Kamis, 05 Desember 2013

SIFAT-SIFAT DAI DALAM AL-QUR'AN

Oleh : Zaenal Arifin

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat merupakan salah satu miniatur pemerintahan sebuah negara. Karena di masyarakatlah sebuah sistem keteraturan diberlakukan. Sistem keteraturan yang dimaksud adalah tata nilai yang masih dipertahankan seperti etika dan moral dalam cakupan agama.
Bersentuhan dengan nilai dalam ajaran agama, maka masyarakat perlu mengetahui dan mengerti dengan benar persepsi terhadap penyampai ajaran agama tersebut. Secara sederhana dalam Islam penyampaian ajaran agama biasanya disebut dakwah dan orang yang berperan sebagai penyampai ajarannya disebut da’i.[1]
Realita sosial menunjukan bahwa banyak para da’i mengalami kegagalan dalam berdakwah, baik itu di lingkungan sang da’i sendiri maupun di tempat yang lain. Hal ini bisa terjadi karena sebagian da’i tersebut belum mampu membekali dirinya dengan sifat-sifat dai yang dapat diterima oleh masyarakat.  Hal ini mesti dipahami oleh seorang da’i sebelum ia terjun ke lapangan dan wajib bagi seorang da’i untuk mengetahui dengan benar bagaimana keadaan objek dakwah, baik dari karakter maupun kebiasaannya bahkan status sosialnya sekalipun. Agar kita tidak salah langkah dalam bersikap di tengah masyarakat.
Kita bisa menilai betapa pentingnya sifat-sifat dai untuk kelancaran dakwah, sehingga Allah swt. memberikan penjelasan terkait dengan sifat dai dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang berbeda-beda. Sebagai seorang da’i harus memahami bagaimana nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits menuntun seorang da’i dengan bekal ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat dai. Karena pemahaman sifat-sifat dai sangatlah penting, mengingat sikap mad’u terhadap sang da’i sangat berusaha untuk mengidentikkan diri mereka sebaik da’i bertingkah laku dalam kesehariannya.
Di dalam al Qur’an, menerangkan beberapa sifat-sifat dai yang dibutuhkan bagi seorang dai sebagai modala utama dalam kegiatan berdakwahnya. Agar daia tersebut mampu mengajak dan menyerukan nilai-nilai dakwah kepada mad’u dapat diterima dengan baiak, sehingga tujuan dakwah itu sendiri akan lebih mudah tersampaikan. Diantara sifat dai yang diterangkan dalam al Qur’an, antara lain dai yang berwawasan luas, dai yang amanat dan adil, dai yang selektif terhadap berita, dan dai yang toleran terhadap suatu kaum.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba merumuskan masalah yang akan diuraikan lebih lanjut, yaitu Bagaimana sifat-sifat dai yang diteranglan di dalam al Qur’an? Diantaranya:
1.      Bagaimana seorang dai yang berwawasan luas menurut al Qur’an?
2.      Bagaimana  seorang dai yang amanat dan adil menurut al Qur’an?
3.      Bagaiamana seorang dai harus selektif terhadap berita menurut al Qur’an?
4.      Bagaiamana seorang dai harus toleran terhadap suatu kaum menurut al Qur’an?



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Dai yang Berwawasan Luas

Dakwah dalam Islam merupakan tugas yang sangat mulia, merupakan tugas para Nabi dan Rasul, juga merupakan tanggung jawab setiap muslim. Dakwah bukanlah pekerjaan yang mudah, semudah membalikan telapak tangan, juga tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Seorang dai harus mempunyai persiapan yang matang baik dari segi keilmuan atau dari segi akhlaq. Sangat sulit dibayangkan bahwa suatu dakwah akan berhasil, jika seorang dai tidak mempunyai ilmu pengetahuan yang memadai dan bertingkah laku buruk baik secara pribadi ataupun sosial.
Sosok dai tauladan yang memiliki kepribadian sangat tinggi dan tak pernah kering digali adalah pribadi Rasulullah Saw. Ketinggian kepribadian Rasulullah Saw dapat dilihat dari pernyataan al-Qur’an, pengakuan Rasulullah Saw sendiri, dan kesaksian sahabat yang mendampinginya.[2]
Allah berfirman dalam QS Al-Mujadalah:11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Menurut pendapat as-Sa’labi, kata tafassahu dalam al-Qur’an disebut hanya sekali ini. Ia merupakan fi’il amr (kata kerja yang menunjukkan perintah), dari tafassaha-yatafassahu-tafassuhan, yang artinya tawassa’u (berilah keluasan). Perintah serupa itu biasanya ditujukan kepada orang-orang yang hadir dalam suatu tempat dalam situasi berdesak-desakan, agar melonggarkan diri, atau memberi kesempatan kepada orang lain untuk masuk, sehingga memperoleh kesempatan untuk duduk atau berada di tempat itu. Orang-orang yang hadir terlebih dahulu diminta melonggarkan tempat yang telah ditempati, untuk ditempati orang-orang yang baru datang yang kedudukan dan martabatnya lebih terpandang di lingkungan masyarakat setempat. Tafassaha kata dasarnya al-fash yang artinya luas, longgar, lapang. Jadi, tafassahu artinya berikan keluasan, atau kelapangan tempat untuk orang yang baru datang.
Sedangkan kata unsyuzu adalah fi’il amr (kata kerja yang menunjukkan perintah), dari nasyaza-yansyuzu-nasyza. An-nasyzu dalam kamus artinya kana qa’idan faqama (dalam keadaan duduk lalu berdiri). Perintah unsyuzu ditujukan kepada orang-orang yang dalam keadaan duduk agar mereka berdiri menyerahkan tempat duduknya kepada orang lain, untuk menghormati orang yang baru datang. Pengertian yang dimaksud dari perintah unsyuzu adalah berdirilah, bergeser, dan berikan kelonggaran kepada saudara-saudaramu.
Pada ayat-ayat yang sebelumnya, Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar menghindari diri dari perbuatan berbisik-bisik dan perundingan rahasia, karena hal itu akan menimbulkan rasa tidak enak kepada kaum Muslimin lainnya yang tidak ikut, kecuali jika hal itu sangat perlu dilakukan untuk melakukan perbuatan kebajikan dan perbuatan taqwa. Dalam ayat berikut ini diterangkan cara-cara yang dapat menimbulkan rasa persaudaraan di dalam suatu pertemuan, seperti memberi tempat kepada teman-teman yang baru datang jika tempat masih memungkinkan.
Adapun sabab nuzul ayat di atas, ada riwayat yang mengatakan bahwa ayat di atas turun pada hari jumat. Ketika itu Rasul saw berada di satu tempat yang sempit, dan telah menjadi suatu kebiasaan beliau memberi tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam perang Badr, karena besarnya jasa mereka. Ketika majlis tengah berlangsung, beberapa orang diantara sahabat-sahabat tersebut hadir, lalu mengucapkan salam kepada Rasul saw. Rasul pun menjawab, selanjutnya mengucapkan salam kepada hadirin, yang juga dijawab, namun mereka tidak memberi tempat. Para sahabat itu terus saja berdiri, maka rasul memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang lain-yang tidak terlibat dalam perang Badr untuk mengambil tempat lain agar para sahabat yang berjasa itu duduk di dekat rasul. Perintah rasul itu, mengecilkan hati mereka yang disuruh berdiri, dan ini digunakan oleh kaum munafikin untuk memecah belah dengan berkata: Katanya Muhammad berlaku adil, tetapi ternyata tidak. Rasul mendengar kritik itu bersabda: Allah merahmati siapa yang memberi kelapangan bagi saudaranya. Kaum beriman menyambut tuntunan rasul dan ayat di atas pun turun mengukuhkan perintah dan sabda rasul itu.
Apa yang dilakukan Rasul saw terhadap sahabat-sahabat beliau yang memiliki jasa besar itu, dikenal juga dalam pergaulan internasional dewasa ini. Kita mengenal ada yang dinamai peraturan protokoler, di mana penyandang kedudukan terhormat memiliki tempat-tempat terhormat di samping Kepala Negara, karena memang seperti  penegasan dalam al-Qur’an surah an-Nisa: 95 dan surah al-Hadid: 10.[3]
Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa jika di antara kaun Muslimin ada yang diperintahkan Rasulullah saw berdiri untuk memberikan kesempatan kepada orang tertentu untuk duduk, atau mereka diperintahkan pergi dahulu, hendaklah mereka berdiri atau pergi, karena beliau ingin memberikan penghormatan kepada orang-orang itu, ingin menyendiri untuk memikirkan urusan-urusan agama, atau melaksanakan tugas-tugas yang perlu diselesaikan dengan segera.[4]
Jika dipelajari maksud ayat di atas, ada suatu ketetapan yang ditentukan ayat ini, yaitu orang-orang menghadiri suatu majelis baik yang datang pada waktunya atau yang terlambat, selalu menjaga suasana yang baik, penuh persaudaraan dan saling bertenggang rasa. Bagi yang lebih dahulu datang, hendaklah memenuhi tempat di muka, sehingga orang yang datang kemudian tidak perlu melangkahi atau mengganggu orang yang telah lebih dahulu hadir. Bagi orang yang terlambat datang, hendaklah rela dengan keadaan yang ditemuinya, seperti tidak ada tempat duduk.
Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat yakni yang lebih tinggi dari yang sekadar beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperanan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu.
Tentu saja yang dimaksud dengan alladzina utu al-‘ilm/yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dngan pengetahuan. Ini berarti ayatdi atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekadar beriman dan beramal saleh, dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan, atau tulisan maupun dengan keteladanan.
Syaikh Mustafa Mansur, dalam bukunya Fiqhud Dakwah menjelaskan bahwa seorang dai mesti memiliki wawasan berfikir yang mencakup tiga aspek dasar. Pertama, memahami Islam secara betul dan menyeluruh yang memungkinkan da’i dapat melaksanakan Islam dengan pelaksanaan yang benar terhadap dirinya, dan dengan itu pula ia dapat menyampaikan Islam dengan baik kepada orang lain. Kedua, para dai mesti mengetahui kondisi dan situasi dunia islam dulu dan sekarang, mengetahui peristiwa-peristiwa aktual yang mempengaruhi kaum muslimin, mengetahui siapakah golongan yang bergerak dibidang dakwah, kecenderungan dan cara-cara mereka, bagaimana bentuk kerjasama yang bisa dilakukan dengan mereka. Ketiga, para dai harus menyampaikan untuk memantapkan speliasasi ilmu yang berkaitan dengan urusan hidup manusia seperti kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi dan lain-lain. Seorang calon dai harus meningkatkan profesioanalismenya dalam bidang bidang keilmuan yang digelutinya.[5]
Seorang dai mestilah melengkapi dirinya dengan ilmu pengetahuan agar pekerjaanya dapat mencapai hasil efektif dan efisien. Pengetahuan seorang dai meliputi pengetahuan yang berhubungan dengan materi dakwah yang disampaikan dan ilmu pengetahuan  yang erat hubungannya dengan teknik-teknik dakwah. Sekurang-kurangnya seorang dai harus memiliki kapasitas ilmu pengetahuan tentang al-Qur’an dan Hadits. Kita mengetahui bersama bahwa al-Qur’an mempunyai fungsi sebagai petunjuk hidup (hudan), nasihat bagi yang membutuhkan (mau’idzah) dan pelajaran (‘ibarat) yang oleh karena itu selalu menjadi rujukan dalam menghadapi setiap permasalahan. Tentang Sunnah, seorang dai minimal harus mengetahui keshahihan suatu hadits, selain itu perlu juga untuk mengetahui riwayat hidup nabi, para sahabat dan sebagian besar ulama salaf. Seorang dai sedikit banyak juga harus mengetahui hukum islam dan metodologi penetapan hukum yang bersifat praktis.
Untuk menjadikan pesan dakwah sampai secara tepat kepada mad’u, seorang dai juga harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang semua hal yang berhubungan dengan mad’u baik bahasa, psikologis, budaya dan temperamen mad’u.

B.     Dai yang amanah dan adil

Amanah adalah sebuah kata yang telah dikenal oleh hampir semua orang. Bagi yang telah mengenal kata amanah mungkin sudah tahu apa itu arti atau makna dari kata amanah tersebut. Namun masih banyak yang tidak tahu sama sekali dan ada juga hanya tahu maknanya secara samar-samar. Apa yang disebut dengan amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya. Dalam agama Islam, dai harus mempunyai sikap seperti inilah yang dinamakan shiddiq dalam mengemban tugas dakwahnya. Makanya amanah itu ber-nilai tak terhingga.
Sedangkan kata adil sering disinonimkan dengan kata al musawah (persamaan) dan al qisth (seimbang) dan kata adil dilawankan dengan kata dzalim. Prinsip ini benar-benar merupakan akhlak mulia yang sangat ditekankan dalam syari’at Islam terutama seorang dai, sehingga wajar kalau tuntunan agama semuanya dibangun di atas dasar keadilan dan seluruh lapisan manusia diperintah untuk berlaku adil. Adil adalah memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya tanpa ada pengurangan, dan meletakkan segala urusan pada tempat yang sebenarnya tanpa ada aniaya, dan mengucapkan kalimat yang benar .
Allah berfirman dalam QS an-Nisa: 58
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Pada ayat yang sebelumnya (an-Nisa:57) diterangkan besarnya pahala dan balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka pada ayat-ayat ini diterangkan bahwa di antara amal-amal saleh yang penting adalah melaksanakan amanat dan menetapkan hukum antara manusia dengan adil dan jujur.
Adapun sabab nuzul ayat di atas, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa setelah Rasulullah saw memasuki kota Mekkah pada hari pembebasannya, Usman bib Talhah pengurus Ka’bah pada waktu itu menguasai pintu Ka’bah. Ia tidak mau memberikan kunci Ka’bah kepada Rasulullah saw. Kemudian Ali bin Abi Thalib merebut kunci Ka’bah itu dari Usman bin Talhah secara paksa dan membuka Ka’bah, lalu Rasulullah masuk ke dalam Ka’bah dan shalat dua raka’at. Setelah beliau keluar dari Ka’bah tampillah paman Abbas ke hadapannya dan meminta agar kunci itu diserahkan kepadanya dan meminta diberi jabatan pemeliharaan Ka’bah dan jabatan penyediaan air untuk jamaah haji, maka turunlah ayat ini, lalu Rasulullah saw memerintahkan Ali bin Abi Thalib mengembalikan kunci Ka’bah jepada Usman bin Talhah dan meminta maaf kepadanya atas perbuatannya merebut kunci itu secara paksa.
Surah an-Nisa ayat 58 di atas, memerintahkan agar menyampaikan amanat kepada yang berhak. Pengertian amanat dalam ayat ini, ialah sesuatu yang dipercayakan  kepada seseorang untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kata amanat dengan pengertian ini sangat luas, meliputi amanat Allah kepada hamba-Nya, amanat seseorang kepada sesamanya dan terhadap dirinya sendiri.[6]
Amanat Allah terhadap hamba-Nya yang harus dilaksanakan antara lain: melaksanakanapa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Semua nikmat Allah berupa apa saja hendaklah kita manfaatkan untuk taqqarub (mendekatka diri) kepada-Nya.
Amanat seseorang terhadap sesemanya yang harus dilaksanakan antara lain: memgembalikan titipan kepada yang punya dengan tidak kurang satu apapun, tidak menipunya, memelihara rahasia dan lain.
Sedangkan amanat seseorang terhadap dirinya sendiri, seperti berbuat sesuatu yang menguntungkan dan bermanfaat bagi dirinya dalam soal dunia dan agamanya. Janganlah  ia membuat hal-hal yang membahayakannya di dunia dan di akhirat, dan lain-lainnya.
Agama mengajarkan bahwa amanah/kepercayaan adalah asas keimanan berdasarkan sabda Nabi saw. Tidak ada iman bagi yang memiliki amanah. Selanjutnya, amanah yang merupakan lawan dari khianat adalah sendi utama interaksi. Amanah tersebut membutuhkan kepercayaan dan kepercayaan itu melahirkan ketenangan batin yang selanjutnya melahirkan keyakinan.[7]
Ajaran yang sangat baik ini yaitu melaksanakan amanah dan hukum dengan seadil-adilnya, jangan sekali-kali diabaikan tetapi hendaklah diindahkan, diperhatikan dan diterapkan dalam kehidupan kita, untuk dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

C.     Dai yang selektif dalam berita

Seorang dai mestilah berhati-hati dari terjebak pada sikap terburu-buru atau tergesa-gesa, sikap kaku dan keras. Wajib atas dai untuk bersabar, wajib untuk bijak dalam dakwah. Allah berfirman dalam QS al-Hujurat:6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Kata Fatabayyanu artinya maka periksalah dengan teliti. Kata jadiannya(masdar) adalah tabayyun. Akar katanya adalah ba’-ya’-nun yang artinya berkaisar pada jauhnyasesuatu dan terbuka. Dari sini muncul arti jelas. Talaq ba’in adalah talak ketiga yang sudah jelas, tidak bisa dirujuk kembali. Bayyinah adalah bukti karena bisa menjelaskan kepada yang sedang berpekara. Ayat ini menjelaskan bahwa jika ada kabar yang datang dari orang yang fasik hendaknya diperiksa terlebih dahulu, sampai jelas apakah benar atau tidak. Pada bacaan lain yang mutawatir, kata ini dibaca fatasabbatu terambil dari kata dasar subut artinya tetap. Sehingga artinya maka carilah ketetapan. Bacaan pertama dan kedua saling menguatkan, yaitu bahwa seseorang tidak begitu saja menerima kabar dari orang lain yang patut dicurigai seperti orang fasik, tetapi hendaklah selalu mencari kejelasan dan ketetapan atas kabar tersebut, terlebih lagi kabarnya berupa kabar yang penting. Semua bertujuan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Pada ayat-ayat yang lalu, Allah memberikan pelajaran kesopanan dalam pergaulan dengan  Nabi Muhammad. Pada ayat-ayat berikut ini Allah memberikan pedoman tentang penerimaan berita dari seseorang. Setiap berita yang diterima harus diselidiki dahulu sumbernya sebab mungkin hanya dapat bersifat provokasi atau fitnah, atau pemutarbalikan keadaan sehingga dapat menimbulkan akibat yang buruk, yang membawa penyesalan karena bisa menimbulkan korban yang sebenarnya dapat dihindari sekiranya berita itu diselidiki dahulu kebenarannya.
Adapun sabab nuzul ayat di atas, diriwayatkan oleh Ibnu ’Abbas bahwa ayat keenam ini diturunkan karena peristiwa al-Walid bin Abi Mu’ait yang diutus oleh Rasulullah kepada kabilah Bani al-Mustaliq untuk memungut zakat dari mereka. Tatkala berita itu sampai kepada Bani al-mustaliq, mereka gembira sekali sehingga beramai-ramai keluar dari kampung halaman mereka untuk menjemput kedatangan utusan itu. Sebelum sampai ke sana, ada seorang munafik memberitahukan kepada al-Walid yang sedang dalam perjalanan menuju Bani al-Mustaliq bahwa mereka telah murtad, menolak, dan tidak mau membayar zakat. Bahkan mereka itu teleh mengadakan demontrasi dan berhimpun diluar kota untuk mencegat kedatangannya. Setelah al-Walid menerima berita itu, segera ia kembali ke Madinah dan melaporkan keadaan Bani al-Mustaliq kepada Rasulullah saw beliau sangat marah mendengar berita yang buruk itu dan menyiapkan pasukan tentara untuk menhadapi orang-orang dari kabilah Bani al-mustaliq yang dianggap menbangkang itu.
Sebelum tentara itu diberangkatkan, suadah datang utusan dari Bani al-Mustaliq menghadap kepada Rasulullah saw seraya berkata Ya Rasulullah, kedatangan kami ke sini adalah untuk bertanya mengapa utusan Rasulullah saw tidak sampai kepada kami untuk memungut zakat, bahkan kembali dari tengah perjalanan? Kami mempunyai dugaan bahwa timbul salah pengertian diantara utusanmu dengan kami yang menyebabkan timbulnya keruwetan ini. Maka turunlah ayat ini.
Dalam ayat ini Allah memberitakan peringatan kepada kaum mukminin, terutama seorang dai, jika datang kepada mereka seorang fasik membawa berita tentang apa saja, agar tidak tergesa-gesa menerima berita itu sebelum diperiksa dan diteliti dahulu kebenaraannya. Sebelum diadakan penelitian yang seksama jangan cepat percaya kepada berita dari orang fasik, karena seorang yang tidak memperdulikan kefasikannya, tentu juga tidak akan memperdulikan kedustaan berita yang disampaikannya. Perlunya berhati-hati dalam menerima berita adalah untuk menghindarkan penyesalan akibat berita yang tidak diteliti atau berita bohong itu. Penyesalan yang akan timbul sebenarnya dapat dihindari jika bersikap lebih hati-hati.[8]
Ayat ini memberikan pedoman bagi dai supaya berhati-hati dalam menerima berita, terutama jika bersumber dari seorang yang fasik. Maksud yang terkandung dalam ayat ini adalah agar diadakan penelitian dahulu mengenai kebenarannya. Mempercayai suatu berita tanpa diselidiki kebenarannya, besar kemungkinan akan membawa korban jiwa dan harta yang sia-sia, yang hanya menimbulkan penyesalan belaka.

D.    Dai yang Toleran

Islam memberikan penjelasan-penjelasan yang jelas akan pentingnya membina hubungan baik antara muslim dengan non-muslim. Islam begitu menekankan akan pentingnya saling menghargai, saling menghormati dan berbuat baik walaupun kepada umat yang lain. Allah berfirman dalam QS al-Hujurat:11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.
Kalimat talmizu berasal dari akar kata lamaza-yalmizu-lamzan yang berarti memberi isyarat disertai bisik-bisik dengan maksud mencela. Ejekan ini biasanya langsung ditujukan kepada seseorang yang diejek, baik dengan isyarat mata, bibir, kepala, tangan, atau  kata-kata yang dipahami sebagai ejekan. Dalam at-Taubah:58 kalimat yalmizuka diartikan dengan mencela,begitu juga dalam at-Taubah:79 dan al-Humazah:1. Sebagian ulama menganggap bahwa kata lumazah dan humazah adalah mutaradif. Rajul lammaz atau imra’at lumazah berarti seseorang yang suka mengumpat dan mencela. Dalam ayat ini,  Allah menjelaskan tentang larangan melakukan lamz terhadap diri sendiri(talmizu anfusakum), padahal yang dimaksud adalah orang lain. Pengungkapan kalimat anfusakum dimaksud bahwa antara sesama mausia adalah saudara dan satu kesatuan, sehingga apa yang diderita oleh saudara kita artinya juga diderita oleh diri kita sendiri. Maka siapa yang mencela atau mengejek orang lain sesungguhnya dia telah mengejek dirinya sendiri. Kalimat ini juga dapat diartikan agar tidak melakukan suatu tindakan yang membuat orang lain mengejek dirinya.
Tanabazu berasal dari akar kata nabaza-yanbizu-nabzan yang berarti memberi julukan dengan maksud mencela. Bentuk jamaknya adalah anbaz. Tanabazu melibatkan dua pihak  yang saling memberikan julukan. Tanabazu lebih sering digunakan untuk pemberian gelar yang buruk. Maksudnya dari tanabuza hampir sama dengan al-lamz yaitu mencela, hanya dalam tanabazu ada makna keterusterangan dan timbal balik. Seseorang yang melakukan lamz belum tentu di hadapan orang yang dicelanya, tetapi kalau tanabazu dilakukan dengan terang-terangan dihadapan yang bersangkutan memanggil gengan panggilan yang buruk. Hal ini tentu saja mengundang siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu akan membalas dengan panggilan serupa atau lebih burk lagi, sehingga terjadilah tanabazu.
Adapun sabab nuzul ayat di atas, diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan tingkah laku kabilah Bani Tamim yang pernah berkunjung kepada Rasulullah saw, lalu mereka memperolok-olok beberapa sahabat yang fakir dan miskin seperti ‘Ammar, Suhaib, Bilal, Khabbab, Salman dan lain-lain karena pakaian mereka sangat sederhana.
Ada pula yang mengaitkan penurunan ayat ini dengan situasi di madinah. Ketika Rasulullah saw tiba dikota itu, orang-orang Ansar banyak yang mempunyai nama lebih dari satu. Jika mereka dipanggil oleh kawan mereka, yang kadang-kadang dipanggil dengan nama yang tidak disukainya, dan setelah hal itu dilaporkan kepada Rasulullah saw, maka turunlah ayat ini.
Pada ayat-ayat yang lalu, Allah menerangkan bagaimana mendamaikan dua kelompok di antara kaum muslimin yang bertikai, dan orang Islam adalah bersaudara. Pada ayat-ayat berikut ini, Allah menjelaskan bagaimana sebaiknya pergaulan orang-orang mulminin di antara mereka. Di antaranya, mereka dilarang memperolok-olok saudara mereka dengan memanggil mereka dengan gelar yang buruk atau berbagai tindakan yang menjurus ke arah permusuhan dan kezaliman.
Dalam ayat ini, Allah mengingatkan kaum mukminin supaya jangan ada satu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu pada sisi Allah jauh lebih mulia dan terhormat dari mereka yang mengolok-olokkan. Demikian pula di kalangan perempuan, jangan ada segolongan perempuan yang mengolok-olok perempuan yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu pada sisi Allah lebih baik dan lebih terhormat daripada perempuan-perempuan yang mengolok-olok.
Allah melarang kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena maum mukminin semuanya harus dipandang satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan persatuan. Allah melarang pula memanggil dengan panggilan yang buruk seperti panggilan kepada seseoarang yang sudah beriman dengan kata-kata: hai fasik, hai kafir, dan sebagainya.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini, menerangkan bahwa ada seorang laki-laki pada masa mudanya mengerjakan suatu perbuatan yang buruk, lalu ia bertobat dari dosanya, maka Allah melarang siapa saja yang menyebut-nyebut lagi keburukannya di masa lalu, karena hal itu dapat membangkitkan perasaan yang tidak baik. Itu sebabnya Allah melarang memanggil denga panggilan dan gelar yang buruk.[9]
Adapun panggilan yang mengandung penghormatan tidal dilarang, seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan as-siddiq, kepada Umar dengan al-Faruq, kepada Utsman dengan sebutan Zu an-Nurain, kepada ‘Ali dengan Abu Turab dan Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah(pedang Allah).
Panggilan yang buruk dilarang untuk diucapkan setelah orangnya beriman karena gelar-gelar untuk itu mengingatkan kepada kedurhakaan yang sudah lewat, dan sudah tidak pantas lagi dilontarkan. Barang siapa tidak bertobat, bahkan terus pula memanggil-manggil dengan gelar-gelar yang buruk itu, maka mereka dicap oleh Allah sebagai orang-orang yang zalim terhadap diri sendiri dan pasti akan menerima konsekuensinyaberupa azab dari Allah pada hari kiamat.




BAB III
 PENUTUP

Kesimpulan
Sifat-Sifat dai merupakan sesuatu hal yang penting bagi kelancaran dakwah. Modal yang sangat berpengaruh terhadap sebuah hubungan yang erat antara sang dai dengan mad’unya. Bagaimana tidak, dengan sifat dai pandangan masyarakat terhadapnya akan sangat diperhitungkan, disegani, dan dicontoh terkait segala aspek kehidupan yang dijalani. Selain itu, derajat mulia pun jadi harga mati bagi seorang dai sebagai ganjarannya.
Upaya pembekalan bagi seorang dai adalah sebuah keniscayaan, sebab bagaimana mungkin kita akan mampu memberikan ruhiyah sementara pada diri kita sendiri tidak memiliki ruhiyah tersebut, sebagaimana sering kita dengar bahwa kita tak pernah bisa memberikan sesuatu jika kita sendiri tidak memiliki sesuatu itu.
Seorang dai yang bertugas menjalankan penyiaran dakwah sudah seharusnya dai memiliki sifat yang perlu di penuhi dalam kodratnya. Sifat-sifat dai ini akan memberikan wujud hasil pelaksanaan dakwah di lapangan masyarakat, dimana dai menjadi tolak ukur keberhasilan dakwah. Sifat dai yang diterangakan dalam al Qur’an di antaranya adalah: seorang dai harus mempunyai wawasan yang luas, yakni memiliki ilmu pengetahuan yang setinggi-tingginya baik ilmu agama dan ilmu secara umum. Seorang dai harus mempunyai sifat yang amanah dan adil, terutama dalam mengemban suatu permasalahan dan harus memutuskan secara adil. Seorang dai juga harus mempunyai sifat yang selektif terhadap berita maupun informasi yang diterimanya, kiranya perlu diketahui sesungguhnya apa yang sedang terjadi dalam suatu peristiwa. Selain itu, seorang dai harus memiliki sifat yang toleran, mengahargai dan menghormati terhadap mad’u dan orang-orang di sekitarnya.



DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009.
Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah, Bandung: Widya Padjadjaran, 2009.
Hadits Web, al Qur’an dan Terjemahannya.
Mansur, Mustafa, Fiqhud Da’wah, Jakarta: Al-I’tishom, 2000.
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an,  Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Ya’kub, Ali Mustafa, Sejarah dan Metode Da’wah Nabi, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997.








[1]Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 74.
[2]Ali Mustafa Ya’kub, Sejarah dan Metode Da’wah Nabi, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997). hal. 226.
[3]Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol: 14, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 372.
[4]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 10, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 425.
[5]Mustafa Mansur, Fiqhud Da’wah, (Jakarta: Al-I’tishom, 2000), hal.104.
[6]Departemen Agama RI, op.cit, h. 195-196.
[7]Quraish Shihab, op.cit, vol: 14, h. 482.
[8] Departemen Agama RI, op.cit, Jilid 9, h. 63
[9] Departemen Agama RI, loc.cit.

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Zay Arief