengkapi dirinya dengan ilmu pengetahuan agar pekerjaanya dapat mencapai
hasil efektif dan efisien. Pengetahuan seorang dai meliputi pengetahuan yang
berhubungan dengan materi dakwah yang disampaikan dan ilmu pengetahuan
yang erat hubungannya dengan teknik-teknik dakwah. Sekurang-kurangnya seorang dai
harus memiliki kapasitas ilmu pengetahuan tentang al-Qur’an dan Hadits. Kita
mengetahui bersama bahwa al-Qur’an mempunyai fungsi sebagai petunjuk hidup (hudan),
nasihat bagi yang membutuhkan (mau’idzah) dan pelajaran (‘ibarat)
yang oleh karena itu selalu menjadi rujukan dalam menghadapi setiap
permasalahan. Tentang Sunnah, seorang dai minimal harus mengetahui keshahihan
suatu hadits, selain itu perlu juga untuk mengetahui riwayat hidup nabi, para
sahabat dan sebagian besar ulama salaf. Seorang dai sedikit banyak juga harus
mengetahui hukum islam dan metodologi penetapan hukum yang bersifat praktis.
Untuk menjadikan pesan dakwah
sampai secara tepat kepada mad’u, seorang dai juga harus memiliki pengetahuan
yang memadai tentang semua hal yang berhubungan dengan mad’u baik bahasa,
psikologis, budaya dan temperamen mad’u.
B.
Dai yang amanah dan adil
Amanah adalah sebuah
kata yang telah dikenal oleh hampir semua orang. Bagi yang telah mengenal kata amanah
mungkin sudah tahu apa itu arti atau makna dari kata amanah tersebut. Namun
masih banyak yang tidak tahu sama sekali dan ada juga hanya tahu maknanya
secara samar-samar. Apa yang disebut dengan amanah
adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan
dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya.
Dalam agama Islam, dai harus mempunyai sikap seperti inilah yang dinamakan
shiddiq dalam mengemban tugas dakwahnya. Makanya amanah itu ber-nilai tak
terhingga.
Sedangkan kata adil
sering disinonimkan dengan kata al musawah (persamaan) dan al qisth
(seimbang) dan kata adil dilawankan dengan kata dzalim. Prinsip ini benar-benar
merupakan akhlak mulia yang sangat ditekankan dalam syari’at Islam terutama
seorang dai, sehingga wajar kalau tuntunan agama semuanya dibangun di atas
dasar keadilan dan seluruh lapisan manusia diperintah untuk berlaku adil. Adil
adalah memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya tanpa ada
pengurangan, dan meletakkan segala urusan pada tempat yang sebenarnya tanpa ada
aniaya, dan mengucapkan kalimat yang benar .
Allah
berfirman dalam QS an-Nisa: 58
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى
أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ
اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.
Pada ayat yang sebelumnya
(an-Nisa:57) diterangkan besarnya pahala dan balasan bagi orang-orang yang
beriman dan beramal saleh, maka pada ayat-ayat ini diterangkan bahwa di antara
amal-amal saleh yang penting adalah melaksanakan amanat dan menetapkan hukum
antara manusia dengan adil dan jujur.
Adapun sabab nuzul
ayat di atas, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa setelah Rasulullah saw
memasuki kota Mekkah pada hari pembebasannya, Usman bib Talhah pengurus Ka’bah
pada waktu itu menguasai pintu Ka’bah. Ia tidak mau memberikan kunci Ka’bah
kepada Rasulullah saw. Kemudian Ali bin Abi Thalib merebut kunci Ka’bah itu
dari Usman bin Talhah secara paksa dan membuka Ka’bah, lalu Rasulullah masuk ke
dalam Ka’bah dan shalat dua raka’at. Setelah beliau keluar dari Ka’bah
tampillah paman Abbas ke hadapannya dan meminta agar kunci itu diserahkan
kepadanya dan meminta diberi jabatan pemeliharaan Ka’bah dan jabatan penyediaan
air untuk jamaah haji, maka turunlah ayat ini, lalu Rasulullah saw
memerintahkan Ali bin Abi Thalib mengembalikan kunci Ka’bah jepada Usman bin
Talhah dan meminta maaf kepadanya atas perbuatannya merebut kunci itu secara
paksa.
Surah an-Nisa ayat 58 di
atas, memerintahkan agar menyampaikan amanat kepada yang berhak. Pengertian
amanat dalam ayat ini, ialah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang untuk dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya. Kata amanat dengan pengertian ini sangat luas, meliputi amanat
Allah kepada hamba-Nya, amanat seseorang kepada sesamanya dan terhadap dirinya
sendiri.[6]
Amanat Allah terhadap
hamba-Nya yang harus dilaksanakan antara lain: melaksanakanapa yang
diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Semua nikmat Allah berupa apa saja
hendaklah kita manfaatkan untuk taqqarub (mendekatka diri) kepada-Nya.
Amanat seseorang terhadap
sesemanya yang harus dilaksanakan antara lain: memgembalikan titipan kepada
yang punya dengan tidak kurang satu apapun, tidak menipunya, memelihara rahasia
dan lain.
Sedangkan
amanat seseorang terhadap dirinya sendiri, seperti berbuat sesuatu yang
menguntungkan dan bermanfaat bagi dirinya dalam soal dunia dan agamanya.
Janganlah ia membuat hal-hal yang
membahayakannya di dunia dan di akhirat, dan lain-lainnya.
Agama
mengajarkan bahwa amanah/kepercayaan adalah asas keimanan berdasarkan sabda
Nabi saw. Tidak ada iman bagi yang memiliki amanah. Selanjutnya, amanah yang
merupakan lawan dari khianat adalah sendi utama interaksi. Amanah tersebut
membutuhkan kepercayaan dan kepercayaan itu melahirkan ketenangan batin yang
selanjutnya melahirkan keyakinan.[7]
Ajaran
yang sangat baik ini yaitu melaksanakan amanah dan hukum dengan seadil-adilnya,
jangan sekali-kali diabaikan tetapi hendaklah diindahkan, diperhatikan dan
diterapkan dalam kehidupan kita, untuk dapat mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat.
C.
Dai yang selektif dalam berita
Seorang dai mestilah
berhati-hati dari terjebak pada sikap terburu-buru atau tergesa-gesa, sikap
kaku dan keras. Wajib atas dai untuk bersabar, wajib untuk bijak dalam dakwah. Allah berfirman dalam QS al-Hujurat:6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ
فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا
فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Kata Fatabayyanu artinya
maka periksalah dengan teliti. Kata jadiannya(masdar) adalah tabayyun.
Akar katanya adalah ba’-ya’-nun yang
artinya berkaisar pada jauhnyasesuatu dan terbuka. Dari sini muncul arti jelas.
Talaq ba’in adalah talak ketiga yang
sudah jelas, tidak bisa dirujuk kembali. Bayyinah adalah bukti karena bisa
menjelaskan kepada yang sedang berpekara. Ayat ini menjelaskan bahwa jika ada
kabar yang datang dari orang yang fasik hendaknya diperiksa terlebih dahulu, sampai
jelas apakah benar atau tidak. Pada bacaan lain yang mutawatir, kata ini dibaca fatasabbatu
terambil dari kata dasar subut artinya tetap. Sehingga artinya maka carilah
ketetapan. Bacaan pertama dan kedua saling menguatkan, yaitu bahwa seseorang
tidak begitu saja menerima kabar dari orang lain yang patut dicurigai seperti
orang fasik, tetapi hendaklah selalu mencari kejelasan dan ketetapan atas kabar
tersebut, terlebih lagi kabarnya berupa kabar yang penting. Semua bertujuan
agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Pada
ayat-ayat yang lalu, Allah memberikan pelajaran kesopanan dalam pergaulan
dengan Nabi Muhammad. Pada ayat-ayat
berikut ini Allah memberikan pedoman tentang penerimaan berita dari seseorang.
Setiap berita yang diterima harus diselidiki dahulu sumbernya sebab mungkin
hanya dapat bersifat provokasi atau fitnah, atau pemutarbalikan keadaan
sehingga dapat menimbulkan akibat yang buruk, yang membawa penyesalan karena
bisa menimbulkan korban yang sebenarnya dapat dihindari sekiranya berita itu
diselidiki dahulu kebenarannya.
Adapun sabab
nuzul ayat di atas, diriwayatkan oleh Ibnu ’Abbas bahwa ayat keenam ini diturunkan karena peristiwa al-Walid bin Abi Mu’ait yang diutus
oleh Rasulullah kepada kabilah Bani
al-Mustaliq untuk memungut zakat dari mereka. Tatkala berita itu sampai
kepada Bani al-mustaliq, mereka gembira sekali sehingga beramai-ramai keluar
dari kampung halaman mereka untuk menjemput kedatangan utusan itu. Sebelum
sampai ke sana, ada seorang munafik memberitahukan kepada al-Walid yang sedang
dalam perjalanan menuju Bani al-Mustaliq bahwa mereka telah murtad, menolak,
dan tidak mau membayar zakat. Bahkan mereka itu teleh mengadakan demontrasi dan
berhimpun diluar kota untuk mencegat kedatangannya. Setelah al-Walid menerima
berita itu, segera ia kembali ke Madinah dan melaporkan keadaan Bani
al-Mustaliq kepada Rasulullah saw beliau sangat marah mendengar berita yang
buruk itu dan menyiapkan pasukan tentara untuk menhadapi orang-orang dari
kabilah Bani al-mustaliq yang dianggap menbangkang itu.
Sebelum
tentara itu diberangkatkan, suadah datang utusan dari Bani al-Mustaliq
menghadap kepada Rasulullah saw seraya berkata Ya Rasulullah, kedatangan kami ke
sini adalah untuk bertanya mengapa utusan Rasulullah saw tidak sampai kepada
kami untuk memungut zakat, bahkan kembali dari tengah perjalanan? Kami
mempunyai dugaan bahwa timbul salah pengertian diantara utusanmu dengan kami
yang menyebabkan timbulnya keruwetan ini. Maka turunlah ayat ini.
Dalam
ayat ini Allah memberitakan peringatan kepada kaum mukminin, terutama seorang
dai, jika datang kepada mereka seorang fasik membawa berita tentang apa saja,
agar tidak tergesa-gesa menerima berita itu sebelum diperiksa dan diteliti
dahulu kebenaraannya. Sebelum diadakan penelitian yang seksama jangan cepat
percaya kepada berita dari orang fasik, karena seorang yang tidak memperdulikan
kefasikannya, tentu juga tidak akan memperdulikan kedustaan berita yang
disampaikannya. Perlunya berhati-hati dalam menerima berita adalah untuk
menghindarkan penyesalan akibat berita yang tidak diteliti atau berita bohong
itu. Penyesalan yang akan timbul sebenarnya dapat dihindari jika bersikap lebih
hati-hati.[8]
Ayat ini
memberikan pedoman bagi dai supaya berhati-hati dalam menerima berita, terutama
jika bersumber dari seorang yang fasik. Maksud yang terkandung dalam ayat ini
adalah agar diadakan penelitian dahulu mengenai kebenarannya. Mempercayai suatu
berita tanpa diselidiki kebenarannya, besar kemungkinan akan membawa korban
jiwa dan harta yang sia-sia, yang hanya menimbulkan penyesalan belaka.
D.
Dai yang
Toleran
Islam
memberikan penjelasan-penjelasan yang jelas akan pentingnya membina hubungan
baik antara muslim dengan non-muslim. Islam begitu menekankan akan pentingnya
saling menghargai, saling menghormati dan berbuat baik walaupun kepada umat
yang lain. Allah berfirman
dalam QS al-Hujurat:11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ
قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى
أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا
بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ
فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok
kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari
mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok)
wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan)
lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu
sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.
Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang
siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.
Kalimat talmizu berasal dari akar kata lamaza-yalmizu-lamzan yang berarti
memberi isyarat disertai bisik-bisik dengan maksud mencela. Ejekan ini biasanya
langsung ditujukan kepada seseorang yang diejek, baik dengan isyarat mata,
bibir, kepala, tangan, atau kata-kata
yang dipahami sebagai ejekan. Dalam at-Taubah:58
kalimat yalmizuka diartikan dengan
mencela,begitu juga dalam at-Taubah:79
dan al-Humazah:1. Sebagian ulama
menganggap bahwa kata lumazah dan humazah adalah mutaradif. Rajul lammaz
atau imra’at lumazah berarti
seseorang yang suka mengumpat dan mencela. Dalam ayat ini, Allah menjelaskan tentang larangan melakukan
lamz terhadap diri sendiri(talmizu
anfusakum), padahal yang dimaksud adalah orang lain. Pengungkapan kalimat
anfusakum dimaksud bahwa antara sesama mausia adalah saudara dan satu kesatuan,
sehingga apa yang diderita oleh saudara kita artinya juga diderita oleh diri
kita sendiri. Maka siapa yang mencela atau mengejek orang lain sesungguhnya dia
telah mengejek dirinya sendiri. Kalimat ini juga dapat diartikan agar tidak
melakukan suatu tindakan yang membuat orang lain mengejek dirinya.
Tanabazu berasal
dari akar kata nabaza-yanbizu-nabzan
yang berarti memberi julukan dengan maksud mencela. Bentuk jamaknya adalah anbaz. Tanabazu melibatkan dua
pihak yang saling memberikan julukan. Tanabazu lebih sering digunakan untuk
pemberian gelar yang buruk. Maksudnya dari tanabuza hampir sama dengan al-lamz yaitu mencela, hanya dalam tanabazu ada makna keterusterangan dan
timbal balik. Seseorang yang melakukan lamz
belum tentu di hadapan orang yang dicelanya, tetapi kalau tanabazu dilakukan dengan terang-terangan dihadapan yang
bersangkutan memanggil gengan panggilan yang buruk. Hal ini tentu saja
mengundang siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu akan membalas
dengan panggilan serupa atau lebih burk lagi, sehingga terjadilah tanabazu.
Adapun sabab nuzul ayat di
atas, diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan tingkah laku
kabilah Bani Tamim yang pernah berkunjung kepada Rasulullah saw, lalu mereka
memperolok-olok beberapa sahabat yang fakir dan miskin seperti ‘Ammar, Suhaib, Bilal, Khabbab, Salman
dan lain-lain karena pakaian mereka sangat sederhana.
Ada pula
yang mengaitkan penurunan ayat ini dengan situasi di madinah. Ketika Rasulullah
saw tiba dikota itu, orang-orang Ansar banyak yang mempunyai nama lebih dari
satu. Jika mereka dipanggil oleh kawan mereka, yang kadang-kadang dipanggil
dengan nama yang tidak disukainya, dan setelah hal itu dilaporkan kepada
Rasulullah saw, maka turunlah ayat ini.
Pada
ayat-ayat yang lalu, Allah menerangkan bagaimana mendamaikan dua kelompok di
antara kaum muslimin yang bertikai, dan orang Islam adalah bersaudara. Pada
ayat-ayat berikut ini, Allah menjelaskan bagaimana sebaiknya pergaulan
orang-orang mulminin di antara mereka. Di antaranya, mereka dilarang
memperolok-olok saudara mereka dengan memanggil mereka dengan gelar yang buruk
atau berbagai tindakan yang menjurus ke arah permusuhan dan kezaliman.
Dalam
ayat ini, Allah mengingatkan kaum mukminin supaya jangan ada satu kaum
mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu
pada sisi Allah jauh lebih mulia dan terhormat dari mereka yang
mengolok-olokkan. Demikian pula di kalangan perempuan, jangan ada segolongan
perempuan yang mengolok-olok perempuan yang lain karena boleh jadi, mereka yang
diolok-olok itu pada sisi Allah lebih baik dan lebih terhormat daripada
perempuan-perempuan yang mengolok-olok.
Allah
melarang kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena maum mukminin
semuanya harus dipandang satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan persatuan.
Allah melarang pula memanggil dengan panggilan yang buruk seperti panggilan
kepada seseoarang yang sudah beriman dengan kata-kata: hai fasik, hai kafir,
dan sebagainya.
Ibnu
Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini, menerangkan
bahwa ada seorang laki-laki pada masa mudanya mengerjakan suatu perbuatan yang
buruk, lalu ia bertobat dari dosanya, maka Allah melarang siapa saja yang
menyebut-nyebut lagi keburukannya di masa lalu, karena hal itu dapat
membangkitkan perasaan yang tidak baik. Itu sebabnya Allah melarang memanggil
denga panggilan dan gelar yang buruk.[9]
Adapun
panggilan yang mengandung penghormatan tidal dilarang, seperti sebutan kepada
Abu Bakar dengan as-siddiq, kepada Umar dengan al-Faruq, kepada Utsman dengan
sebutan Zu an-Nurain, kepada ‘Ali dengan Abu Turab dan Khalid bin Walid dengan
sebutan Saifullah(pedang Allah).
Panggilan
yang buruk dilarang untuk diucapkan setelah orangnya beriman karena gelar-gelar
untuk itu mengingatkan kepada kedurhakaan yang sudah lewat, dan sudah tidak
pantas lagi dilontarkan. Barang siapa tidak bertobat, bahkan terus pula
memanggil-manggil dengan gelar-gelar yang buruk itu, maka mereka dicap oleh
Allah sebagai orang-orang yang zalim terhadap diri sendiri dan pasti akan
menerima konsekuensinyaberupa azab dari Allah pada hari kiamat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sifat-Sifat dai merupakan sesuatu hal yang penting bagi
kelancaran dakwah. Modal yang sangat berpengaruh terhadap sebuah hubungan yang
erat antara sang dai dengan mad’unya. Bagaimana tidak, dengan sifat dai pandangan
masyarakat terhadapnya akan sangat diperhitungkan, disegani, dan dicontoh
terkait segala aspek kehidupan yang dijalani. Selain itu, derajat mulia pun
jadi harga mati bagi seorang dai sebagai ganjarannya.
Upaya pembekalan bagi seorang dai adalah sebuah keniscayaan, sebab
bagaimana mungkin kita akan mampu memberikan ruhiyah sementara pada diri kita
sendiri tidak memiliki ruhiyah tersebut, sebagaimana sering kita dengar bahwa
kita tak pernah bisa memberikan sesuatu jika kita sendiri tidak memiliki sesuatu
itu.
Seorang dai yang bertugas menjalankan penyiaran dakwah sudah seharusnya
dai memiliki sifat yang perlu di penuhi dalam kodratnya. Sifat-sifat dai ini
akan memberikan wujud hasil pelaksanaan dakwah di lapangan masyarakat, dimana
dai menjadi tolak ukur keberhasilan dakwah. Sifat dai yang diterangakan dalam
al Qur’an di antaranya adalah: seorang dai harus mempunyai wawasan yang luas,
yakni memiliki ilmu pengetahuan yang setinggi-tingginya baik ilmu agama dan
ilmu secara umum. Seorang dai harus mempunyai sifat yang amanah dan adil,
terutama dalam mengemban suatu permasalahan dan harus memutuskan secara adil.
Seorang dai juga harus mempunyai sifat yang selektif terhadap berita maupun
informasi yang diterimanya, kiranya perlu diketahui sesungguhnya apa yang
sedang terjadi dalam suatu peristiwa. Selain itu, seorang dai harus memiliki
sifat yang toleran, mengahargai dan menghormati terhadap mad’u dan orang-orang
di sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI,
Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009.
Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-Dasar Ilmu
Dakwah, Bandung: Widya Padjadjaran, 2009.
Hadits Web, al Qur’an dan Terjemahannya.
Mansur, Mustafa, Fiqhud Da’wah, Jakarta:
Al-I’tishom, 2000.
Shihab, Quraish, Tafsir
Al-Mishbah: pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Ya’kub, Ali Mustafa, Sejarah dan Metode
Da’wah Nabi, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997.
[2]Ali Mustafa Ya’kub, Sejarah dan
Metode Da’wah Nabi, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997). hal. 226.
[3]Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan,
dan Keserasian al-Qur’an, vol: 14, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), h. 372.
[4]Departemen Agama RI,
Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 10, (Jakarta: Departemen Agama
RI, 2009), h. 425.
[5]Mustafa Mansur, Fiqhud Da’wah,
(Jakarta: Al-I’tishom, 2000), hal.104.
0 komentar:
Posting Komentar