Kamis, 05 Desember 2013

AGAMA SEBAGAI SISTEM BUDAYA

Oleh : Zaenal Arifin

BAB I
PENDAHULUAN

Agama mempunyai kedudukan yang amat penting dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai alat untuk membentuk watak dan moral, tapi juga menentukan falsafah hidup dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti nilai-nilai dan norma-norma budaya dibentuk dari agama. Agama terbentuk bersamaan dengan permulaan sejarah umat manusia. Realita ini merangsang minat orang untuk mengamati dan mempelajari agama, baik sebagai ajaran yang diturunkan melalui wahyu, maupun sebagai bagian dari kebudayaan. Motivasi keterikatan manusia kepada agama adalah pendambaannya akan keadilan dan keteraturan. Keadilan dalam masyarakat dan alam, karena itu ia menciptakan agama dan berpegang erat kepadanya demi meredakan penderitaan-penderitaan kejiwaannya.
Ada dua hal yang menjadi alasan orang berminat dalam mempelajari agama. Pertama, agama sebagai suatu yang berguna bagi kehidupan manusia baik secara pribadi maupun mayarakat. Kedua, karena ada pandangan yang negatif terhadap agama,dimana agama hanya dianggap sebagai khayal,ilusi dan merusak masyarakat.[1]
Walaupun demikian bukan berarti bahwa semua manusia beragama, atau beragama pada kadar yang sama. Dalam sejarah tercatat bahwa ada kelompok-kelompok tertentu yang anti agama bahkan memusuhi agama, akan tetapi juga sebaliknya banyak juga kelompok-kelompok yang sangat taat dan menghayati ajaran agamanya dan terjalin baik sehingga kekuatan ghaib tersebut bisa memperkuat pribadinya. Sehingga agama dapat menjadi anutan, ikutan dan dihormati seperti imam, ulama, kyai, pendeta, pastor dan lain-lain. Oleh karena itu agama merupakan aspek yang tidak terpisahkan dari pribadi dan masyarakat.
Berdasarkan wacana di atas, kami akan mencoba membahas tentang Agama sebagai Sistem Budaya dalam rangkaian mata kuliah “Antropologi Budaya”. Dapat dirumuskan beberapa pembahasan sebagai berikut: Pertama, pengertian agama; Kedua, pengertian budaya; Ketiga, pengertian agama sebagai sistem budaya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Agama 
Untuk memberikan batasan tentang makna agama memang agak sulit dan sangat subyektif. Karena pandangan orang terhadap agama berbeda-beda. Ada yang memandangnya sebagai suatu institusi yang diwahyukan oleh Tuhan kepada orang yang dipilihnya sebagai nabi atau rasulnya, dengan ketentuan-ketentuan yang telah pasti. Ada yang memandangnya sebagai hasil kebudayaan, hasil pemikiran manusia, dan ada pula yang memandangnya sebagai hasil dari pemikiran orangorang yang jenius, tetapi ada pula yang menganggapnya sebagai hasil lamunan, fantasi, ilustrasi.[2]
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau.[3] Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia menerangkan bahwa agama adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tata peribiodata, dan tata kaidah yang bertalian dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya dengan kepercayaan itu.[4]
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal.[5]
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan.  Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons. Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan Tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 19[6]. Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
Secara terminologi makna ad-din menurut Prof. Taib Thahir Abdul Muin adalah suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa orang yang mempunyai akal memegang (menurut peraturan Tuhan itu) dengan kehendaknya sendiri tidak dipengaruhi, untuk mencapai kebaikan hidup di dunia dan di akherat.[7]
H. Mukti Ali mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang Maha Esa dan hukum yang diwahyukan kepada utusan-utusanNya untuk kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.[8] Menurut beliau ciri-ciri agama itu adalah:
o   Mempercayai adanya Tuhan yang Maha Esa
o   Mempunyai kitab suci dari Tuhan yang Maha Esa
o   Mempunyai rasul/utusan dari Tuhan yang Maha Esa
o   Mempunyai hukum sendiri bagi kehidupan penganutnya berupa perintah dan larangan
Sedangkan Komaruddin Hidayat berpendapat lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.[9]
Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.
Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata’ala dalam Islam.
Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut:
“Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta isinya”.[10]
Uraian Sijabat ini menekankan agama sebagai hasil refleksi manusia terhadap panggilan yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam hidup manusia yang terwujud dalam hubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta raya dengan segala isinya. Pandangan itu mengatakan bahwa agama adalah suatu gerakan dari atas atau wahyu yang ditanggapi oleh manusia yang berada dibawah.
B.     Pengertian Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.[11]
Dalam Kamus Bahasa Indonesia diterangkan bahwa  buday adalah hasil pikiran, akal budi manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat-istiadat.[12]
Budaya menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.[13]
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.[14] Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam masyarakat  adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam pikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup.
C.    Agama sebagai Sistem Budaya

Agama sebagai sistem budaya yang bersifat kognitif, meliputi unsur-unsur pokok yang di dalamnya terdapat knowled (pengetahuan), belief (kepercayaan), value (nilai) dan norma-norma. Melalui ajaran-ajarannya, agama memberikan sumbangan pengetahuan yang sangat berharga bagi manusia untuk mengetahui sesuatu yang mungkin tidak ditemukan melalui akal pikiran. Berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari agama, timbul suatu kepercayaan dalam diri seseorang terhadap sesuatu yang mungkin dia sendiri belum pernah melihatnya. Menurut William Howells mengatakan bahwa percaya dalam agama adalah penerimaan suatu ide (gagasan) secara khusus dengan sikap yang lebih mendalam dan tidak membutuhkan formulasi yag sangat jelas. Percaya adalah perasaan yang sangat kuat bahwa ada kekuatan yang luar biasa di alam raya.[15]
Agama juga memberikan sumbangan berupa nilai-nilai hidup yang dapat dijadikan ukuran untuk menentukan baik dan buruk, dilarang atau dibolehkan dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Nilai agama-agama tersebut sudah barang tentu telah diwujudkan dalam kehidupan yang nyata serta dalam bentuk aturan-aturan (norma) yang diberlakukan dalam kehidupan bersama. Agama juga telah memberikan sumbangan berupa aturan-aturan (norma) sebagai pedoman yang harus dilaksanakan agar manusia atau masyarakat dapat memperoleh kehidupan yang baik.
Sebagai suatu sistem budaya, agama berfungsi memberikan pengawasan (kontrol) terhadap sistem-sistem lain yang bersifat kondusif. Oleh karena itu, eksistensi agama tidak akan bermakna tanpa melibatkan sistem sosial dalam bentuk organisasi, lembaga atau pranata-pranata (sistem sosial). Sistem sosial juga hanya akan menjadi lambang yang tidak bermakna tanpa di dukung sistem kepribadian dan sistem perilaku dalam bentuk pengamalan keagamaan yang berkembang secara individual dalam masyarakat. secara konkrit, sistem kepribadian dan system perilaku keagamaanlah yang mendukung keberadaan suatu agama. Dengan kata lain, agama sebagai sistem budaya berfungsi memberikan pengawasan (controling) dan tidak bisa lepas dari sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem perilaku yang mendukung eksitensi agama dalam kehidupannya (conditioning).[16]
Pendekatan sistematik memandang agama sebagai suatu sistem budaya karena agama mengandung seperangkat sistem pengetahuan kepercayaan, norma dan nilai, yang secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan, di mana satu sama lain saling mengontrol dan mendukung. Sistem pengetahuan (knowledge), sistem kepercayaan (bilief), norma (norms) dan nilai (values) yang terkandung dalam agama, secara kognitif memang baru merupakan gagasan yang abstrak, dan harus direalisasikan dalam wujud yang lebih konkrit. Manifestasi dari itu, secara sistematis memerlukan sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem perilaku untuk mendukung wujud agama yang sebenarnya. Melalui sistem sosial, agama dapat dilihat eksistensinya dari jenis-jenis organisasi, lembaga, institusi yang mengindikasikan warna agama. Tetapi hal ini pun belum benar-benar konkrit sebelum didukung oleh penampilan kepribadian, performance dan lebih konkrit lagi dengan melihat behavior (perilaku atau amal) dari para pemeluk agama yang bersangkutan.[17]
Agama sebagai sistem budaya hanya dapat dipelajari, diketahui dan dimengerti melalui simbol-simbol yang berlaku di masing-masing agama. Itu sebabnya Geertz menyebutkan agama sebagai juga sebagai sistem simbol (The Religion is a System of Syimbols).[18] Hakikat yang bisa dipelajari dan diamati adalah simbol-simbol agama yang diangap sakral. Nama Allah dalam sistem keyakinan Islam misalnya, tidak bisa diwujudkan secara kasat mata, karena Allah itu Maha Ghaib. Ada tetapi tidak mungkin kita bisa melihat-Nya. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw. memantapkan strategi keimanan seseorang dengan cara menyembah Allah, seakan-akan kita melihat-Nya. Andai kata kita tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah tetap melihat kita. Ketika kita yakin sedang ”menyembah” Allah, yang kita baca dan kita saksikan dalam kehidupan beragama sehari-hari adalah symbol-Nya, bukan hakikat wujud-Nya, karena sistem budaya hanya bersifat kognitif. Sedangkan yang abstraksinya dapat disaksikan melalui sistem pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai yang terkandung dalam ajaran agama.
Pendekatan terhadap sistem pengetahuan, dapat dilakukan dengan mempelajari kitab-kitab suci agama, catatan-catatan kuno tentang wahyu yang pernah diturunkan (manuskrip, lembaran-lembaran ayat suci (suhuf) atau ucapan-ucapan nabi pembawa agama (hadits).
Sistem pengetahuan alam misalnya, dapat dipelajari melalui kitab suci al- Qur’an, hadits Rasulullah, ucapan sahabat atau ulama yang terhimpun dalam kitab tersendiri. Sistem pengetahuan mengandung informasi tentang kejadian alam, hakikat Tuhan yang telah menciptakan alam itu serta sejarah peradaban manusia; yang secara keseluruhan perlu diketahui oleh manusia. Dengan pengetahuan itu, manusia akan menyadari keberadaan dirinya di sisi Tuhan, yang pada akhirnya mengantarkan seseorang lebih mengenal Tuhannya sebagai pencipta, sehingga manusia semakin yakin siapa Tuhan yang layak dipuja dan disembah. Sistem kepercayaan akan dirasakan lebih kuat jika didasarkan pada sistem pengetahuan yang dimiliki. Melalui kajian terhadap diri dan alam sekitar, akhirnya seseorang akan sampai juga pada pengenalan terhadap Tuhannya.
Banyak rahasia kehidupan manusia yang mungkin tidak terungkap dengan ilmu pengetahuan, karena keterbatasan akal pikiran. Namun, melalui pengetahuan yang bersumber dari agama, manusia mendapat informasi yang bersifat metafisik sekalipun, yang kadang-kadang tidak terjangkau oleh ilmu pengetahuan. Keberadaan surga dan neraka, proyeksi kehidupan manusia di akhirat, tentang terjadinya hari kiamat, kehidupan di alam kubur serta eksistensi malaikat, jin dan makhluk-makhluk ghaib, hanya dapat diperoleh informasinya melalui agama. Bahkan, pengetahuan tentang siapa hakikat Tuhan yang patut disembah, yang dianggap Maha Suci (sakral), tidak mungkin bisa diperoleh, kecuali dari agama yang dapat memberikan informasi kepada umatnya, sehingga dapat diyakini sepenuh hatinya.
Agama pada umumnya termasuk Islam, telah mengajarkan umatnya untuk percaya kepada yang ghaib. Tuhan, wahyu, kiamat, hari akhirat, malaikat, jin, setan, surga atau neraka, termasuk makhluk ghaib. Hal-hal yang disebutkan, jelas tidak dalam kategori gejala yang dapat diamati. Mungkin saja dikatakan dalam ajaran agama bahwa para nabi pernah mengalami apa yang disebut proses menerima wahyu atau berkomunikasi dengan malaikat, memperoleh keistimewaan berupa mukjizat. Hal itu semua merupakan bagian dari peristiwa ghaib yang hanya harus dipercayai dan bukan pengalaman langsung yang bisa dialami oleh manusia biasa pada umumnya. Kepercayaan dalam suatu agama yang diterima berdasarkan pengetahuan atau keyakinan sendiri, memang tidak seluruhnya dapat diteliti dan diamati, karena dalam sistem keyakinan agama itu.
Menurut Harsya W. Bachtiar membedakan kepercayaan keagamaan yang bisa diteliti adalah kepercayaan yang ghaib, tidak bisa dibuktikan berdasarkan kenyataan (empirit). Sedangkan kepercayaan yang bisa diteliti adalah kepercayaan keduniaan (tradisi) berkenaan dengan kenyataan yang diwujudkan di dunia. Kepercayaan yang bersifat tradisi inilah yang dapat dijadikan objek pengamatan antropologi, sosiologi, psikologi, arkeologi dan filologi. Banyak gagasan agama sebagai sistem budaya yang mengandung kepercayaan untuk diterima secara tradisional oleh para pengikut suatu agama. Gagasan kepercayaan misalnya tentang penyaliban Yesus dalam ajaran Gereja baik Katolik maupun Protestan merupakan sistem kepercayaan yang mutlak harus diterima oleh umat Kristen. Ada nilai-nilai dogmatika dalam Gereja, walaupun mengandung interpretasi berbeda. Menurut Gereja Katolik dogmatika berartikepercayaan yang harus diterima apa adanya dari isi Alkitab, tanpa kritik dan tanpa protes. Sedangkan Gereja Protestan memahami dogmatika sebagai upaya kajian penganut Gereja terhadap misi Alkitab, karena itu di mata umat Katoik, Alkitab tertutup untuk menerima penafsiran, selain imam yang dianggap wakil Tuhan. Sedangkan di mata kaum Protestan, Alkitab justru terbuka untuk dikaji, dipelajari dan ditelaah agar umat Gereja memperoleh pemahaman yang utuh dari kitab sucinya.[19]
Secara antropologis kepercayaan yang bersifat tradisional ini dapat disaksikan gejala-gejalanya, baik dari sistem credo (12 syahadat rasul) yang selalu dibacakan pada setiap kebaktian di Gereja atau dari tanda-tanda salib yang secara simbolik melambangkan kepercayaan terhadap penyaliban Yesus. Kepercayaan terhadap adanya roh-roh halus atau arwah yang sudah meninggal, yang kemudian dapat kembali lagi melakukan reingkarnasi dalam agama Hindu misalnya dapat disaksikan gejalanya dari tradisi yang berkembang di kalangan mereka. Menurut keyakinan umat Hindu, arwah orang yang meninggal masih berada di sekitar rumah selama satu minggu untuk mencari peluang reingkarnasi (penjelmaan kembali) ke dalam jasad keluarga yang hidup. Agar proses reingkarnasi tidak berlangsung begitu cepat, maka keluarga yang masih hidup mengadakan pertemuan di malam hari untuk berjaga-jaga, sambil membakar kemenyan dan menyebar bau kembang, sehingga arwah orang yang sudah meninggal itu tidak mungkin kembali dan mengganggu keluarga yang hidup. Kegiatan semacam ini dilanjutkan pada hari keempat puluh, ke seratus dan ke seribu, sebagai suatu tradisi yang berkesinambungan. Tradisi kepercayaan umat Hindu itu juga dapat diamati gejalanya di Indonesia, meskipun sudah tidak asli lagi karena proses sinkritisme budaya. Percampuran antar kebudayaan dan kepercayaan penduduk asli Indonesia, termasuk umat Islam di dalamnya harus diakui telah terjadi sejak awal masuknya Islam ke Indonesia.[20]
Sinkritisme budaya itu telah melahirkan tradisi tahlil setiap adanya kematian anggota keluarga. Bacaan-bacaan tahlil, tasbih, tahmid, taghfir adalah tradisi Islam yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad untuk membiasakannya sebagai kalimat thoiyyibah dalam zikir, ringan diucapkan tetapi akan menambah bobot timbangan di hari akhir. Sementara itu acara makan-makan di tempat anggota keluarga yang terkena musibah kematian, membakar kemenyan, meletakkan kembang di gelas, selamatan tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari dan seterusnya merupakan bentuk sinkritisme budaya dari agama Hindu. Gejala kepercayaan yang dapat diamati juga dijumpai di kalangan umat Islam, berkaitan dengan kehidupan di alam kubur. Umat Islam meyakini bahwa ada kehidupan di alam kubur bagi mereka yang sudah meninggal. Hal itu dapat disaksikan gejala-gejalanya dari tradisi kepercayaan yang berkembang di kalangan masyarakat Islam. Misalnya talqin bagi orang yang meninggal di atas kuburan pada waktu berlangsungnya pemakaman. Gejala-gejala kepercayaan itu dapat diamati dalam proses berlangsungnya talqin.
Sebagai sistem budaya, agama juga dapat didekati melalui norma (aturan) yang ditentukan serta berlaku pada setiap agama.[21] Banyak norma yang diajarkan oleh agama menjadi tuntunan peraturan bagi para pengikut agama yang bersangkutan. Secara empirik, norma-norma agama itu dapat dipelajari dan diamati dengan memperhatikan gejala-gejala ketentuan hukum atau aturan yang diberlakukan dalam masyarakat beragama. Normanya sendiri barangkali secara konkrit tidak dapat disaksikan, karena bersifat kognitif. Namun gejala-gejala tentang adanya norma agama dapat dilihat dari ketentuan hukum yang berlaku, peraturan, undang-undang, kaidah, dan rambu-rambu peringatan dalam kitab suci. Misalnya dalam Gereja Katolik ada ketentuan Pastor tidak boleh menikah sepanjang hidupnya selama mengemban tugas sebagai imam (karena dianggap wakil tuhan yang harus senantiasa berkonsentrasi dalam memberikan pelayanan pada umat), ketentuan untuk mengaku dosa bagi orang Katolik yang telah melakukan dosa sendiri, serta ketentuan memakan roti dan minum anggur dalam setiap sakramen. Gejala norma agama juga dapat dipelajari dalam ajaran Budha, berkaitan dengan keharusan jalan kebenaran serta menjauhi larangan untuk berkata dusta dan mengambil hak orang lain. Dalam ajaran Islam juga banyak mengandung norma agama, yang gejalanya dapat diperhatikan dari adanya ketentuan-ketentuan tentang jenis makanan dan minuman yang halal dan yang haram, larangan berbuat zina, larangan memakan riba, dan lain sebagainya.
Di dalam agama secara empirik sistem nilai tidak dapat diamati langsung, karena bersifat abstrak. Menurut ajaran agama, nilai baik dan buruk hanya dapat didekati berdasarkan kepercayaan masing-masing umat yang bersangkutan, begitu pula dengan nilai dosa dan pahala. Pengamatan hanya dapat dilakukan terhadap gejala-gejala sikap orang beragama ketika melakukan suatu perbuatan atau menghindari suatu perbuatan. Seorang muslim misalnya, begitu semangat dalam melakukan ibadah, begitu semarak menyambut datangnya bulan puasa, berani mengorbankan harta benda, untuk menunaikan ibadah haji ke Kota Mekkah dan lain sebagainya. Apabila diamati hal-hal tersebut memiliki motivasi tinggi dalam mengejar nilai-nilai pahala yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Begitu juga sebaliknya ketaatan menjauhi larangan berbuat maksiat dan durhaka adalah indikasi kuat bahwa yang bersangkutan takut melakukan perbuatan dosa.
Sistem nilai yang terdapat dalam setiap agama sangat berpengaruh dalam memberikan motivasi pada seseorang yang menjadi penganut agama yang taat, untuk menumbuhkan kepercayaan dalam melaksanakan pengabdian dan mentaati norma-norma yang berlaku. Secara sistematik dapat digambarkan bahwa sub sistem dalam agama saling terkait dan tidak bisa di pisahkan. Kepercayaan seseorang kepada zat yang dianggap Tuhan, apa dan bagaimanapun bentuknya akan mendorong seseorang untuk melakukan pengabdian maupun penyembahan, sebagai konsekuensi logis dari sistem keyakinan yang dianutnya. Sistem pengabdian, persembahan, kebaktian atau peribadatan yang dilakukan secara ritual, tentu tidak akan mungkin dapat dilaksanakan dengan baik dan benar, jika tidak ada tata aturan atau norma yang mengaturnya. Sistem norma memberikan panduan bagi manusia dengan melaksanakan pemujaan atau persembahan kepada zat yang dianggap Tuhan. Sistem norma juga yang memberikan petunjuk berupa perintah dan larangan bagi pemeluk bagi suatu agama. Sumber norma itu bisa berasal dari wahyu yang datang dan terhimpun dalam kitab suci atau juga bisa sebagai hasil renungan para pemimpin dan tokoh agama ketika menyepi atau menyendiri. Sistem norma memberikan dukungan terhadap kelancaran pelaksanaan ibadah secara kondisioning, sekaligus juga memberikan kontrol terhadap sikap dan prilaku seseorang dalam agama. Ketaatan atau kepatuhan seseorang terhadap ajaran agama yang dianut sesungguhnya dapat diamati dari tingkat ketaatan orang tersebut dalam mematuhi norma-norma agama yang telah ditentukan, dan tingkat pelanggaran terhadap norma-norma tersebut. Ketaatan orang beragama terhadap sistem norma juga tidak bisa dipisahkan dari keberadaan sistem nilai yang memberikan harapan berupa pahala bagi orang yang melakukan kebajikan atau ancaman berupa siksa bagi individu yang banyak berbuat dosa.
Joachim Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan.[22]
Lebih tegas dikatakan Geertz bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.[23]
Dapatlah disimpulkan bahwa agama dapat menggerakkan budaya timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan demikian, berdasarkan materi pembahasan di atas dapat disimplkan bahwa kehidupan manusia melalui pendekatan sistematik, akan dapat diketahui, dipelajari, dan diteliti keberagamaan seseorang berdasarkan gejala-gejala perilaku yang dipengaruhi oleh sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, dan sistem norma serta nilai agama yang dianutnya.
Hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai makhluk beragama merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan pelbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi agama.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa agama sebagai sistem budaya merupakan pendekatan nilai agama yang cukup sistematis yang dipengaruhi oleh norma-norma dan nilai-nilai agama yang dianut pemeluknya.



DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Zainal Arifin, Perkembangan Pikiran terhadap Agama, Jakarta: Pustaka  Al Husna,1984.
Abdul Muin, Taib Thahir, Ilmu Kalam II, Pen. Widjaja: Jakarta, 1973.
Ali, Mukti, Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional, Yayasan An-Nida’: Yogyakarta, 1969.
Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Anisatun Muti’ah, dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009
Deradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang: Jakarta,1973.
Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Ranaka Cipta,1990
Mulyono, Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Jakarta;  Pustaka Sinar Harapan, 1982.
Syafa’at, Mengapa Anda Beragama Islam, Jakarta: Widjaja 1965.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:Pusat Bahasa,2008.
Wach, Jaochim, Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta : Rajawali, 1984.
Budaya, www.wikipedia.com/budaya diakses tanggal 10 Oktober 2010
Clifford Geertz, The Religion as a cultural System (Agama sebagai System Budaya). www.google.com diakses tanggal 10 Oktober 2010
Iwan Joeyz, Hubungan Agama dan Budaya: Tinjauan Sosiokultural, www.google.com diakses tanggal 10 Oktober
Khotimah, Makna Agama Hingga Munculnya Agama Baru. www.google.com. diakses tanggal 10 Oktober 2010.






[1] Zakiah Deradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang: Jakarta,1973, hal.12
[2] Syafa’at, Mengapa Anda Beragama Islam, Jakarta: Widjaja 1965, hal. 20
[3] Taib Thahir Abdul Muin, Ilmu Kalam II, Jakarta: Widjaja, 1973, hal. 5
[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:Pusat Bahasa,2008, hal. 17
[5] Mulyono Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Jakarta;  Pustaka Sinar Harapan, 1982. hal. 71
[6] Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran terhadap Agama,Jakarta: Pustaka  Husna,1984,hal.65
[7] Taib Thahir Abdul Muin, op.cit. hal. 5
[8]Mukti Ali, Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional, Yayasan An-Nida’: Yogyakarta, 1969, hal. 9
[9]Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. hal. 47
[10] Mulyono Sumardi, op. cit, hal 75
[11] Anisatun Muti’ah, dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009, hal. 19
[12] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, op.cit.hal. 225
[13] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Ranaka Cipta,1990. hal. 180
[14] Budaya, www.wikipedia.com/budaya diakses tanggal 10 Oktober 2010
[15]Khotimah, Makna Agama Hingga Munculnya Agama Baru. www.google.com. Diakses tanggal 10 Oktober 2010
[16] Ibid
[17] Clifford Geertz, The Religion as a cultural System (Agama sebagai System Budaya). www.google.com diakses tanggal 10 Oktober 2010
[18]Khotimah, op.cit
[19]Ibid
[20]Ibid
[21]Ibid
[22]Jaochim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta : Rajawali, 1984. hal. 187
[23]Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1992. hal. 13

SIFAT-SIFAT DAI DALAM AL-QUR'AN

Oleh : Zaenal Arifin

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat merupakan salah satu miniatur pemerintahan sebuah negara. Karena di masyarakatlah sebuah sistem keteraturan diberlakukan. Sistem keteraturan yang dimaksud adalah tata nilai yang masih dipertahankan seperti etika dan moral dalam cakupan agama.
Bersentuhan dengan nilai dalam ajaran agama, maka masyarakat perlu mengetahui dan mengerti dengan benar persepsi terhadap penyampai ajaran agama tersebut. Secara sederhana dalam Islam penyampaian ajaran agama biasanya disebut dakwah dan orang yang berperan sebagai penyampai ajarannya disebut da’i.[1]
Realita sosial menunjukan bahwa banyak para da’i mengalami kegagalan dalam berdakwah, baik itu di lingkungan sang da’i sendiri maupun di tempat yang lain. Hal ini bisa terjadi karena sebagian da’i tersebut belum mampu membekali dirinya dengan sifat-sifat dai yang dapat diterima oleh masyarakat.  Hal ini mesti dipahami oleh seorang da’i sebelum ia terjun ke lapangan dan wajib bagi seorang da’i untuk mengetahui dengan benar bagaimana keadaan objek dakwah, baik dari karakter maupun kebiasaannya bahkan status sosialnya sekalipun. Agar kita tidak salah langkah dalam bersikap di tengah masyarakat.
Kita bisa menilai betapa pentingnya sifat-sifat dai untuk kelancaran dakwah, sehingga Allah swt. memberikan penjelasan terkait dengan sifat dai dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang berbeda-beda. Sebagai seorang da’i harus memahami bagaimana nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits menuntun seorang da’i dengan bekal ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat dai. Karena pemahaman sifat-sifat dai sangatlah penting, mengingat sikap mad’u terhadap sang da’i sangat berusaha untuk mengidentikkan diri mereka sebaik da’i bertingkah laku dalam kesehariannya.
Di dalam al Qur’an, menerangkan beberapa sifat-sifat dai yang dibutuhkan bagi seorang dai sebagai modala utama dalam kegiatan berdakwahnya. Agar daia tersebut mampu mengajak dan menyerukan nilai-nilai dakwah kepada mad’u dapat diterima dengan baiak, sehingga tujuan dakwah itu sendiri akan lebih mudah tersampaikan. Diantara sifat dai yang diterangkan dalam al Qur’an, antara lain dai yang berwawasan luas, dai yang amanat dan adil, dai yang selektif terhadap berita, dan dai yang toleran terhadap suatu kaum.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba merumuskan masalah yang akan diuraikan lebih lanjut, yaitu Bagaimana sifat-sifat dai yang diteranglan di dalam al Qur’an? Diantaranya:
1.      Bagaimana seorang dai yang berwawasan luas menurut al Qur’an?
2.      Bagaimana  seorang dai yang amanat dan adil menurut al Qur’an?
3.      Bagaiamana seorang dai harus selektif terhadap berita menurut al Qur’an?
4.      Bagaiamana seorang dai harus toleran terhadap suatu kaum menurut al Qur’an?



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Dai yang Berwawasan Luas

Dakwah dalam Islam merupakan tugas yang sangat mulia, merupakan tugas para Nabi dan Rasul, juga merupakan tanggung jawab setiap muslim. Dakwah bukanlah pekerjaan yang mudah, semudah membalikan telapak tangan, juga tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Seorang dai harus mempunyai persiapan yang matang baik dari segi keilmuan atau dari segi akhlaq. Sangat sulit dibayangkan bahwa suatu dakwah akan berhasil, jika seorang dai tidak mempunyai ilmu pengetahuan yang memadai dan bertingkah laku buruk baik secara pribadi ataupun sosial.
Sosok dai tauladan yang memiliki kepribadian sangat tinggi dan tak pernah kering digali adalah pribadi Rasulullah Saw. Ketinggian kepribadian Rasulullah Saw dapat dilihat dari pernyataan al-Qur’an, pengakuan Rasulullah Saw sendiri, dan kesaksian sahabat yang mendampinginya.[2]
Allah berfirman dalam QS Al-Mujadalah:11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Menurut pendapat as-Sa’labi, kata tafassahu dalam al-Qur’an disebut hanya sekali ini. Ia merupakan fi’il amr (kata kerja yang menunjukkan perintah), dari tafassaha-yatafassahu-tafassuhan, yang artinya tawassa’u (berilah keluasan). Perintah serupa itu biasanya ditujukan kepada orang-orang yang hadir dalam suatu tempat dalam situasi berdesak-desakan, agar melonggarkan diri, atau memberi kesempatan kepada orang lain untuk masuk, sehingga memperoleh kesempatan untuk duduk atau berada di tempat itu. Orang-orang yang hadir terlebih dahulu diminta melonggarkan tempat yang telah ditempati, untuk ditempati orang-orang yang baru datang yang kedudukan dan martabatnya lebih terpandang di lingkungan masyarakat setempat. Tafassaha kata dasarnya al-fash yang artinya luas, longgar, lapang. Jadi, tafassahu artinya berikan keluasan, atau kelapangan tempat untuk orang yang baru datang.
Sedangkan kata unsyuzu adalah fi’il amr (kata kerja yang menunjukkan perintah), dari nasyaza-yansyuzu-nasyza. An-nasyzu dalam kamus artinya kana qa’idan faqama (dalam keadaan duduk lalu berdiri). Perintah unsyuzu ditujukan kepada orang-orang yang dalam keadaan duduk agar mereka berdiri menyerahkan tempat duduknya kepada orang lain, untuk menghormati orang yang baru datang. Pengertian yang dimaksud dari perintah unsyuzu adalah berdirilah, bergeser, dan berikan kelonggaran kepada saudara-saudaramu.
Pada ayat-ayat yang sebelumnya, Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar menghindari diri dari perbuatan berbisik-bisik dan perundingan rahasia, karena hal itu akan menimbulkan rasa tidak enak kepada kaum Muslimin lainnya yang tidak ikut, kecuali jika hal itu sangat perlu dilakukan untuk melakukan perbuatan kebajikan dan perbuatan taqwa. Dalam ayat berikut ini diterangkan cara-cara yang dapat menimbulkan rasa persaudaraan di dalam suatu pertemuan, seperti memberi tempat kepada teman-teman yang baru datang jika tempat masih memungkinkan.
Adapun sabab nuzul ayat di atas, ada riwayat yang mengatakan bahwa ayat di atas turun pada hari jumat. Ketika itu Rasul saw berada di satu tempat yang sempit, dan telah menjadi suatu kebiasaan beliau memberi tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam perang Badr, karena besarnya jasa mereka. Ketika majlis tengah berlangsung, beberapa orang diantara sahabat-sahabat tersebut hadir, lalu mengucapkan salam kepada Rasul saw. Rasul pun menjawab, selanjutnya mengucapkan salam kepada hadirin, yang juga dijawab, namun mereka tidak memberi tempat. Para sahabat itu terus saja berdiri, maka rasul memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang lain-yang tidak terlibat dalam perang Badr untuk mengambil tempat lain agar para sahabat yang berjasa itu duduk di dekat rasul. Perintah rasul itu, mengecilkan hati mereka yang disuruh berdiri, dan ini digunakan oleh kaum munafikin untuk memecah belah dengan berkata: Katanya Muhammad berlaku adil, tetapi ternyata tidak. Rasul mendengar kritik itu bersabda: Allah merahmati siapa yang memberi kelapangan bagi saudaranya. Kaum beriman menyambut tuntunan rasul dan ayat di atas pun turun mengukuhkan perintah dan sabda rasul itu.
Apa yang dilakukan Rasul saw terhadap sahabat-sahabat beliau yang memiliki jasa besar itu, dikenal juga dalam pergaulan internasional dewasa ini. Kita mengenal ada yang dinamai peraturan protokoler, di mana penyandang kedudukan terhormat memiliki tempat-tempat terhormat di samping Kepala Negara, karena memang seperti  penegasan dalam al-Qur’an surah an-Nisa: 95 dan surah al-Hadid: 10.[3]
Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa jika di antara kaun Muslimin ada yang diperintahkan Rasulullah saw berdiri untuk memberikan kesempatan kepada orang tertentu untuk duduk, atau mereka diperintahkan pergi dahulu, hendaklah mereka berdiri atau pergi, karena beliau ingin memberikan penghormatan kepada orang-orang itu, ingin menyendiri untuk memikirkan urusan-urusan agama, atau melaksanakan tugas-tugas yang perlu diselesaikan dengan segera.[4]
Jika dipelajari maksud ayat di atas, ada suatu ketetapan yang ditentukan ayat ini, yaitu orang-orang menghadiri suatu majelis baik yang datang pada waktunya atau yang terlambat, selalu menjaga suasana yang baik, penuh persaudaraan dan saling bertenggang rasa. Bagi yang lebih dahulu datang, hendaklah memenuhi tempat di muka, sehingga orang yang datang kemudian tidak perlu melangkahi atau mengganggu orang yang telah lebih dahulu hadir. Bagi orang yang terlambat datang, hendaklah rela dengan keadaan yang ditemuinya, seperti tidak ada tempat duduk.
Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-derajat yakni yang lebih tinggi dari yang sekadar beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperanan besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu.
Tentu saja yang dimaksud dengan alladzina utu al-‘ilm/yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dngan pengetahuan. Ini berarti ayatdi atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekadar beriman dan beramal saleh, dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan, atau tulisan maupun dengan keteladanan.
Syaikh Mustafa Mansur, dalam bukunya Fiqhud Dakwah menjelaskan bahwa seorang dai mesti memiliki wawasan berfikir yang mencakup tiga aspek dasar. Pertama, memahami Islam secara betul dan menyeluruh yang memungkinkan da’i dapat melaksanakan Islam dengan pelaksanaan yang benar terhadap dirinya, dan dengan itu pula ia dapat menyampaikan Islam dengan baik kepada orang lain. Kedua, para dai mesti mengetahui kondisi dan situasi dunia islam dulu dan sekarang, mengetahui peristiwa-peristiwa aktual yang mempengaruhi kaum muslimin, mengetahui siapakah golongan yang bergerak dibidang dakwah, kecenderungan dan cara-cara mereka, bagaimana bentuk kerjasama yang bisa dilakukan dengan mereka. Ketiga, para dai harus menyampaikan untuk memantapkan speliasasi ilmu yang berkaitan dengan urusan hidup manusia seperti kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi dan lain-lain. Seorang calon dai harus meningkatkan profesioanalismenya dalam bidang bidang keilmuan yang digelutinya.[5]
Seorang dai mestilah melengkapi dirinya dengan ilmu pengetahuan agar pekerjaanya dapat mencapai hasil efektif dan efisien. Pengetahuan seorang dai meliputi pengetahuan yang berhubungan dengan materi dakwah yang disampaikan dan ilmu pengetahuan  yang erat hubungannya dengan teknik-teknik dakwah. Sekurang-kurangnya seorang dai harus memiliki kapasitas ilmu pengetahuan tentang al-Qur’an dan Hadits. Kita mengetahui bersama bahwa al-Qur’an mempunyai fungsi sebagai petunjuk hidup (hudan), nasihat bagi yang membutuhkan (mau’idzah) dan pelajaran (‘ibarat) yang oleh karena itu selalu menjadi rujukan dalam menghadapi setiap permasalahan. Tentang Sunnah, seorang dai minimal harus mengetahui keshahihan suatu hadits, selain itu perlu juga untuk mengetahui riwayat hidup nabi, para sahabat dan sebagian besar ulama salaf. Seorang dai sedikit banyak juga harus mengetahui hukum islam dan metodologi penetapan hukum yang bersifat praktis.
Untuk menjadikan pesan dakwah sampai secara tepat kepada mad’u, seorang dai juga harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang semua hal yang berhubungan dengan mad’u baik bahasa, psikologis, budaya dan temperamen mad’u.

B.     Dai yang amanah dan adil

Amanah adalah sebuah kata yang telah dikenal oleh hampir semua orang. Bagi yang telah mengenal kata amanah mungkin sudah tahu apa itu arti atau makna dari kata amanah tersebut. Namun masih banyak yang tidak tahu sama sekali dan ada juga hanya tahu maknanya secara samar-samar. Apa yang disebut dengan amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya. Dalam agama Islam, dai harus mempunyai sikap seperti inilah yang dinamakan shiddiq dalam mengemban tugas dakwahnya. Makanya amanah itu ber-nilai tak terhingga.
Sedangkan kata adil sering disinonimkan dengan kata al musawah (persamaan) dan al qisth (seimbang) dan kata adil dilawankan dengan kata dzalim. Prinsip ini benar-benar merupakan akhlak mulia yang sangat ditekankan dalam syari’at Islam terutama seorang dai, sehingga wajar kalau tuntunan agama semuanya dibangun di atas dasar keadilan dan seluruh lapisan manusia diperintah untuk berlaku adil. Adil adalah memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya tanpa ada pengurangan, dan meletakkan segala urusan pada tempat yang sebenarnya tanpa ada aniaya, dan mengucapkan kalimat yang benar .
Allah berfirman dalam QS an-Nisa: 58
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Pada ayat yang sebelumnya (an-Nisa:57) diterangkan besarnya pahala dan balasan bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka pada ayat-ayat ini diterangkan bahwa di antara amal-amal saleh yang penting adalah melaksanakan amanat dan menetapkan hukum antara manusia dengan adil dan jujur.
Adapun sabab nuzul ayat di atas, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa setelah Rasulullah saw memasuki kota Mekkah pada hari pembebasannya, Usman bib Talhah pengurus Ka’bah pada waktu itu menguasai pintu Ka’bah. Ia tidak mau memberikan kunci Ka’bah kepada Rasulullah saw. Kemudian Ali bin Abi Thalib merebut kunci Ka’bah itu dari Usman bin Talhah secara paksa dan membuka Ka’bah, lalu Rasulullah masuk ke dalam Ka’bah dan shalat dua raka’at. Setelah beliau keluar dari Ka’bah tampillah paman Abbas ke hadapannya dan meminta agar kunci itu diserahkan kepadanya dan meminta diberi jabatan pemeliharaan Ka’bah dan jabatan penyediaan air untuk jamaah haji, maka turunlah ayat ini, lalu Rasulullah saw memerintahkan Ali bin Abi Thalib mengembalikan kunci Ka’bah jepada Usman bin Talhah dan meminta maaf kepadanya atas perbuatannya merebut kunci itu secara paksa.
Surah an-Nisa ayat 58 di atas, memerintahkan agar menyampaikan amanat kepada yang berhak. Pengertian amanat dalam ayat ini, ialah sesuatu yang dipercayakan  kepada seseorang untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kata amanat dengan pengertian ini sangat luas, meliputi amanat Allah kepada hamba-Nya, amanat seseorang kepada sesamanya dan terhadap dirinya sendiri.[6]
Amanat Allah terhadap hamba-Nya yang harus dilaksanakan antara lain: melaksanakanapa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Semua nikmat Allah berupa apa saja hendaklah kita manfaatkan untuk taqqarub (mendekatka diri) kepada-Nya.
Amanat seseorang terhadap sesemanya yang harus dilaksanakan antara lain: memgembalikan titipan kepada yang punya dengan tidak kurang satu apapun, tidak menipunya, memelihara rahasia dan lain.
Sedangkan amanat seseorang terhadap dirinya sendiri, seperti berbuat sesuatu yang menguntungkan dan bermanfaat bagi dirinya dalam soal dunia dan agamanya. Janganlah  ia membuat hal-hal yang membahayakannya di dunia dan di akhirat, dan lain-lainnya.
Agama mengajarkan bahwa amanah/kepercayaan adalah asas keimanan berdasarkan sabda Nabi saw. Tidak ada iman bagi yang memiliki amanah. Selanjutnya, amanah yang merupakan lawan dari khianat adalah sendi utama interaksi. Amanah tersebut membutuhkan kepercayaan dan kepercayaan itu melahirkan ketenangan batin yang selanjutnya melahirkan keyakinan.[7]
Ajaran yang sangat baik ini yaitu melaksanakan amanah dan hukum dengan seadil-adilnya, jangan sekali-kali diabaikan tetapi hendaklah diindahkan, diperhatikan dan diterapkan dalam kehidupan kita, untuk dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

C.     Dai yang selektif dalam berita

Seorang dai mestilah berhati-hati dari terjebak pada sikap terburu-buru atau tergesa-gesa, sikap kaku dan keras. Wajib atas dai untuk bersabar, wajib untuk bijak dalam dakwah. Allah berfirman dalam QS al-Hujurat:6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Kata Fatabayyanu artinya maka periksalah dengan teliti. Kata jadiannya(masdar) adalah tabayyun. Akar katanya adalah ba’-ya’-nun yang artinya berkaisar pada jauhnyasesuatu dan terbuka. Dari sini muncul arti jelas. Talaq ba’in adalah talak ketiga yang sudah jelas, tidak bisa dirujuk kembali. Bayyinah adalah bukti karena bisa menjelaskan kepada yang sedang berpekara. Ayat ini menjelaskan bahwa jika ada kabar yang datang dari orang yang fasik hendaknya diperiksa terlebih dahulu, sampai jelas apakah benar atau tidak. Pada bacaan lain yang mutawatir, kata ini dibaca fatasabbatu terambil dari kata dasar subut artinya tetap. Sehingga artinya maka carilah ketetapan. Bacaan pertama dan kedua saling menguatkan, yaitu bahwa seseorang tidak begitu saja menerima kabar dari orang lain yang patut dicurigai seperti orang fasik, tetapi hendaklah selalu mencari kejelasan dan ketetapan atas kabar tersebut, terlebih lagi kabarnya berupa kabar yang penting. Semua bertujuan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Pada ayat-ayat yang lalu, Allah memberikan pelajaran kesopanan dalam pergaulan dengan  Nabi Muhammad. Pada ayat-ayat berikut ini Allah memberikan pedoman tentang penerimaan berita dari seseorang. Setiap berita yang diterima harus diselidiki dahulu sumbernya sebab mungkin hanya dapat bersifat provokasi atau fitnah, atau pemutarbalikan keadaan sehingga dapat menimbulkan akibat yang buruk, yang membawa penyesalan karena bisa menimbulkan korban yang sebenarnya dapat dihindari sekiranya berita itu diselidiki dahulu kebenarannya.
Adapun sabab nuzul ayat di atas, diriwayatkan oleh Ibnu ’Abbas bahwa ayat keenam ini diturunkan karena peristiwa al-Walid bin Abi Mu’ait yang diutus oleh Rasulullah kepada kabilah Bani al-Mustaliq untuk memungut zakat dari mereka. Tatkala berita itu sampai kepada Bani al-mustaliq, mereka gembira sekali sehingga beramai-ramai keluar dari kampung halaman mereka untuk menjemput kedatangan utusan itu. Sebelum sampai ke sana, ada seorang munafik memberitahukan kepada al-Walid yang sedang dalam perjalanan menuju Bani al-Mustaliq bahwa mereka telah murtad, menolak, dan tidak mau membayar zakat. Bahkan mereka itu teleh mengadakan demontrasi dan berhimpun diluar kota untuk mencegat kedatangannya. Setelah al-Walid menerima berita itu, segera ia kembali ke Madinah dan melaporkan keadaan Bani al-Mustaliq kepada Rasulullah saw beliau sangat marah mendengar berita yang buruk itu dan menyiapkan pasukan tentara untuk menhadapi orang-orang dari kabilah Bani al-mustaliq yang dianggap menbangkang itu.
Sebelum tentara itu diberangkatkan, suadah datang utusan dari Bani al-Mustaliq menghadap kepada Rasulullah saw seraya berkata Ya Rasulullah, kedatangan kami ke sini adalah untuk bertanya mengapa utusan Rasulullah saw tidak sampai kepada kami untuk memungut zakat, bahkan kembali dari tengah perjalanan? Kami mempunyai dugaan bahwa timbul salah pengertian diantara utusanmu dengan kami yang menyebabkan timbulnya keruwetan ini. Maka turunlah ayat ini.
Dalam ayat ini Allah memberitakan peringatan kepada kaum mukminin, terutama seorang dai, jika datang kepada mereka seorang fasik membawa berita tentang apa saja, agar tidak tergesa-gesa menerima berita itu sebelum diperiksa dan diteliti dahulu kebenaraannya. Sebelum diadakan penelitian yang seksama jangan cepat percaya kepada berita dari orang fasik, karena seorang yang tidak memperdulikan kefasikannya, tentu juga tidak akan memperdulikan kedustaan berita yang disampaikannya. Perlunya berhati-hati dalam menerima berita adalah untuk menghindarkan penyesalan akibat berita yang tidak diteliti atau berita bohong itu. Penyesalan yang akan timbul sebenarnya dapat dihindari jika bersikap lebih hati-hati.[8]
Ayat ini memberikan pedoman bagi dai supaya berhati-hati dalam menerima berita, terutama jika bersumber dari seorang yang fasik. Maksud yang terkandung dalam ayat ini adalah agar diadakan penelitian dahulu mengenai kebenarannya. Mempercayai suatu berita tanpa diselidiki kebenarannya, besar kemungkinan akan membawa korban jiwa dan harta yang sia-sia, yang hanya menimbulkan penyesalan belaka.

D.    Dai yang Toleran

Islam memberikan penjelasan-penjelasan yang jelas akan pentingnya membina hubungan baik antara muslim dengan non-muslim. Islam begitu menekankan akan pentingnya saling menghargai, saling menghormati dan berbuat baik walaupun kepada umat yang lain. Allah berfirman dalam QS al-Hujurat:11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.
Kalimat talmizu berasal dari akar kata lamaza-yalmizu-lamzan yang berarti memberi isyarat disertai bisik-bisik dengan maksud mencela. Ejekan ini biasanya langsung ditujukan kepada seseorang yang diejek, baik dengan isyarat mata, bibir, kepala, tangan, atau  kata-kata yang dipahami sebagai ejekan. Dalam at-Taubah:58 kalimat yalmizuka diartikan dengan mencela,begitu juga dalam at-Taubah:79 dan al-Humazah:1. Sebagian ulama menganggap bahwa kata lumazah dan humazah adalah mutaradif. Rajul lammaz atau imra’at lumazah berarti seseorang yang suka mengumpat dan mencela. Dalam ayat ini,  Allah menjelaskan tentang larangan melakukan lamz terhadap diri sendiri(talmizu anfusakum), padahal yang dimaksud adalah orang lain. Pengungkapan kalimat anfusakum dimaksud bahwa antara sesama mausia adalah saudara dan satu kesatuan, sehingga apa yang diderita oleh saudara kita artinya juga diderita oleh diri kita sendiri. Maka siapa yang mencela atau mengejek orang lain sesungguhnya dia telah mengejek dirinya sendiri. Kalimat ini juga dapat diartikan agar tidak melakukan suatu tindakan yang membuat orang lain mengejek dirinya.
Tanabazu berasal dari akar kata nabaza-yanbizu-nabzan yang berarti memberi julukan dengan maksud mencela. Bentuk jamaknya adalah anbaz. Tanabazu melibatkan dua pihak  yang saling memberikan julukan. Tanabazu lebih sering digunakan untuk pemberian gelar yang buruk. Maksudnya dari tanabuza hampir sama dengan al-lamz yaitu mencela, hanya dalam tanabazu ada makna keterusterangan dan timbal balik. Seseorang yang melakukan lamz belum tentu di hadapan orang yang dicelanya, tetapi kalau tanabazu dilakukan dengan terang-terangan dihadapan yang bersangkutan memanggil gengan panggilan yang buruk. Hal ini tentu saja mengundang siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu akan membalas dengan panggilan serupa atau lebih burk lagi, sehingga terjadilah tanabazu.
Adapun sabab nuzul ayat di atas, diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan tingkah laku kabilah Bani Tamim yang pernah berkunjung kepada Rasulullah saw, lalu mereka memperolok-olok beberapa sahabat yang fakir dan miskin seperti ‘Ammar, Suhaib, Bilal, Khabbab, Salman dan lain-lain karena pakaian mereka sangat sederhana.
Ada pula yang mengaitkan penurunan ayat ini dengan situasi di madinah. Ketika Rasulullah saw tiba dikota itu, orang-orang Ansar banyak yang mempunyai nama lebih dari satu. Jika mereka dipanggil oleh kawan mereka, yang kadang-kadang dipanggil dengan nama yang tidak disukainya, dan setelah hal itu dilaporkan kepada Rasulullah saw, maka turunlah ayat ini.
Pada ayat-ayat yang lalu, Allah menerangkan bagaimana mendamaikan dua kelompok di antara kaum muslimin yang bertikai, dan orang Islam adalah bersaudara. Pada ayat-ayat berikut ini, Allah menjelaskan bagaimana sebaiknya pergaulan orang-orang mulminin di antara mereka. Di antaranya, mereka dilarang memperolok-olok saudara mereka dengan memanggil mereka dengan gelar yang buruk atau berbagai tindakan yang menjurus ke arah permusuhan dan kezaliman.
Dalam ayat ini, Allah mengingatkan kaum mukminin supaya jangan ada satu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu pada sisi Allah jauh lebih mulia dan terhormat dari mereka yang mengolok-olokkan. Demikian pula di kalangan perempuan, jangan ada segolongan perempuan yang mengolok-olok perempuan yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu pada sisi Allah lebih baik dan lebih terhormat daripada perempuan-perempuan yang mengolok-olok.
Allah melarang kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena maum mukminin semuanya harus dipandang satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan persatuan. Allah melarang pula memanggil dengan panggilan yang buruk seperti panggilan kepada seseoarang yang sudah beriman dengan kata-kata: hai fasik, hai kafir, dan sebagainya.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini, menerangkan bahwa ada seorang laki-laki pada masa mudanya mengerjakan suatu perbuatan yang buruk, lalu ia bertobat dari dosanya, maka Allah melarang siapa saja yang menyebut-nyebut lagi keburukannya di masa lalu, karena hal itu dapat membangkitkan perasaan yang tidak baik. Itu sebabnya Allah melarang memanggil denga panggilan dan gelar yang buruk.[9]
Adapun panggilan yang mengandung penghormatan tidal dilarang, seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan as-siddiq, kepada Umar dengan al-Faruq, kepada Utsman dengan sebutan Zu an-Nurain, kepada ‘Ali dengan Abu Turab dan Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah(pedang Allah).
Panggilan yang buruk dilarang untuk diucapkan setelah orangnya beriman karena gelar-gelar untuk itu mengingatkan kepada kedurhakaan yang sudah lewat, dan sudah tidak pantas lagi dilontarkan. Barang siapa tidak bertobat, bahkan terus pula memanggil-manggil dengan gelar-gelar yang buruk itu, maka mereka dicap oleh Allah sebagai orang-orang yang zalim terhadap diri sendiri dan pasti akan menerima konsekuensinyaberupa azab dari Allah pada hari kiamat.




BAB III
 PENUTUP

Kesimpulan
Sifat-Sifat dai merupakan sesuatu hal yang penting bagi kelancaran dakwah. Modal yang sangat berpengaruh terhadap sebuah hubungan yang erat antara sang dai dengan mad’unya. Bagaimana tidak, dengan sifat dai pandangan masyarakat terhadapnya akan sangat diperhitungkan, disegani, dan dicontoh terkait segala aspek kehidupan yang dijalani. Selain itu, derajat mulia pun jadi harga mati bagi seorang dai sebagai ganjarannya.
Upaya pembekalan bagi seorang dai adalah sebuah keniscayaan, sebab bagaimana mungkin kita akan mampu memberikan ruhiyah sementara pada diri kita sendiri tidak memiliki ruhiyah tersebut, sebagaimana sering kita dengar bahwa kita tak pernah bisa memberikan sesuatu jika kita sendiri tidak memiliki sesuatu itu.
Seorang dai yang bertugas menjalankan penyiaran dakwah sudah seharusnya dai memiliki sifat yang perlu di penuhi dalam kodratnya. Sifat-sifat dai ini akan memberikan wujud hasil pelaksanaan dakwah di lapangan masyarakat, dimana dai menjadi tolak ukur keberhasilan dakwah. Sifat dai yang diterangakan dalam al Qur’an di antaranya adalah: seorang dai harus mempunyai wawasan yang luas, yakni memiliki ilmu pengetahuan yang setinggi-tingginya baik ilmu agama dan ilmu secara umum. Seorang dai harus mempunyai sifat yang amanah dan adil, terutama dalam mengemban suatu permasalahan dan harus memutuskan secara adil. Seorang dai juga harus mempunyai sifat yang selektif terhadap berita maupun informasi yang diterimanya, kiranya perlu diketahui sesungguhnya apa yang sedang terjadi dalam suatu peristiwa. Selain itu, seorang dai harus memiliki sifat yang toleran, mengahargai dan menghormati terhadap mad’u dan orang-orang di sekitarnya.



DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2009.
Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah, Bandung: Widya Padjadjaran, 2009.
Hadits Web, al Qur’an dan Terjemahannya.
Mansur, Mustafa, Fiqhud Da’wah, Jakarta: Al-I’tishom, 2000.
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an,  Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Ya’kub, Ali Mustafa, Sejarah dan Metode Da’wah Nabi, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997.








[1]Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 74.
[2]Ali Mustafa Ya’kub, Sejarah dan Metode Da’wah Nabi, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997). hal. 226.
[3]Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol: 14, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 372.
[4]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 10, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), h. 425.
[5]Mustafa Mansur, Fiqhud Da’wah, (Jakarta: Al-I’tishom, 2000), hal.104.
[6]Departemen Agama RI, op.cit, h. 195-196.
[7]Quraish Shihab, op.cit, vol: 14, h. 482.
[8] Departemen Agama RI, op.cit, Jilid 9, h. 63
[9] Departemen Agama RI, loc.cit.
Design by Zay Arief