Oleh : Zaenal Arifin
BAB I
PENDAHULUAN
Agama mempunyai kedudukan yang amat
penting dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai alat untuk membentuk watak
dan moral, tapi juga menentukan falsafah hidup dalam suatu masyarakat. Hal ini
berarti nilai-nilai dan norma-norma budaya dibentuk dari agama. Agama terbentuk
bersamaan dengan permulaan sejarah umat manusia. Realita ini merangsang minat
orang untuk mengamati dan mempelajari agama, baik sebagai ajaran yang
diturunkan melalui wahyu, maupun sebagai bagian dari kebudayaan. Motivasi
keterikatan manusia kepada agama adalah pendambaannya akan keadilan dan
keteraturan. Keadilan dalam masyarakat dan alam, karena itu ia menciptakan
agama dan berpegang erat kepadanya demi meredakan penderitaan-penderitaan
kejiwaannya.
Ada dua hal yang menjadi alasan orang
berminat dalam mempelajari agama. Pertama, agama sebagai suatu yang
berguna bagi kehidupan manusia baik secara pribadi maupun mayarakat. Kedua, karena
ada pandangan yang negatif terhadap agama,dimana agama hanya dianggap sebagai khayal,ilusi
dan merusak masyarakat.[1]
Walaupun demikian bukan berarti bahwa
semua manusia beragama, atau beragama pada kadar yang sama. Dalam sejarah
tercatat bahwa ada kelompok-kelompok tertentu yang anti agama bahkan memusuhi
agama, akan tetapi juga sebaliknya banyak juga kelompok-kelompok yang sangat
taat dan menghayati ajaran agamanya dan terjalin baik sehingga kekuatan ghaib
tersebut bisa memperkuat pribadinya. Sehingga agama dapat menjadi anutan,
ikutan dan dihormati seperti imam, ulama, kyai, pendeta, pastor dan lain-lain.
Oleh karena itu agama merupakan aspek yang tidak terpisahkan dari pribadi dan
masyarakat.
Berdasarkan wacana di atas, kami akan
mencoba membahas tentang Agama sebagai Sistem Budaya dalam rangkaian
mata kuliah “Antropologi Budaya”. Dapat dirumuskan beberapa pembahasan sebagai
berikut: Pertama, pengertian agama; Kedua, pengertian budaya; Ketiga,
pengertian agama sebagai sistem budaya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Agama
Untuk
memberikan batasan tentang makna agama memang agak sulit dan sangat subyektif.
Karena pandangan orang terhadap agama berbeda-beda. Ada yang memandangnya
sebagai suatu institusi yang diwahyukan oleh Tuhan kepada orang yang dipilihnya
sebagai nabi atau rasulnya, dengan ketentuan-ketentuan yang telah pasti. Ada yang
memandangnya sebagai hasil kebudayaan, hasil pemikiran manusia, dan ada pula
yang memandangnya sebagai hasil dari pemikiran orangorang yang jenius, tetapi
ada pula yang menganggapnya sebagai hasil lamunan, fantasi, ilustrasi.[2]
Kata
agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama
berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak
kacau.[3]
Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau
sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya
tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi
memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya
dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan
itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai
kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia menerangkan bahwa agama adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan)
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tata peribiodata, dan tata kaidah yang bertalian
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya dengan kepercayaan itu.[4]
Pengertian
itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal
dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare
yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang
kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi
(vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal.[5]
Agama
itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara
misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan. Dalam pertemuan
itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk
merespons. Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti
melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan Tuhan
yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Islam
juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang
dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 19[6].
Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin
manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis,
agama Islam dapat dipandang sebagai syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang
harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah
menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama
dipandang sebagai himpunan doktrin.
Secara terminologi makna ad-din menurut
Prof. Taib Thahir Abdul Muin adalah suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa
orang yang mempunyai akal memegang (menurut peraturan Tuhan itu) dengan
kehendaknya sendiri tidak dipengaruhi, untuk mencapai kebaikan hidup di dunia
dan di akherat.[7]
H. Mukti Ali mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang Maha Esa
dan hukum yang diwahyukan
kepada utusan-utusanNya untuk kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.[8]
Menurut beliau ciri-ciri agama itu adalah:
o Mempercayai adanya Tuhan yang Maha
Esa
o Mempunyai kitab suci dari Tuhan yang
Maha Esa
o Mempunyai rasul/utusan dari Tuhan
yang Maha Esa
o Mempunyai hukum sendiri bagi
kehidupan penganutnya berupa perintah dan larangan
Sedangkan
Komaruddin Hidayat berpendapat lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu
sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke
Tuhanan.[9]
Walaupun
kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda
dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem
keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.
Dengan
agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme,
Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan
Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata’ala dalam Islam.
Sijabat
telah merumuskan agama sebagai berikut:
“Agama adalah keprihatinan maha luhur dari
manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha
Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup
manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap
alam semesta raya serta isinya”.[10]
Uraian Sijabat ini menekankan agama sebagai
hasil refleksi manusia terhadap panggilan yang Maha Kuasa dan Maha Kekal.
Hasilnya diungkap dalam hidup manusia yang terwujud dalam hubungannya dengan
realitas tertinggi, alam semesta raya dengan segala isinya. Pandangan itu
mengatakan bahwa agama adalah suatu gerakan dari atas atau wahyu yang
ditanggapi oleh manusia yang berada dibawah.
B.
Pengertian
Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
(budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan.
Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture
juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.[11]
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia diterangkan bahwa buday adalah hasil pikiran,
akal budi manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat-istiadat.[12]
Budaya
menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil
kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia
dengan belajar.[13]
Budaya
adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.[14] Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik,
adat istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian,
bangunan,
dan karya seni.
Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari
diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara
genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi
dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya,
membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Jadi
budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain
cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam
masyarakat adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal
teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam pikiran yang kemudian terwujud
dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup.
C.
Agama sebagai Sistem Budaya
Agama
sebagai sistem budaya yang bersifat kognitif, meliputi unsur-unsur pokok yang
di dalamnya terdapat knowled (pengetahuan), belief (kepercayaan),
value (nilai) dan norma-norma. Melalui ajaran-ajarannya, agama
memberikan sumbangan pengetahuan yang sangat berharga bagi manusia untuk
mengetahui sesuatu yang mungkin tidak ditemukan melalui akal pikiran. Berdasarkan
pengetahuan yang diperoleh dari agama, timbul suatu kepercayaan dalam diri seseorang
terhadap sesuatu yang mungkin dia sendiri belum pernah melihatnya. Menurut
William Howells mengatakan bahwa percaya dalam agama adalah penerimaan suatu
ide (gagasan) secara khusus dengan sikap yang lebih mendalam dan tidak
membutuhkan formulasi yag sangat jelas. Percaya adalah perasaan yang sangat
kuat bahwa ada kekuatan yang luar biasa di alam raya.[15]
Agama
juga memberikan sumbangan berupa nilai-nilai hidup yang dapat dijadikan ukuran
untuk menentukan baik dan buruk, dilarang atau dibolehkan dalam kehidupan
manusia dan masyarakat. Nilai agama-agama tersebut sudah barang tentu telah
diwujudkan dalam kehidupan yang nyata serta dalam bentuk aturan-aturan (norma)
yang diberlakukan dalam kehidupan bersama. Agama juga telah memberikan
sumbangan berupa aturan-aturan (norma) sebagai pedoman yang harus dilaksanakan
agar manusia atau masyarakat dapat memperoleh kehidupan yang baik.
Sebagai
suatu sistem budaya, agama berfungsi memberikan pengawasan (kontrol) terhadap
sistem-sistem lain yang bersifat kondusif. Oleh karena itu, eksistensi agama tidak
akan bermakna tanpa melibatkan sistem sosial dalam bentuk organisasi, lembaga
atau pranata-pranata (sistem sosial). Sistem sosial juga hanya akan menjadi
lambang yang tidak bermakna tanpa di dukung sistem kepribadian dan sistem
perilaku dalam bentuk pengamalan keagamaan yang berkembang secara individual
dalam masyarakat. secara konkrit, sistem kepribadian dan system perilaku
keagamaanlah yang mendukung keberadaan suatu agama. Dengan kata lain, agama
sebagai sistem budaya berfungsi memberikan pengawasan (controling) dan
tidak bisa lepas dari sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem perilaku
yang mendukung eksitensi agama dalam kehidupannya (conditioning).[16]
Pendekatan
sistematik memandang agama sebagai suatu sistem budaya karena agama mengandung
seperangkat sistem pengetahuan kepercayaan, norma dan nilai, yang secara
keseluruhan tidak dapat dipisahkan, di mana satu sama lain saling mengontrol
dan mendukung. Sistem pengetahuan (knowledge), sistem kepercayaan (bilief),
norma (norms) dan nilai (values) yang terkandung dalam agama,
secara kognitif memang baru merupakan gagasan yang abstrak, dan harus
direalisasikan dalam wujud yang lebih konkrit. Manifestasi dari itu, secara
sistematis memerlukan sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem perilaku
untuk mendukung wujud agama yang sebenarnya. Melalui sistem sosial, agama dapat
dilihat eksistensinya dari jenis-jenis organisasi, lembaga, institusi yang
mengindikasikan warna agama. Tetapi hal ini pun belum benar-benar konkrit
sebelum didukung oleh penampilan kepribadian, performance dan lebih
konkrit lagi dengan melihat behavior (perilaku atau amal) dari para pemeluk
agama yang bersangkutan.[17]
Agama
sebagai sistem budaya hanya dapat dipelajari, diketahui dan dimengerti melalui
simbol-simbol yang berlaku di masing-masing agama. Itu sebabnya Geertz
menyebutkan agama sebagai juga sebagai sistem simbol (The Religion is
a System of Syimbols).[18]
Hakikat yang bisa dipelajari dan diamati adalah simbol-simbol agama yang
diangap sakral. Nama Allah dalam sistem keyakinan Islam misalnya, tidak bisa
diwujudkan secara kasat mata, karena Allah itu Maha Ghaib. Ada tetapi tidak
mungkin kita bisa melihat-Nya. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw. memantapkan
strategi keimanan seseorang dengan cara menyembah Allah, seakan-akan kita
melihat-Nya. Andai kata kita tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah
tetap melihat kita. Ketika kita yakin sedang ”menyembah” Allah, yang kita baca
dan kita saksikan dalam kehidupan beragama sehari-hari adalah symbol-Nya, bukan
hakikat wujud-Nya, karena sistem budaya hanya bersifat kognitif. Sedangkan yang
abstraksinya dapat disaksikan melalui sistem pengetahuan, kepercayaan, norma
dan nilai yang terkandung dalam ajaran agama.
Pendekatan
terhadap sistem pengetahuan, dapat dilakukan dengan mempelajari kitab-kitab
suci agama, catatan-catatan kuno tentang wahyu yang pernah diturunkan
(manuskrip, lembaran-lembaran ayat suci (suhuf) atau ucapan-ucapan nabi pembawa
agama (hadits).
Sistem
pengetahuan alam misalnya, dapat dipelajari melalui kitab suci al- Qur’an,
hadits Rasulullah, ucapan sahabat atau ulama yang terhimpun dalam kitab tersendiri.
Sistem pengetahuan mengandung informasi tentang kejadian alam, hakikat Tuhan
yang telah menciptakan alam itu serta sejarah peradaban manusia; yang secara
keseluruhan perlu diketahui oleh manusia. Dengan pengetahuan itu, manusia akan
menyadari keberadaan dirinya di sisi Tuhan, yang pada akhirnya mengantarkan
seseorang lebih mengenal Tuhannya sebagai pencipta, sehingga manusia semakin
yakin siapa Tuhan yang layak dipuja dan disembah. Sistem kepercayaan akan
dirasakan lebih kuat jika didasarkan pada sistem pengetahuan yang dimiliki.
Melalui kajian terhadap diri dan alam sekitar, akhirnya seseorang akan sampai
juga pada pengenalan terhadap Tuhannya.
Banyak
rahasia kehidupan manusia yang mungkin tidak terungkap dengan ilmu pengetahuan,
karena keterbatasan akal pikiran. Namun, melalui pengetahuan yang bersumber
dari agama, manusia mendapat informasi yang bersifat metafisik sekalipun, yang
kadang-kadang tidak terjangkau oleh ilmu pengetahuan. Keberadaan surga dan
neraka, proyeksi kehidupan manusia di akhirat, tentang terjadinya hari kiamat,
kehidupan di alam kubur serta eksistensi malaikat, jin dan makhluk-makhluk
ghaib, hanya dapat diperoleh informasinya melalui agama. Bahkan, pengetahuan
tentang siapa hakikat Tuhan yang patut disembah, yang dianggap Maha Suci
(sakral), tidak mungkin bisa diperoleh, kecuali dari agama yang dapat
memberikan informasi kepada umatnya, sehingga dapat diyakini sepenuh hatinya.
Agama
pada umumnya termasuk Islam, telah mengajarkan umatnya untuk percaya kepada
yang ghaib. Tuhan, wahyu, kiamat, hari akhirat, malaikat, jin, setan, surga
atau neraka, termasuk makhluk ghaib. Hal-hal yang disebutkan, jelas tidak dalam
kategori gejala yang dapat diamati. Mungkin saja dikatakan dalam ajaran agama
bahwa para nabi pernah mengalami apa yang disebut proses menerima wahyu atau
berkomunikasi dengan malaikat, memperoleh keistimewaan berupa mukjizat. Hal itu
semua merupakan bagian dari peristiwa ghaib yang hanya harus dipercayai dan
bukan pengalaman langsung yang bisa dialami oleh manusia biasa pada umumnya.
Kepercayaan dalam suatu agama yang diterima berdasarkan pengetahuan atau
keyakinan sendiri, memang tidak seluruhnya dapat diteliti dan diamati, karena
dalam sistem keyakinan agama itu.
Menurut
Harsya W. Bachtiar membedakan kepercayaan keagamaan yang bisa diteliti adalah
kepercayaan yang ghaib, tidak bisa dibuktikan berdasarkan kenyataan (empirit).
Sedangkan kepercayaan yang bisa diteliti adalah kepercayaan keduniaan (tradisi)
berkenaan dengan kenyataan yang diwujudkan di dunia. Kepercayaan yang bersifat
tradisi inilah yang dapat dijadikan objek pengamatan antropologi, sosiologi,
psikologi, arkeologi dan filologi. Banyak gagasan agama sebagai sistem budaya
yang mengandung kepercayaan untuk diterima secara tradisional oleh para
pengikut suatu agama. Gagasan kepercayaan misalnya tentang penyaliban Yesus
dalam ajaran Gereja baik Katolik maupun Protestan merupakan sistem kepercayaan
yang mutlak harus diterima oleh umat Kristen. Ada nilai-nilai dogmatika dalam
Gereja, walaupun mengandung interpretasi berbeda. Menurut Gereja Katolik
dogmatika berartikepercayaan yang harus diterima apa adanya dari isi Alkitab,
tanpa kritik dan tanpa protes. Sedangkan Gereja Protestan memahami dogmatika
sebagai upaya kajian penganut Gereja terhadap misi Alkitab, karena itu di mata
umat Katoik, Alkitab tertutup untuk menerima penafsiran, selain imam yang
dianggap wakil Tuhan. Sedangkan di mata kaum Protestan, Alkitab justru terbuka
untuk dikaji, dipelajari dan ditelaah agar umat Gereja memperoleh pemahaman
yang utuh dari kitab sucinya.[19]
Secara
antropologis kepercayaan yang bersifat tradisional ini dapat disaksikan
gejala-gejalanya, baik dari sistem credo (12 syahadat rasul) yang selalu dibacakan
pada setiap kebaktian di Gereja atau dari tanda-tanda salib yang secara simbolik
melambangkan kepercayaan terhadap penyaliban Yesus. Kepercayaan terhadap adanya
roh-roh halus atau arwah yang sudah meninggal, yang kemudian dapat kembali lagi
melakukan reingkarnasi dalam agama Hindu misalnya dapat disaksikan gejalanya
dari tradisi yang berkembang di kalangan mereka. Menurut keyakinan umat Hindu,
arwah orang yang meninggal masih berada di sekitar rumah selama satu minggu
untuk mencari peluang reingkarnasi (penjelmaan kembali) ke dalam jasad keluarga
yang hidup. Agar proses reingkarnasi tidak berlangsung begitu cepat, maka
keluarga yang masih hidup mengadakan pertemuan di malam hari untuk
berjaga-jaga, sambil membakar kemenyan dan menyebar bau kembang, sehingga arwah
orang yang sudah meninggal itu tidak mungkin kembali dan mengganggu keluarga
yang hidup. Kegiatan semacam ini dilanjutkan pada hari keempat puluh, ke
seratus dan ke seribu, sebagai suatu tradisi yang berkesinambungan. Tradisi
kepercayaan umat Hindu itu juga dapat diamati gejalanya di Indonesia, meskipun
sudah tidak asli lagi karena proses sinkritisme budaya. Percampuran antar
kebudayaan dan kepercayaan penduduk asli Indonesia, termasuk umat Islam di
dalamnya harus diakui telah terjadi sejak awal masuknya Islam ke Indonesia.[20]
Sinkritisme
budaya itu telah melahirkan tradisi tahlil setiap adanya kematian anggota
keluarga. Bacaan-bacaan tahlil, tasbih, tahmid, taghfir adalah tradisi
Islam yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad untuk membiasakannya sebagai kalimat thoiyyibah
dalam zikir, ringan diucapkan tetapi akan menambah bobot timbangan di hari
akhir. Sementara itu acara makan-makan di tempat anggota keluarga yang terkena
musibah kematian, membakar kemenyan, meletakkan kembang di gelas, selamatan tujuh
hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari dan seterusnya merupakan
bentuk sinkritisme budaya dari agama Hindu. Gejala kepercayaan yang dapat
diamati juga dijumpai di kalangan umat Islam, berkaitan dengan kehidupan di
alam kubur. Umat Islam meyakini bahwa ada kehidupan di alam kubur bagi mereka
yang sudah meninggal. Hal itu dapat disaksikan gejala-gejalanya dari tradisi
kepercayaan yang berkembang di kalangan masyarakat Islam. Misalnya talqin bagi
orang yang meninggal di atas kuburan pada waktu berlangsungnya pemakaman.
Gejala-gejala kepercayaan itu dapat diamati dalam proses berlangsungnya talqin.
Sebagai
sistem budaya, agama juga dapat didekati melalui norma (aturan) yang ditentukan
serta berlaku pada setiap agama.[21]
Banyak norma yang diajarkan oleh agama menjadi tuntunan peraturan bagi para
pengikut agama yang bersangkutan. Secara empirik, norma-norma agama itu dapat
dipelajari dan diamati dengan memperhatikan gejala-gejala ketentuan hukum atau
aturan yang diberlakukan dalam masyarakat beragama. Normanya sendiri barangkali
secara konkrit tidak dapat disaksikan, karena bersifat kognitif. Namun
gejala-gejala tentang adanya norma agama dapat dilihat dari ketentuan hukum
yang berlaku, peraturan, undang-undang, kaidah, dan rambu-rambu peringatan
dalam kitab suci. Misalnya dalam Gereja Katolik ada ketentuan Pastor tidak
boleh menikah sepanjang hidupnya selama mengemban tugas sebagai imam (karena
dianggap wakil tuhan yang harus senantiasa berkonsentrasi dalam memberikan
pelayanan pada umat), ketentuan untuk mengaku dosa bagi orang Katolik yang
telah melakukan dosa sendiri, serta ketentuan memakan roti dan minum anggur
dalam setiap sakramen. Gejala norma agama juga dapat dipelajari dalam ajaran
Budha, berkaitan dengan keharusan jalan kebenaran serta menjauhi larangan untuk
berkata dusta dan mengambil hak orang lain. Dalam ajaran Islam juga banyak
mengandung norma agama, yang gejalanya dapat diperhatikan dari adanya
ketentuan-ketentuan tentang jenis makanan dan minuman yang halal dan yang
haram, larangan berbuat zina, larangan memakan riba, dan lain sebagainya.
Di
dalam agama secara empirik sistem nilai tidak dapat diamati langsung, karena
bersifat abstrak. Menurut ajaran agama, nilai baik dan buruk hanya dapat didekati
berdasarkan kepercayaan masing-masing umat yang bersangkutan, begitu pula
dengan nilai dosa dan pahala. Pengamatan hanya dapat dilakukan terhadap gejala-gejala
sikap orang beragama ketika melakukan suatu perbuatan atau menghindari suatu
perbuatan. Seorang muslim misalnya, begitu semangat dalam melakukan ibadah,
begitu semarak menyambut datangnya bulan puasa, berani mengorbankan harta
benda, untuk menunaikan ibadah haji ke Kota Mekkah dan lain sebagainya. Apabila
diamati hal-hal tersebut memiliki motivasi tinggi dalam mengejar nilai-nilai
pahala yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Begitu juga
sebaliknya ketaatan menjauhi larangan berbuat maksiat dan durhaka adalah
indikasi kuat bahwa yang bersangkutan takut melakukan perbuatan dosa.
Sistem
nilai yang terdapat dalam setiap agama sangat berpengaruh dalam memberikan
motivasi pada seseorang yang menjadi penganut agama yang taat, untuk
menumbuhkan kepercayaan dalam melaksanakan pengabdian dan mentaati norma-norma
yang berlaku. Secara sistematik dapat digambarkan bahwa sub sistem dalam agama
saling terkait dan tidak bisa di pisahkan. Kepercayaan seseorang kepada zat
yang dianggap Tuhan, apa dan bagaimanapun bentuknya akan mendorong seseorang
untuk melakukan pengabdian maupun penyembahan, sebagai konsekuensi logis dari
sistem keyakinan yang dianutnya. Sistem pengabdian, persembahan, kebaktian atau
peribadatan yang dilakukan secara ritual, tentu tidak akan mungkin dapat
dilaksanakan dengan baik dan benar, jika tidak ada tata aturan atau norma yang
mengaturnya. Sistem norma memberikan panduan bagi manusia dengan melaksanakan
pemujaan atau persembahan kepada zat yang dianggap Tuhan. Sistem norma juga
yang memberikan petunjuk berupa perintah dan larangan bagi pemeluk bagi suatu
agama. Sumber norma itu bisa berasal dari wahyu yang datang dan terhimpun dalam
kitab suci atau juga bisa sebagai hasil renungan para pemimpin dan tokoh agama ketika
menyepi atau menyendiri. Sistem norma memberikan dukungan terhadap kelancaran
pelaksanaan ibadah secara kondisioning, sekaligus juga memberikan
kontrol terhadap sikap dan prilaku seseorang dalam agama. Ketaatan atau
kepatuhan seseorang terhadap ajaran agama yang dianut sesungguhnya dapat
diamati dari tingkat ketaatan orang tersebut dalam mematuhi norma-norma agama
yang telah ditentukan, dan tingkat pelanggaran terhadap norma-norma tersebut.
Ketaatan orang beragama terhadap sistem norma juga tidak bisa dipisahkan dari
keberadaan sistem nilai yang memberikan harapan berupa pahala bagi orang yang
melakukan kebajikan atau ancaman berupa siksa bagi individu yang banyak berbuat
dosa.
Joachim
Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial
bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan.
Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan,
menghayati dan membayangkan Tuhan.[22]
Lebih
tegas dikatakan Geertz bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam
benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu
atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu
bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara,
ukiran, bangunan.[23]
Dapatlah
disimpulkan bahwa agama dapat menggerakkan budaya timbul dari proses interaksi
manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu
agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis,
budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan
demikian, berdasarkan materi pembahasan di atas dapat disimplkan bahwa
kehidupan manusia melalui pendekatan sistematik, akan dapat diketahui,
dipelajari, dan diteliti keberagamaan seseorang berdasarkan gejala-gejala perilaku
yang dipengaruhi oleh sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, dan sistem norma
serta nilai agama yang dianutnya.
Hal pokok
bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan
sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam
bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur
masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan
kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai makhluk beragama
merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan
menciptakan pelbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi
agama.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa agama sebagai sistem budaya merupakan pendekatan
nilai agama yang cukup sistematis yang dipengaruhi oleh norma-norma dan
nilai-nilai agama yang dianut pemeluknya.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Zainal Arifin, Perkembangan Pikiran terhadap
Agama, Jakarta: Pustaka Al
Husna,1984.
Abdul Muin, Taib Thahir, Ilmu Kalam II, Pen.
Widjaja: Jakarta, 1973.
Ali, Mukti, Etika Agama dalam Pembentukan
Kepribadian Nasional, Yayasan An-Nida’: Yogyakarta, 1969.
Andito, Atas
Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, Bandung: Pustaka
Hidayah, 1998.
Anisatun Muti’ah, dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya di
Indonesia, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta,
2009
Deradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Bulan
Bintang: Jakarta,1973.
Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama,
Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,
Jakarta: PT Ranaka Cipta,1990
Mulyono, Sumardi, Penelitian Agama, Masalah
dan Pemikiran, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 1982.
Syafa’at, Mengapa Anda Beragama
Islam, Jakarta: Widjaja 1965.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus
Bahasa Indonesia, Jakarta:Pusat Bahasa,2008.
Wach, Jaochim, Ilmu Perbandingan Agama,
Jakarta : Rajawali, 1984.
Budaya, www.wikipedia.com/budaya
diakses tanggal 10 Oktober 2010
Clifford
Geertz, The Religion as a cultural System
(Agama sebagai System Budaya). www.google.com diakses
tanggal 10 Oktober 2010
Iwan
Joeyz, Hubungan Agama dan Budaya: Tinjauan Sosiokultural, www.google.com diakses tanggal 10 Oktober
Khotimah, Makna Agama Hingga
Munculnya Agama Baru. www.google.com. diakses
tanggal 10 Oktober 2010.
[1] Zakiah Deradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan
Bintang: Jakarta,1973, hal.12
[2] Syafa’at, Mengapa Anda Beragama Islam, Jakarta:
Widjaja 1965, hal. 20
[3] Taib Thahir Abdul Muin, Ilmu Kalam II, Jakarta:
Widjaja, 1973, hal. 5
[5] Mulyono
Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Jakarta; Pustaka
Sinar Harapan, 1982. hal. 71
[6] Zainal
Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran terhadap Agama,Jakarta: Pustaka Husna,1984,hal.65
[7] Taib Thahir Abdul Muin, op.cit. hal. 5
[8]Mukti Ali, Etika Agama dalam
Pembentukan Kepribadian Nasional, Yayasan An-Nida’: Yogyakarta, 1969, hal.
9
[9]Andito, Atas
Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, Bandung: Pustaka
Hidayah, 1998. hal. 47
[10] Mulyono
Sumardi, op. cit, hal 75
[11]
Anisatun Muti’ah, dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, Jakarta:
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009, hal. 19
[12] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op.cit.hal.
225
[15]Khotimah, Makna Agama Hingga
Munculnya Agama Baru. www.google.com. Diakses tanggal
10 Oktober 2010
[16] Ibid
[17] Clifford
Geertz, The Religion as a cultural System
(Agama sebagai System Budaya). www.google.com diakses
tanggal 10 Oktober 2010
[18]Khotimah, op.cit
[19]Ibid
[20]Ibid
[21]Ibid