Senin, 19 Maret 2012

FILSAFAT DAKWAH : REVOLUSI TEKNOLOGI DAN DAKWAH

Oleh : Zaenal Arifin
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menyeru dan mengajak manusia kepada dakwah Islam bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Tantangan demi tantangan akan muncul silih berganti dengan berbagai variasinya. Di sini sangat diperlukan metode yang tepat di samping ketangguhan dan keuletan si da’i itu sendiri. Karena menyangkut kepentingan dan kemauan manusiawi yang kompleks.
Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Swt sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan. Pada hakikatnya tujuan utama dakwah ialah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridai oleh Allah Swt.
Dakwah Islam merupakan transformasi nilai-nilai Islam yang senantiasa bergerak menyesuaikan terhadap sebuah kondisi dan situasi dimana tempat dilaksanakan dakwah. Namun, tetap menjaga nilai-nilai ajaran Islam yang pokok dan tidak keluar dari syari’at. Dalam kaidah fiqih kita kenal “al muhafadhah ‘ala al qadim al shalih wa al akhdzu bi al jadid al ashlah” yakni melestarikan nilai-nilai yang baik dan melakukan adopsi nilai-nilai baru yang lebih baik. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi setiap perilaku manusia dalam kehidupan di tengah masyarakat serta setiap pergeseran kemaslahatan umat sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dakwah harus disesuaikan dengan kondisi zaman dimana dakwah itu dilaksanakan. Karena itu dakwah yang dilakukan akan selalu mempertimbangkan aspek materi yang menjadi substansi informasi dalam proses tersebut demi kebaikan dan kesejahteraan manusia. Maka sebagaimana yang dikatakan A. Hasjmy, para juru dakwah memerlukan media dan sarana, serta membutuhkan alat dan medan dalam menyampaikan pesan dakwah, agar dakwah yang dilakukan berjalan efektif dan efisien.
Arus globalisasi yang melanda dunia dewasa ini berakibat cepat dalam menyebarkan perkembangan di satu belahan dunia ke belahan dunia yang lain melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan keadaan di satu negara akan cepat menimbulkan pengaruh di negara dari belahan dunia yang lain. Sehingga pola dakwah melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berbagai media begitu beragam, baik dengan media elektronik atau media cetak seperti radio, televisi, film, internet, buku, majalah, surat kabar, dan lain-lain yang mengandung pesan dakwah sangat penting dan efektif. Kesemuanya ini merupakan produk dari revolusi yang terjadi di bidang komunikasi dan sarana untuk komunikasi tersedia. Karena dakwah sendiri tidak lepas dari proses komunikasi antara da’i dengan mad’u dalam menyampaikan pesan dakwahnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menarik rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini, yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana era dakwah dengan menggunakan teknologi? 2. Bagaiaman era dakwah melalui cetakan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Era Dakwah dengan Teknologi
Kegiatan berdakwah merupakan proses komunikasi antara da’i dengan mad’u dalam menyampaikan informasi (pesan dakwah). Yakni, dakwah Islam mengajarkan manusia mengenai aspek ibadah (syari’at), yang sebenarnya merupakan latihan spirituil dan ajaran moral (akhlak) dalam membina manusia yang tidak kehilangan keseimbangan hidup dan berbudi pekerti luhur.
Dalam sebuah aktifitas dakwah tidak dapat dipungkiri bahwa peran teknologi ikut serta dalam penyampaian dakwah. Untuk mempermudah proses dakwah, teknologi juga sangat diperlukan keberadaannya. Peran teknologi itu bisa berupa kemudahan-kemudahan dan efektifitas serta efisiensi yang diberikan pada saat penyampaian dakwah tersebut. Secara tidak langsung peran media itu telah begitu cepatnya menerobos lapisan masyarakat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teknologi diartikan sebagai "kemampuan teknik yang berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta dan berdasarkan proses teknis." Menurut Quraish Shihab, beliau mengatakan bahwa teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan manusia. Teknologi merupakan hasil dari proses pemikiran manusia dalam kaitannya manusia memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya. Al-Quran sendiri telah memerintahkan manusia untuk terus berupaya meningkatkan kemampuan ilmiahnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa manusia menuju peradaban modern atau era globalisasi terhadap segala aspek kehidupan. Suatu peradaban yang ditandai dengan banyak dimanfaatkannya teknologi untuk membantu aktivitas manusia. Sehingga pola hidup manusia pun mengalami perubahan, terutama di bidang sosio-kultural. Oleh karena itu, pelaksanaan dakwah yang memuat materi, metode maupun media harus bersifat dinamis dan kreatif agar mampu mengimbangi, mengarahkan dan mengendalikan dalam menghadapi perubahan itu sendiri.
Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, selalu mempunyai pertentangan yang saling bertolak belakang, di satu sisi mempunyai dampak positif yang dapat membantu kehidupan manusia, yakni teknologi dilihat sebagai eksistensi dari manusia, atau teknologi dianggap sebagai proses spiritualisasi dari material, atau sebagai proses dimana manusia semakin mendunia. Akan tetapi disisi lain berdampak negatif yang dapat merugikan kehidupan manusia yang lebih menitikberatkan pada kritik dan keprihatinan terhadap salah penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan asumsi akibat-akibat yang fatal bagi manusia. Manusia terasing dari lingkungan dan Tuhannya, maka terjadilah disharmoni dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, orang lain, alam, dan Tuhannya.
Walaupun teknologi dapat membawa kerugian bagi umat Islam, tapi seorang muslim tidak akan (bahkan tidak boleh) bersikap apriori terhadap teknologi. Akan tetapi ia harus bersikap selektif dalam membeli atau memanfaatkan teknologi itu. Sikap muslim terhadap teknologi sangat tergantung pada daya analisisnya terhadap kedudukan teknologi di tengah-tengan agamanya. Karena menurut ajaran Islam, teknologi yang mendapat berkah hanya bisa terwujud dari aklak yang mulia, yang terjalin dalam segenap susunan masyarakat.
Oleh karena itulah, teknologi disamping menambah tantangan bagi dakwah juga mempunyai potensi untuk dimanfaatkan dalam proses dakwah. Terutama karena dengan teknologi komunikasi, dakwah sebagai sebuah proses komunikasi akan mendapatkan beberapa manfaat, yaitu:
1. Tidak tergantung waktu dan tempat. 2. Cakupan yang luas. 3. Pendistribusian yang cepat. 4. Keragaman cara penyampaian.
Dengan bentuk keragaman yang ditawarkan oleh media teknologi, mulai dari menampilkan bentuk audio visual sampai ke bentuk tulisan yang menarik, maka cara dakwah yang ditempuh dapat beragam. Keragaman ini pulalah yang membuat dakwah melalui teknologi dapat menjangkau banyak segmen.
Eksistensi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perkembangannya yang pesat melahirkan wujud hasil yang mengagumkan. Inu Kencana Syafiie memaparkan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditemukan manusia menjadi bukti otentik bahwa dalam Al Qur’an sebagai sumber dari segala ilmu, baik ilmu eksakta ( ilmu falak, ilmu kimia, ilmu matematika, ilmu bumi) maupun ilmu sosial (ilmu politik, ilmu jiwa, ilmu ekonomi, ilmu hukum). Dalam perjalanan yang panjang, teknologi telah melahirkan berbagai peralatan dalam berbagai media, dalam hal ini di bidang komunikasi dan informasi, yakni lahirnya media cetak maupun media elektronik, yang telah memberi harapan baru bagi aktivis dakwah untuk skala global. Harapan ini memang sangat menjanjikan, hal ini dikarenakan skop dakwah melalui signal tersebut jangkauannya sangat luas dan mendunia.
Dalam konteks ini, harapan yang ditawarkan oleh teknologi media untuk kepentingan dakwah agama Islam perlu dicermati dengan bijak, sehingga sarana yang ada dapat diakomodir dengan tepat sasaran dan terhindari dari efek negatif yang timbul secara sporadis. Dakwah dalam media bisa hadir dalam berbagai segmen yang intinya mengulas tentang isu relegius dalam berbagai sisi, baik di media cetak maupun media elektronik. Berbagai artikel, film, penyiaran acara keagamaan adalah beberapa contoh wajah baru dakwah agama yang tampil dalam teknologi media yang dapat membentuk citra dan sekaligus memperluas jangkauan sasaran dakwah, tidak hanya mereka yang seagama, namun juga kepada pemeluk agama lain.
Di sisi lain para da'i dituntut agar peka dengan setiap isu yang muncul disamping bisa menguasai manajemen dalam mengelola media yang ingin ditransfer ide dakwah. Dengan demikian, tingkat penyebaran nilai-nilai agama menjadi lebih luas dan singkat waktu, minimal dalam tataran informatif. Orang-orang dapat mengambil banyak manfaat dari maraknya program agama Islam di radio, televisi, koran, buku, majalah dan internet, dimana sebahagiannya sibuk tidak sempat menghadiri majelis taklim. Hadirnya nilai-nilai agama dengan perantaraan teknologi media tersebut sangat membantu mereka dalam menjaga kontinuitas keberagamaannya.
B. Era Dakwah melalui Cetakan
Sebagai agama dakwah, Islam merupakan tata nilai yang senantiasa bergerak menyesuaikan terhadap sebuah kondisi yang senantiasa dinamis. Dakwah sendiri pada hakikatnya merupakan aktualisasi imani yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia untuk melakukan proses rekayasa sosial melalui usaha mempengaruhi cara merasa, berfikir, bersikap, dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio-kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu.
Salah satu cara yang menjadi pilihan aktivis dakwah di era globalisasi yaitu dakwah melalui tulisan, karena dakwah dengan tulisan mempunyai kekuatan tersendiri sebagai salah satu penopang kesuksesan target dakwah. Berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ditemukan alat percetakan pada tahun 1456 oleh Gutenberg, ketika pertama kali mencetak Kitab Injil. Namun, media cetak surat kabar baru berkembang sekitar tahun 1600 dalam penyebaran informasi pada suatu negara. Arus globalisasi telah mengangkat derajat ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu berlangsungnya percepatan informasi yang aktual menjadi wujud nyata dari sebuah era informasi dan keterbukaan. Oleh karena itu, para dai harus mengambil sikap tanggap dan cepat serta mampu memanfaatkan media-media yang ada sebagai sarana untuk berdakwah, khususnya dalam bidang percetakan tentang materi dakwah, baik dalam bentuk buku, majalah, koran, buletin, dan sebagainya. Dimana dunia percetakan saat ini telah membanjiri dalam berbagai khasanah keilmuan, maka Islam sendiri harus bisa mengambil posisi di dunia percetakan dalam tulisan dakwahnya.
Pemanfaatan media cetak untuk kepentingan dakwah, dalam hal buku/kitab agaknya sudah cukup baik. Media cetak memang sangat mudah dijangkau masyarakat pada umumnya, sehingga dalam mendalami kaidah keislamannya mereka tidak perlu datang ketempat-tempat majelis atau pengajian majelis ta’lim dan sebagainya karena media dakwah dalam bentuk media cetak sangat detail mengulas penuh masalah-masalah agama dan bisa dibaca berulang-ulang. Misalnya, sebuah buku hendaknya tampil dengan gaya bahasa yang lancar, mudah dicerna dan menarik publik, baik mereka orang awam maupun kaum terpelajar.
Perlu kita ketahui bahwa media cetak sebagai media dakwah mempunyai kelebihan dan kekurangan, yaitu sebagai berikut:
a. Kelebihan Media Cetak
1) Media cetak khususnya majalah atau buku islami dapat dibaca berulang-ulang sehingga menimbulkan pemahaman yang baik ketimbang mendengarkan ceramah agama secara langsung. 2) Mudah didapat bagi para mad’u yang ingin membelinya, dikarenakan makin maraknya fenomena majalah Islami di Indonesia. 3) Mudah dipahami bagi para mad’u karena sifatnya yang bisa dibaca berulang-ulang kali sehingga ia dapat mengimplementasikannya kedalam kehidupan sosialnya. 4) Simpel dan efektif dapat dibaca kapanpun dan dimanapun karena mudah dibawa kemana-mana.
b. Kekurangan Media Cetak
1) Dari segi finalsial masyarakat awan masih sangat sulit untuk mendapatkannya disebabkan karena pendapatannya yang hanya cukup untuk makan saja dan tidak mampu membeli majalah Islami. 2) Lalu kurangnya minat baca dikalangan masyarakat menjadi masalah yang sangat vital bagi perubahan para mad’u khususnya dalam pemahaman Agama Islam. 3) Karena bentuk nya dalam buku atau pun majalah maka sering adanya kerusakan pada buku atau majalah tersebut sehingga ada bagian yang hilang dari bacaan tersebut.
Secara makro, eksistensi dakwah akan senantiasa bersentuhan dengan gerak masyarakat yang mengitarinya, sehingga pada tahap tertentu, proses dakwah dapat saja melahirkan tuntunan baru berkenaan dengan proses yang dinamis, dan pada gilirannya merupakan pendorong terbentuknya sistem sosial di mana dakwah itu dilaksanakan.
Dalam kaitannya dengan kegiatan berdakwah, banyak tokoh-tokoh Islam yang melahirkan segi keilmuannya melalui tulisan untuk dapat dipelajari, dipahami dan disebarluaskan oleh murid-murinya atau khalayak orang banyak. Bahkan dalam sejarah keemasan Islam, berbagai bidang ilmu telah lahir dari tokoh Islam menjadi rujukan penting bagi para kaum pelajar di seluruh dunia, khususnya Eropa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Media dakwah islam sebaiknya dikemas dalam bentuk yang menarik yang secara perlahan-lahan dapat mengubah pola pikir dan mentalitas masyarakat. Media merupakan alat paling efektif saat ini dalam membentuk opini publik dan malah dapat mengubah mentalitas serta pola pikir masyarakat.
Salah satu sasaran yang efektif untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam adalah alat-alat teknologi modern di bidang informasi dan komunikasi. Kemajuan di bidang informasi dan komunikasi harus dimanfaatkan oleh aktivis dakwah sebagai media dalam melakukan dakwah Islam, sebab dengan cara demikian ajaran agama Islam dapat diterima dalam waktu yang relatif singkat oleh sasaran dakwah dalam skala luas.
Selain itu, dakwah bilqalam merupakan salah satu fenomena di zaman era globalisasi atau era teknologi, yakni berdakwah lewat menulis di media cetak, buku, majalah, koran, atau buletin yang isinya dakwah. Yang paling penting dalam dakwah lewat tulisan ini adalah materi (content) yang akan kita sampaikan sesuai dengan kaidah Islam, namun juga tetap mengandung unsur seni tulisan yang indah dibaca dan menarik.
DAFTAR PUSTAKA
Aceng Abdul Aziz,dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia: Sejarah, Pemikiran dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2007.
A. Hasjmy, Dustur Dakwah Menurut al-Quran, Cet.III, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Amir Hamzah, Tipologi Dakwah (Suatu Upaya dalam Menyikapi Perubahan Sosial), Jurnal Zaitun (Kajian Islam dan Kemasyarakatan), Vol. II, No. 1, Makassar: PPS UIN Alaudin Makassar, 2007.
Amrullah Ahmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: PLP2M, 1985.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta:UI Press, 1985.
Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, Bandung : Refika Aditama, 2004.
Jum’ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah, terj. Solo : Era Intermedia, 2003.
M. Solly Lubis, Umat Islam dalam Globalisasi, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Muhammad Sayyid Al-Wakil, Prinsip dan Kode Etik Dakwah. Cet. I, Jakarta: Akademika Pressindo, 2002.
Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta: Lantabora Press, 2003.
Muhammad Yusuf, Epistemologi Islam: Landasan Mengatasi Krisis Iptek Modern dan Dampak Globalisasi dalam Perspektif Al Qur’an, Orasi Ilmiah disampaikan pada Pelantikan Himpunan Mahasiswa Jurusan Tarbiyah dan Dakwah STAIN Sorong pada tgl 31 Mei 2011.
Muhammad Zamroni, Filsafat Komunikasi, Cet. I, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Quraish Shihab, MA, Wawasan Al Qur’an : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet. XIII, Bandung: Mizan, 1996.
Syarif Hidayatullah dan Zulfikar S. Dharmawan, Islam Virtual, Jakarta: Mifta, 2003.
Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer, Cet. I, Surabaya: Gitamedia Press, 2006.

PSIKOLOGI AGAMA : Problema dan Gangguan dalam Perkembangan Jiwa Keagamaan

Oleh : Zaenal Arifin

Agama berkaitan erat dengan kehidupan batin manusia. Manusia memiliki bermacam ragam kebutuhan batin maupun lahir. Akan tetapi, kebutuhan manusia terbatas karena kebutuhan tersebut juga dibutuhkan oleh manusia lainnya. Karena manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama karena manusia merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya yang Maha Kuasa tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan. Sehingga keseimbangan manusia dilandasi kepercayan beragama. Sikap orang dewasa dalam beragama sangat menonjol, jika kebutuhan akan beragama tertanam dalam dirinya. Kestabilan hidup seseorang dalam beragama dan tingkah laku keagamaan seseorang, bukanlah kesetabilan yang statis. Adanya perubahan itu terjadi karena proses pertimbangan pikiran, pengetahuan yang dimiliki dan mungkin karena kondisi yang ada. Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki perspektif yang luas berdasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya.

Pada dasarnya jiwa keagamaan manusia berasal dari dua faktor, yaitu faktor intern mengatakan bahwa manusia adalah homo relegius (makhluk beragama) karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama, seperti naluri, akal, dan perasaan. Dan faktor ekstern terdorong beragama karena pengaruh dari luar dirinya, seperti rasa takut, rasa ketergantungan ataupun bersalah, dan sebagainya yang menyebabkan lahirnya keyakinan pada manusia. 

Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku

Dr. Mar’at mengemukakan ada 13 pengertian sikap, yang dirangkum menjadi 4 rumusan berikut : Pertama, sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan (di rumah, sekolah, dll) dan senantiasa berhubungan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa atau pun ide, sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek. 
Kedua, bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif seperti yang tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu, dengan memiliki kadar intensitas yang tidak tentu sama terhadap obyek tertentu, tergantung pada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai sedangkan di saat dan situasi berbeda belum tentu cocok. 
Ketiga, sikap dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu, karena ia merupakan bagian dari konteks persepsi atau pun kognisi individu. 
Keempat, sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan, karenanya sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan tidak memadai. 
Dari rumusan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap merupakan predisposisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu yang mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Dengan demikian sikap merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara kompleks. Komponen kognisi akan menjawab apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang obyek. Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap obyek. Komponen konasi berhubungan dengan kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap obyek. Faktor penentu sikap, baik sikap positif atau pun sikap negatif, adalah motif, yang berdasarkan kajian psikologis dihasilkan oleh penilaian dan reaksi afektif yang terkandung dari sebuah sikap. Motif menentukan tingkah laku nyata (overt behavior) sedangkan reaksi afektif bersifat tertutup (covert behavior). Dengan demikian, sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berfikir, merasa dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap sesuatu obyek. Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan pengaruh bawaan (factor intern) seseorang, serta tergantung kepada obyek tertentu. Karena sikap dipandang sebagai perangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu. Jadi, sikap keagamaan adalah perwujudan dari pengalaman dan penghayatan seseorang terhadap agama, dan agama menyangkut persoalan batin seseorang, karenanya persoalan sikap keagamaan pun tak dapat dipisahkan dari kadar ketaatan seseorang terhadap agamanya. Sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara unsure kognisi (pengetahuan), afeksi (penghayatan) dan konasi (perilaku) terhadap agama pada diri seseorang, karenanya ia berhubungan erat dengan gejala jiwa pada seseorang. Selanjutnya dari sikap keagamaan tersebut, lahirlah pola tingkah laku untuk taat pada norma dan pranata keagamaan dan bahkan menciptakan norma dan pranata keagamaan tertentu sebagai bentuk perwujudan dari kesadaran agama dan pengamalan agama. 

Sikap Keagamaan yang Menyimpang

Dalam setiap agama, memuat ajaran norma-norma yang dijadikan sebagai petunjuk dan tuntunan bagi para pemeluknya dalam bersiap dan bertingkah laku. Hal itu bertujuan untuk mencapai nilai-nilai yang luhur dalam pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan sosial sebagai upaya dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, tidak jarang terjadi dalam kehidupan sehari-hari ditemukan adanya perilaku menyimpang dalam sikap beragama. Perilaku menyimpang tersebut terjadi disebabkan adanya sikap seseorang mengalami perubahan terhadap kepercayaan dan keyakinan agama sebagai pemeluknya. Perubahan sikap dapat terjadi pada tiap individu maupun kelompok atau masyarakat. Tingkat kualitas dan intensitas perubahan sikap mungkin berbeda dan bergerak secara kontinyu dari positif melalui arela netral ke arah negatif. Sikap keagamaan yang menyimpang dari ajaran agama yang cenderung keliru mungkin akan menimbulkan suatu pemikiran dan gerakan pembaruan, baik ke arah yang positif maupun ke arah yang negatif. Adanya sikap menyimpang seperti sikap kurang toleran, fanatisme, fundamentalis maupun sikap yang menentang terhadap ajaran agama. Hal itu merupakan masalah pada tingkat tertentu yang dapat menimbulkan tindakan negatif dan berpeluang terjadi dalam diri seseorang maupun kelompok pada setiap agama. Biasanya siakap keagamaan yang menyimpang dalam bentuk kelompok aliran berawal dari pengaruh sikap seorang tokoh dalam hubungan persepsi seseorang mengenai kepercayaan dan keyakinan yang diant pemeluknya. Sikap keagamaan yang menyimpang sering menimbulkan permasalahan yang cukup rumit dalam setiap agama, terutama adanya kecenderungan dengan motif yang bersifat emosional yang lebih kuat daripada sifat rasional. Akibatnya, dapat menimbulkan berbagai gejolak di masyarakat, baik dari segi politik sampai segi sosial. Penyimpangan terjadi pada manusia dalam kaitannya dengan nilai-nilai ajaran agama, yaitu bidang keyakinan, ritual, doktrin, ataupun perangkat keagamaan. Kehadiran aliran baru da keluar dari nilai-nilai ajaran formal, dianggap sebagai sebuah penyimpangan yang dapat mengarah bentuk gerakan baru dalam keagamaan. Sikap keagamaan sangat erat hubungannya dengan keyakinan/ kepercayaan. Dan keyakinan merupakan hal yang abstrak dan susah dibuktikan secara empirik, karenanya pengaruh yang ditimbulkannya pun lebih bersifat pengaruh psikologis. Keyakinan itu sendiri merupakan suatu tingkat fikir yang dalam proses berfikir manusia telah menggunakan kepercayaan dan keyakinan ajaran agama sebagai penyempurna proses dan pencapaian kebenaran dan kenyataan yang terdapat di luar jangkauan fikir manusia. Karenanya penyimpangan sikap keagamaan cenderung didasarkan pada motif yang bersifat emosional yang lebih kuat dan menonjol ketimbang aspek rasional. Penyimpangan sikap keagamaan, ditentukan oleh terjadinya penyimpangan pada tingkat fikir seseorang ( tingkat fikir materialistik dan tingkat fikir transendental relegius), sehingga akan mendatangkan kepercayaan/keyakinan baru kepada yang bersangkutan (baik indivual maupun kelompok). Jika keyakinan itu bertentangan atau tidak sejalan dengan keyakinan ajaran agama tertentu, maka akan terjadi sikap keagamaan yang menyimpang. Penyimpangan sikap keagamaan ini, disamping menimbulkan masalah pada agama tersebut, juga sering mendatangkan gejolak dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat. 

Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Penyimpangan Sikap Keagamaan 

Perubahan sikap keagamaan adalah awal proses terjadinya penyimpangan sikap keagamaan pada seseorang, kelompok atau masyarakat. Perubahan sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah walaupun sulit. Karenanya perubahan sikap, dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : 
1. Adanya kemampuan lingkungan merekayasa obyek, sehingga menarik perhatian, memberi pengertian dan akhirnya dapat diterima dan dijadikan sebagai sebuah sikap baru. 
2. Terjadinya konversi agama, yakni apabila seseorang menyadari apa yang dilakukannya sebelumnya adalah keliru, maka ia tentu akan mempertimbangkan untuk tetap konsisten dengan sikapnya yang ia sadari keliru. Dan ini memungkinkan seseorang untuk bersikap yang menyimpang dari sikap keagamaan sebelumnya yang ia yakini sebagai suatu kekeliruan tadi. 
3. Penyimpangan sikap keagamaan dapat juga disebabkan karena pengaruh status sosial, dimana mereka yang merubah sikap keagamaan ke arah penyimpangan dari nilai dan norma sebelumnya, karena melihat kemungkinan perbaikan pada status sosialnya. 
4. Penyimpangan sikap keagamaan dari sebelumnya, yaitu jika terlihat sikap yang menyimpang dilakukan seseorang (utamanya mereka yang punya pengaruh besar), ternyata dirasakan punya pengaruh sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat, maka akan dimungkinkan terjadinya integritas sosial untuk menampilkan sikap yang sama, walau pun disadari itu merupakan sikap yang menyimpang dari sikap sebelumnya. 
Selain faktor-faktor di atas, dikemukakan beberapa teori psikologis oleh para ahli yang mengungkapkan mengenai perubahan sikap tersebut, antara lain sebagai berikut: 
1. Teori stimulus dan respon: perubahan sikap dipengaruhi oleh tiga variabel (perhatian, pengertian, dan penerimaan) 
2. Teori pertimbangan sosial: perubahan sikap dipengaruhi oleh faktor internal (persepsi sosial, posisi sosial dan proses belajar sosial), faktor eksternal (penguatan, komunikasi persuasif, dan harapan yang diinginkan). 
3. Teori konsistensi: perubahan sikap dipengaruhi oleh keharmonisan 
4. Teori fungsi: perubahan sikap dipengaruhi oleh kebutuhan seseorang. 

Gangguan dalam Perkembangan Sikap Keagamaan

Dalam penjelasan sebelumnya, bahwa sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak keagamaan seseorang. Walaupun sikap terbentuk karena pengaruh lingkungan, namun faktor individu itu sendiri ikut pula menentukan. Menurut Siti Partini, pembentukan sikap dan perubahan sikap dipengaruhi oleh duafaktor yaitu:
1). Faktor internal, berupa kemampuan menyeleksi dan menganalisis pengarah yang datang dari luar termasuk minat dan perhatian. 
2). Faktor eksternal, berupa faktor diluar induvidu yaitu pengaruh lingkungan yang diterima. 
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan yaitu: 
 1. Faktor Intern 
a. Faktor Hereditas. 
Sebagaimana dalam hadits Rasulullah Saw bersabda: Tiap-tiap anak dilahirkan diatas Fitrah, maka ibu bapaknya-lah yang mendidiknya menjadi orang yang beragama yahudi, nasrani dan majusi”. Pada dasarnya manusia lahir dalam keadaan fitrah (potensi beragama), hanya faktor lingkungan (orang tua) yang mempengaruhi perkembangan fitrah beragama anak. Dari sini, jiwa keagamaan anak berkaitan erat dengan hereditas (keturunan) yang bersumber dari orangtua, termasuk keturunan beragama. 
b. Tingkat usia
Sikap keagamaan anak akan mengalami perkembangan sejalan dengan tingkat usia anak. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh berbagai aspek kejiwaan termasuk kemampuan berpikir anak. Anak yang menginjak usia berpikir kritis lebih kritis pula dalam memahami ajaran agamanya, baik yang diterima di sekolah maupun diluar sekolah. 
c. Kepribadian 
Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara unsur tersebut yang membentuk kepribadian. Adanya kedua unsur yang membentuk kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan pada unsur bawaa, sedangkan karakter ditekankan pada pengaruh lingkungan. Tiplogi menunjukkan bahwa manusia memiliki kepribadian yang unik dan besifat masing- masing berbeda. Sebaliknya karakter menunjukkan bahwa kepribadian manusia terbentuk berdasarkan pengalaman lingkungan. 
Dilihat dari pandangan tipologis, kepribadian manusia tidak dapt diubah karena sudah terbentuk berdasarkan komposisi dalam tubuh. Sebaliknya dilihat dari pendekata karakterologis, kepribadian manusia dapat diubah dan tergantung dari pengaruh lingkungan masing-masing. Unsur bawaan merupakan faktor intren yang memberi ciri khas pada diri seseorang. Dalam kaitan ini, kepribadian sering disebut sebagai identitas (jati diri) seseorang yang sedikit banyaknya menampilkan ciri- ciri pembeda dari individu luar dirinya. Dalam kondisi normal, memang secar individu manusia memiliki perbedaan dalam kepribadian. Perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap perkembanga aspek- aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan. Di luar itu dijimpai pula kondisi kepribadian yang menyimpang seperti kepribadian ganda. Dan kondisi seperti ini bagaimanapun ikut mempengaruhi perkembangan berbagai aspek kejiwaan pula. d. Kondisi Kejiwaan Kondisi kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagi faktor intren. Ada beberapa model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model psikodinamik yang diungkapkan Sigmund freud menunjukkan gangguan kejiwaan yang ditimbulkan konflik yang tertekan di alam ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnya menurut pendekata biomedis, fungsi tubuh yang dominan mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor genetik atau kondisi sistem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku abnormal. Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada dominasi pengalaman kekinian manusia. Dengan demikian sikap manusia ditentukan oleh rangsangan lingkungan yang dihadapinya saat itu. Walaupun kemudian ada pendekatan model gabungan. Menurut pendekatan ini pola kepribadian dipengaruhi oleh berbagai faktor dan bukan hanya oleh faktor- faktor tertentu saja. Pendekatan psikologi kepribadian menginformasikan bagaimana hubungan kepribadian dengan kondisi kejiwaan manusia hubungan ini selanjutnya mengungkapkan bahwa ada suatu kondisi kejiwaan yang cenderung bersifat permanen pada diri manusia yang terkadang bersifat menyimpang. 2. Faktor Ekstern Manusia memiliki potensi dasar yang dapat dikembangkan sebagai makhluk yang beragama. Potensi yang dimiliki manusia secara umum disebut fitrah beragama atau hereditas. Sebagai potensi, maka perlu adanya pengaruh dari luar diri manusia, pengaruh tersebut berupa pemberian pendidikan (bimbingan, pengajaran, dan latihan). Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan adalah lingkungan dimana individu itu hidup, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. a. Lingkungan Keluarga Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak,oleh karena itu peranan keluarga dalam menanamkan kesadaran beragama anak sangatlah dominan. Pengaruh orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dalam pandangan islam sudah lama disadari. Salah seorang ahli psikologi, Hurlock berpendapat bahwa keluarga merupakan “Training Center” bagi penanaman nilai (termasuk nilai-nilai agama). Pendapat ini menunjukkan bahwa keluarga mempunyai peran sebagai pusat pendidikan bagi anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai- nilai (tata karma, sopan santun,atau ajaran agama) dan kemampuan untuk mengamalkan atau menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara personal maupun social kemasyarakatan. b. Lingkungan Institusional Lingkungan intitusional ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa institusi formal seperti sekolah ataupun nonformal seperti berbagai pwerkumpulan dan organisasi. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistemik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran, dan latihan kepada siswa agar mereka berkembang sesuai dengan potensi secara optimal, baik menyangkut aspek fisik, psikis,(intelektual dan emosional), social, maupun moral-spiritual. Menurut Singgih D.Gunarsa, sekolah mempunyai pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak. Pengaruh itu dapat dibagi menjadi tiga yaitu:1) Kurikulum yang berisikan materi pengajaran. 2) Adanya hubungan guru dan murid. 3) Hubungan antar anak (pergaulan) sekolah. Dilihat dari kaitannya dengan jiwa keagamaan, tampaknya ketiga kelompok tersebut ikut berpengaruh sebab sikap keagamaan tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian yangluhur. c. Lingkungan Masyarakat Setelah menginjak usia sekolah, sebagian besar waktu anak dihabiskan disekolah dan masyarakat. Dalam masyarakat, anak melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat lainnya. Maka dari itu perkembangan jiwa keagamaan anak sangat bergantung pada kualitas perilaku atau akhlak warga masyarakatitu sendiri. Dalam upaya menanamkan sikap keagamaan pada anak, maka ke tiga lingkungan tersebut secara sinergi harus bekerja sama, dan bahu-membahu untuk menciptakan iklim, suasana lingkungan yang kondusif. Dengan demikian walaupun sikap keagamaan merupakan bawaan (internal) tetapi dalam pembentukan dan perubahannya ditentukan oleh faktor eksternal. Fanatisme dan Ketaatan Suatu tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembanagn jiwa keagamaan seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Mengacu pada pendapat Erich Fromm bahwa karakter terbina melalui asimilasi dan sosialisasi, maka tradisi keagamaan memenuhi kedua aspek tersebut. Suatu tradisi keagamaan membuka peluang bagi warganya untuk berhubungan dengan warga lainnya (sosialisasi). Selain itu juga terjadi hubungan dengan benda- benda yang mendukung berjalannya tradisi keagamaan tersebut (asimilasi) seperti institusi keagamaan sejenisnya. Hubungan ini menurut tesis Erich Fromm berpengaruh terhadap pembentukan karakter seseorang. David Riesman melihat ada tiga model konfirmitas karakter, yaitu: 1) arahan tradisi (tradition directed) 2) arahan dalam (inner directed) 3) arahan orang lain (other directed), sebagai jabaran tipe karakter Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa karakter terbentuk oleh pengaruh lingkungan dan dalam pembentukan kepribadian, aspek emosional di pandang sebagai unsur dominan. Fanatisme dan ketaatan terhadap ajaran agam agaknya tidak dapat dilepaskan dari peran aspek emosional. David Riesman melihat bahwa tradisi kultural sering sering dijadikan penentu di mana seseorang harus melakukan apa yang telah dilakukan nenek. Dalam menyikapi tradisi keagamaan juga tak jarang munculnya kecendrungan seperti itu. Jika kecenderungan taklid keagamaan tersebut dipengaruhi unsur emosional yang berlebihan, maka terbuka bagi pembenara spesifik. Kondisi ini akan menjurus kepada fanatisme. Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab ketaatan merupakan upaya untuk menampilkan arahan dalam (inner directed) dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama. Kesimpulan Kesadaran dan pengalaman keagamaan seseorang akan menimbulkan sikap keagamaan. Sikap keagamaan adalah perwujudan dari pengalaman dan penghayatan seseorang terhadap agama, dan agama menyangkut persoalan batin seseorang, karenanya persoalan sikap keagamaan pun tak dapat dipisahkan dari kadar ketaatan seseorang terhadap agamanya. Sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara unsure kognisi (pengetahuan), afeksi (penghayatan) dan konasi (perilaku) terhadap agama pada diri seseorang, karenanya ia berhubungan erat dengan gejala jiwa pada seseorang. Wujud dari sikap keagamaan oleh para penganutnya berupa pola tingkah laku keagamaan sebagai bentuk ketaatan terhadapa ajaran agamanya. Namun, dalam perjalanan pemeluk agama ditemukan beberapa sikapa keagamaan yang menyimpang. Seseorang dalam pertumbuhan dan perkembangan hidupnya akan melalui proses belajar terhadapa lingkungan yang kan mempengaruhi jiwa dan sikap keagamaan terkait bagaimana dapat melakukan penyesuaian diri terhadapa apa yang ada pada dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya. Perkembangan jiwa keagamaan seseorang dipengaruhi oleh faktor intern yaitu faktor hereditas (keturunan atau bawaan sejak lahir), tingkat usia (perkembangan berpikir), kepribadian (pembentukan kepribadan yang dipengaruhi faktor bawaan dan lingkungan hidup), kondisi kejiwaan (ditimbulkan konflik yang tertekan di alam ketidak sadaran manusia) dan faktor ekstern yaitu lingkungan keluarga (citra terhadap orang tua), lingkungan institusional berupa intitusi formal ataupun yang nonformal, lingkungan masyarakat (norma dan nilai- nilai di masyarakat).

AGAMA SEBAGAI SISTEM BUDAYA

AGAMA SEBAGAI SISTEM BUDAYA Oleh : Zaenal Arifin BAB I PENDAHULUAN Agama mempunyai kedudukan yang amat penting dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai alat untuk membentuk watak dan moral, tapi juga menentukan falsafah hidup dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti nilai-nilai dan norma-norma budaya dibentuk dari agama. Agama terbentuk bersamaan dengan permulaan sejarah umat manusia. Realita ini merangsang minat orang untuk mengamati dan mempelajari agama, baik sebagai ajaran yang diturunkan melalui wahyu, maupun sebagai bagian dari kebudayaan. Motivasi keterikatan manusia kepada agama adalah pendambaannya akan keadilan dan keteraturan. Keadilan dalam masyarakat dan alam, karena itu ia menciptakan agama dan berpegang erat kepadanya demi meredakan penderitaan-penderitaan kejiwaannya. Ada dua hal yang menjadi alasan orang berminat dalam mempelajari agama. Pertama, agama sebagai suatu yang berguna bagi kehidupan manusia baik secara pribadi maupun mayarakat. Kedua, karena ada pandangan yang negatif terhadap agama,dimana agama hanya dianggap sebagai khayal,ilusi dan merusak masyarakat. Walaupun demikian bukan berarti bahwa semua manusia beragama, atau beragama pada kadar yang sama. Dalam sejarah tercatat bahwa ada kelompok-kelompok tertentu yang anti agama bahkan memusuhi agama, akan tetapi juga sebaliknya banyak juga kelompok-kelompok yang sangat taat dan menghayati ajaran agamanya dan terjalin baik sehingga kekuatan ghaib tersebut bisa memperkuat pribadinya. Sehingga agama dapat menjadi anutan, ikutan dan dihormati seperti imam, ulama, kyai, pendeta, pastor dan lain-lain. Oleh karena itu agama merupakan aspek yang tidak terpisahkan dari pribadi dan masyarakat. Berdasarkan wacana di atas, kami akan mencoba membahas tentang Agama sebagai Sistem Budaya dalam rangkaian mata kuliah “Antropologi Budaya”. Dapat dirumuskan beberapa pembahasan sebagai berikut: Pertama, pengertian agama; Kedua, pengertian budaya; Ketiga, pengertian agama sebagai sistem budaya.   BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Agama Untuk memberikan batasan tentang makna agama memang agak sulit dan sangat subyektif. Karena pandangan orang terhadap agama berbeda-beda. Ada yang memandangnya sebagai suatu institusi yang diwahyukan oleh Tuhan kepada orang yang dipilihnya sebagai nabi atau rasulnya, dengan ketentuan-ketentuan yang telah pasti. Ada yang memandangnya sebagai hasil kebudayaan, hasil pemikiran manusia, dan ada pula yang memandangnya sebagai hasil dari pemikiran orangorang yang jenius, tetapi ada pula yang menganggapnya sebagai hasil lamunan, fantasi, ilustrasi. + Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia menerangkan bahwa agama adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tata peribiodata, dan tata kaidah yang bertalian dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya dengan kepercayaan itu. Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal. Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan. Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons. Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan Tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya. Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 19 . Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin. Secara terminologi makna ad-din menurut Prof. Taib Thahir Abdul Muin adalah suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa orang yang mempunyai akal memegang (menurut peraturan Tuhan itu) dengan kehendaknya sendiri tidak dipengaruhi, untuk mencapai kebaikan hidup di dunia dan di akherat. H. Mukti Ali mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang Maha Esa dan hukum yang diwahyukan kepada utusan-utusanNya untuk kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Menurut beliau ciri-ciri agama itu adalah: o Mempercayai adanya Tuhan yang Maha Esa o Mempunyai kitab suci dari Tuhan yang Maha Esa o Mempunyai rasul/utusan dari Tuhan yang Maha Esa o Mempunyai hukum sendiri bagi kehidupan penganutnya berupa perintah dan larangan Sedangkan Komaruddin Hidayat berpendapat lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan. Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana. Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata’ala dalam Islam. Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut: “Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta isinya”. Uraian Sijabat ini menekankan agama sebagai hasil refleksi manusia terhadap panggilan yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam hidup manusia yang terwujud dalam hubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta raya dengan segala isinya. Pandangan itu mengatakan bahwa agama adalah suatu gerakan dari atas atau wahyu yang ditanggapi oleh manusia yang berada dibawah. B. Pengertian Budaya Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Bahasa Indonesia diterangkan bahwa buday adalah hasil pikiran, akal budi manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat-istiadat. Budaya menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam masyarakat adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam pikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup. C. Agama sebagai Sistem Budaya Agama sebagai sistem budaya yang bersifat kognitif, meliputi unsur-unsur pokok yang di dalamnya terdapat knowled (pengetahuan), belief (kepercayaan), value (nilai) dan norma-norma. Melalui ajaran-ajarannya, agama memberikan sumbangan pengetahuan yang sangat berharga bagi manusia untuk mengetahui sesuatu yang mungkin tidak ditemukan melalui akal pikiran. Berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari agama, timbul suatu kepercayaan dalam diri seseorang terhadap sesuatu yang mungkin dia sendiri belum pernah melihatnya. Menurut William Howells mengatakan bahwa percaya dalam agama adalah penerimaan suatu ide (gagasan) secara khusus dengan sikap yang lebih mendalam dan tidak membutuhkan formulasi yag sangat jelas. Percaya adalah perasaan yang sangat kuat bahwa ada kekuatan yang luar biasa di alam raya. Agama juga memberikan sumbangan berupa nilai-nilai hidup yang dapat dijadikan ukuran untuk menentukan baik dan buruk, dilarang atau dibolehkan dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Nilai agama-agama tersebut sudah barang tentu telah diwujudkan dalam kehidupan yang nyata serta dalam bentuk aturan-aturan (norma) yang diberlakukan dalam kehidupan bersama. Agama juga telah memberikan sumbangan berupa aturan-aturan (norma) sebagai pedoman yang harus dilaksanakan agar manusia atau masyarakat dapat memperoleh kehidupan yang baik. Sebagai suatu sistem budaya, agama berfungsi memberikan pengawasan (kontrol) terhadap sistem-sistem lain yang bersifat kondusif. Oleh karena itu, eksistensi agama tidak akan bermakna tanpa melibatkan sistem sosial dalam bentuk organisasi, lembaga atau pranata-pranata (sistem sosial). Sistem sosial juga hanya akan menjadi lambang yang tidak bermakna tanpa di dukung sistem kepribadian dan sistem perilaku dalam bentuk pengamalan keagamaan yang berkembang secara individual dalam masyarakat. secara konkrit, sistem kepribadian dan system perilaku keagamaanlah yang mendukung keberadaan suatu agama. Dengan kata lain, agama sebagai sistem budaya berfungsi memberikan pengawasan (controling) dan tidak bisa lepas dari sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem perilaku yang mendukung eksitensi agama dalam kehidupannya (conditioning). Pendekatan sistematik memandang agama sebagai suatu sistem budaya karena agama mengandung seperangkat sistem pengetahuan kepercayaan, norma dan nilai, yang secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan, di mana satu sama lain saling mengontrol dan mendukung. Sistem pengetahuan (knowledge), sistem kepercayaan (bilief), norma (norms) dan nilai (values) yang terkandung dalam agama, secara kognitif memang baru merupakan gagasan yang abstrak, dan harus direalisasikan dalam wujud yang lebih konkrit. Manifestasi dari itu, secara sistematis memerlukan sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem perilaku untuk mendukung wujud agama yang sebenarnya. Melalui sistem sosial, agama dapat dilihat eksistensinya dari jenis-jenis organisasi, lembaga, institusi yang mengindikasikan warna agama. Tetapi hal ini pun belum benar-benar konkrit sebelum didukung oleh penampilan kepribadian, performance dan lebih konkrit lagi dengan melihat behavior (perilaku atau amal) dari para pemeluk agama yang bersangkutan. Agama sebagai sistem budaya hanya dapat dipelajari, diketahui dan dimengerti melalui simbol-simbol yang berlaku di masing-masing agama. Itu sebabnya Geertz menyebutkan agama sebagai juga sebagai sistem simbol (The Religion is a System of Syimbols). Hakikat yang bisa dipelajari dan diamati adalah simbol-simbol agama yang diangap sakral. Nama Allah dalam sistem keyakinan Islam misalnya, tidak bisa diwujudkan secara kasat mata, karena Allah itu Maha Ghaib. Ada tetapi tidak mungkin kita bisa melihat-Nya. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw. memantapkan strategi keimanan seseorang dengan cara menyembah Allah, seakan-akan kita melihat-Nya. Andai kata kita tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah tetap melihat kita. Ketika kita yakin sedang ”menyembah” Allah, yang kita baca dan kita saksikan dalam kehidupan beragama sehari-hari adalah symbol-Nya, bukan hakikat wujud-Nya, karena sistem budaya hanya bersifat kognitif. Sedangkan yang abstraksinya dapat disaksikan melalui sistem pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai yang terkandung dalam ajaran agama. Pendekatan terhadap sistem pengetahuan, dapat dilakukan dengan mempelajari kitab-kitab suci agama, catatan-catatan kuno tentang wahyu yang pernah diturunkan (manuskrip, lembaran-lembaran ayat suci (suhuf) atau ucapan-ucapan nabi pembawa agama (hadits). Sistem pengetahuan alam misalnya, dapat dipelajari melalui kitab suci al- Qur’an, hadits Rasulullah, ucapan sahabat atau ulama yang terhimpun dalam kitab tersendiri. Sistem pengetahuan mengandung informasi tentang kejadian alam, hakikat Tuhan yang telah menciptakan alam itu serta sejarah peradaban manusia; yang secara keseluruhan perlu diketahui oleh manusia. Dengan pengetahuan itu, manusia akan menyadari keberadaan dirinya di sisi Tuhan, yang pada akhirnya mengantarkan seseorang lebih mengenal Tuhannya sebagai pencipta, sehingga manusia semakin yakin siapa Tuhan yang layak dipuja dan disembah. Sistem kepercayaan akan dirasakan lebih kuat jika didasarkan pada sistem pengetahuan yang dimiliki. Melalui kajian terhadap diri dan alam sekitar, akhirnya seseorang akan sampai juga pada pengenalan terhadap Tuhannya. Banyak rahasia kehidupan manusia yang mungkin tidak terungkap dengan ilmu pengetahuan, karena keterbatasan akal pikiran. Namun, melalui pengetahuan yang bersumber dari agama, manusia mendapat informasi yang bersifat metafisik sekalipun, yang kadang-kadang tidak terjangkau oleh ilmu pengetahuan. Keberadaan surga dan neraka, proyeksi kehidupan manusia di akhirat, tentang terjadinya hari kiamat, kehidupan di alam kubur serta eksistensi malaikat, jin dan makhluk-makhluk ghaib, hanya dapat diperoleh informasinya melalui agama. Bahkan, pengetahuan tentang siapa hakikat Tuhan yang patut disembah, yang dianggap Maha Suci (sakral), tidak mungkin bisa diperoleh, kecuali dari agama yang dapat memberikan informasi kepada umatnya, sehingga dapat diyakini sepenuh hatinya. Agama pada umumnya termasuk Islam, telah mengajarkan umatnya untuk percaya kepada yang ghaib. Tuhan, wahyu, kiamat, hari akhirat, malaikat, jin, setan, surga atau neraka, termasuk makhluk ghaib. Hal-hal yang disebutkan, jelas tidak dalam kategori gejala yang dapat diamati. Mungkin saja dikatakan dalam ajaran agama bahwa para nabi pernah mengalami apa yang disebut proses menerima wahyu atau berkomunikasi dengan malaikat, memperoleh keistimewaan berupa mukjizat. Hal itu semua merupakan bagian dari peristiwa ghaib yang hanya harus dipercayai dan bukan pengalaman langsung yang bisa dialami oleh manusia biasa pada umumnya. Kepercayaan dalam suatu agama yang diterima berdasarkan pengetahuan atau keyakinan sendiri, memang tidak seluruhnya dapat diteliti dan diamati, karena dalam sistem keyakinan agama itu. Menurut Harsya W. Bachtiar membedakan kepercayaan keagamaan yang bisa diteliti adalah kepercayaan yang ghaib, tidak bisa dibuktikan berdasarkan kenyataan (empirit). Sedangkan kepercayaan yang bisa diteliti adalah kepercayaan keduniaan (tradisi) berkenaan dengan kenyataan yang diwujudkan di dunia. Kepercayaan yang bersifat tradisi inilah yang dapat dijadikan objek pengamatan antropologi, sosiologi, psikologi, arkeologi dan filologi. Banyak gagasan agama sebagai sistem budaya yang mengandung kepercayaan untuk diterima secara tradisional oleh para pengikut suatu agama. Gagasan kepercayaan misalnya tentang penyaliban Yesus dalam ajaran Gereja baik Katolik maupun Protestan merupakan sistem kepercayaan yang mutlak harus diterima oleh umat Kristen. Ada nilai-nilai dogmatika dalam Gereja, walaupun mengandung interpretasi berbeda. Menurut Gereja Katolik dogmatika berartikepercayaan yang harus diterima apa adanya dari isi Alkitab, tanpa kritik dan tanpa protes. Sedangkan Gereja Protestan memahami dogmatika sebagai upaya kajian penganut Gereja terhadap misi Alkitab, karena itu di mata umat Katoik, Alkitab tertutup untuk menerima penafsiran, selain imam yang dianggap wakil Tuhan. Sedangkan di mata kaum Protestan, Alkitab justru terbuka untuk dikaji, dipelajari dan ditelaah agar umat Gereja memperoleh pemahaman yang utuh dari kitab sucinya. Secara antropologis kepercayaan yang bersifat tradisional ini dapat disaksikan gejala-gejalanya, baik dari sistem credo (12 syahadat rasul) yang selalu dibacakan pada setiap kebaktian di Gereja atau dari tanda-tanda salib yang secara simbolik melambangkan kepercayaan terhadap penyaliban Yesus. Kepercayaan terhadap adanya roh-roh halus atau arwah yang sudah meninggal, yang kemudian dapat kembali lagi melakukan reingkarnasi dalam agama Hindu misalnya dapat disaksikan gejalanya dari tradisi yang berkembang di kalangan mereka. Menurut keyakinan umat Hindu, arwah orang yang meninggal masih berada di sekitar rumah selama satu minggu untuk mencari peluang reingkarnasi (penjelmaan kembali) ke dalam jasad keluarga yang hidup. Agar proses reingkarnasi tidak berlangsung begitu cepat, maka keluarga yang masih hidup mengadakan pertemuan di malam hari untuk berjaga-jaga, sambil membakar kemenyan dan menyebar bau kembang, sehingga arwah orang yang sudah meninggal itu tidak mungkin kembali dan mengganggu keluarga yang hidup. Kegiatan semacam ini dilanjutkan pada hari keempat puluh, ke seratus dan ke seribu, sebagai suatu tradisi yang berkesinambungan. Tradisi kepercayaan umat Hindu itu juga dapat diamati gejalanya di Indonesia, meskipun sudah tidak asli lagi karena proses sinkritisme budaya. Percampuran antar kebudayaan dan kepercayaan penduduk asli Indonesia, termasuk umat Islam di dalamnya harus diakui telah terjadi sejak awal masuknya Islam ke Indonesia. Sinkritisme budaya itu telah melahirkan tradisi tahlil setiap adanya kematian anggota keluarga. Bacaan-bacaan tahlil, tasbih, tahmid, taghfir adalah tradisi Islam yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad untuk membiasakannya sebagai kalimat thoiyyibah dalam zikir, ringan diucapkan tetapi akan menambah bobot timbangan di hari akhir. Sementara itu acara makan-makan di tempat anggota keluarga yang terkena musibah kematian, membakar kemenyan, meletakkan kembang di gelas, selamatan tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari dan seterusnya merupakan bentuk sinkritisme budaya dari agama Hindu. Gejala kepercayaan yang dapat diamati juga dijumpai di kalangan umat Islam, berkaitan dengan kehidupan di alam kubur. Umat Islam meyakini bahwa ada kehidupan di alam kubur bagi mereka yang sudah meninggal. Hal itu dapat disaksikan gejala-gejalanya dari tradisi kepercayaan yang berkembang di kalangan masyarakat Islam. Misalnya talqin bagi orang yang meninggal di atas kuburan pada waktu berlangsungnya pemakaman. Gejala-gejala kepercayaan itu dapat diamati dalam proses berlangsungnya talqin. Sebagai sistem budaya, agama juga dapat didekati melalui norma (aturan) yang ditentukan serta berlaku pada setiap agama. Banyak norma yang diajarkan oleh agama menjadi tuntunan peraturan bagi para pengikut agama yang bersangkutan. Secara empirik, norma-norma agama itu dapat dipelajari dan diamati dengan memperhatikan gejala-gejala ketentuan hukum atau aturan yang diberlakukan dalam masyarakat beragama. Normanya sendiri barangkali secara konkrit tidak dapat disaksikan, karena bersifat kognitif. Namun gejala-gejala tentang adanya norma agama dapat dilihat dari ketentuan hukum yang berlaku, peraturan, undang-undang, kaidah, dan rambu-rambu peringatan dalam kitab suci. Misalnya dalam Gereja Katolik ada ketentuan Pastor tidak boleh menikah sepanjang hidupnya selama mengemban tugas sebagai imam (karena dianggap wakil tuhan yang harus senantiasa berkonsentrasi dalam memberikan pelayanan pada umat), ketentuan untuk mengaku dosa bagi orang Katolik yang telah melakukan dosa sendiri, serta ketentuan memakan roti dan minum anggur dalam setiap sakramen. Gejala norma agama juga dapat dipelajari dalam ajaran Budha, berkaitan dengan keharusan jalan kebenaran serta menjauhi larangan untuk berkata dusta dan mengambil hak orang lain. Dalam ajaran Islam juga banyak mengandung norma agama, yang gejalanya dapat diperhatikan dari adanya ketentuan-ketentuan tentang jenis makanan dan minuman yang halal dan yang haram, larangan berbuat zina, larangan memakan riba, dan lain sebagainya. Di dalam agama secara empirik sistem nilai tidak dapat diamati langsung, karena bersifat abstrak. Menurut ajaran agama, nilai baik dan buruk hanya dapat didekati berdasarkan kepercayaan masing-masing umat yang bersangkutan, begitu pula dengan nilai dosa dan pahala. Pengamatan hanya dapat dilakukan terhadap gejala-gejala sikap orang beragama ketika melakukan suatu perbuatan atau menghindari suatu perbuatan. Seorang muslim misalnya, begitu semangat dalam melakukan ibadah, begitu semarak menyambut datangnya bulan puasa, berani mengorbankan harta benda, untuk menunaikan ibadah haji ke Kota Mekkah dan lain sebagainya. Apabila diamati hal-hal tersebut memiliki motivasi tinggi dalam mengejar nilai-nilai pahala yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Begitu juga sebaliknya ketaatan menjauhi larangan berbuat maksiat dan durhaka adalah indikasi kuat bahwa yang bersangkutan takut melakukan perbuatan dosa. Sistem nilai yang terdapat dalam setiap agama sangat berpengaruh dalam memberikan motivasi pada seseorang yang menjadi penganut agama yang taat, untuk menumbuhkan kepercayaan dalam melaksanakan pengabdian dan mentaati norma-norma yang berlaku. Secara sistematik dapat digambarkan bahwa sub sistem dalam agama saling terkait dan tidak bisa di pisahkan. Kepercayaan seseorang kepada zat yang dianggap Tuhan, apa dan bagaimanapun bentuknya akan mendorong seseorang untuk melakukan pengabdian maupun penyembahan, sebagai konsekuensi logis dari sistem keyakinan yang dianutnya. Sistem pengabdian, persembahan, kebaktian atau peribadatan yang dilakukan secara ritual, tentu tidak akan mungkin dapat dilaksanakan dengan baik dan benar, jika tidak ada tata aturan atau norma yang mengaturnya. Sistem norma memberikan panduan bagi manusia dengan melaksanakan pemujaan atau persembahan kepada zat yang dianggap Tuhan. Sistem norma juga yang memberikan petunjuk berupa perintah dan larangan bagi pemeluk bagi suatu agama. Sumber norma itu bisa berasal dari wahyu yang datang dan terhimpun dalam kitab suci atau juga bisa sebagai hasil renungan para pemimpin dan tokoh agama ketika menyepi atau menyendiri. Sistem norma memberikan dukungan terhadap kelancaran pelaksanaan ibadah secara kondisioning, sekaligus juga memberikan kontrol terhadap sikap dan prilaku seseorang dalam agama. Ketaatan atau kepatuhan seseorang terhadap ajaran agama yang dianut sesungguhnya dapat diamati dari tingkat ketaatan orang tersebut dalam mematuhi norma-norma agama yang telah ditentukan, dan tingkat pelanggaran terhadap norma-norma tersebut. Ketaatan orang beragama terhadap sistem norma juga tidak bisa dipisahkan dari keberadaan sistem nilai yang memberikan harapan berupa pahala bagi orang yang melakukan kebajikan atau ancaman berupa siksa bagi individu yang banyak berbuat dosa. Joachim Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan. Lebih tegas dikatakan Geertz bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan. Dapatlah disimpulkan bahwa agama dapat menggerakkan budaya timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif. BAB III PENUTUP Kesimpulan Dengan demikian, berdasarkan materi pembahasan di atas dapat disimplkan bahwa kehidupan manusia melalui pendekatan sistematik, akan dapat diketahui, dipelajari, dan diteliti keberagamaan seseorang berdasarkan gejala-gejala perilaku yang dipengaruhi oleh sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, dan sistem norma serta nilai agama yang dianutnya. Hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai makhluk beragama merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan pelbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi agama. Dengan demikian dapat dipahami bahwa agama sebagai sistem budaya merupakan pendekatan nilai agama yang cukup sistematis yang dipengaruhi oleh norma-norma dan nilai-nilai agama yang dianut pemeluknya.   DAFTAR PUSTAKA Abbas, Zainal Arifin, Perkembangan Pikiran terhadap Agama, Jakarta: Pustaka Al Husna,1984. Abdul Muin, Taib Thahir, Ilmu Kalam II, Pen. Widjaja: Jakarta, 1973. Ali, Mukti, Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional, Yayasan An-Nida’: Yogyakarta, 1969. Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Anisatun Muti’ah, dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009 Deradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang: Jakarta,1973. Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1992. Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Ranaka Cipta,1990 Mulyono, Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 1982. Syafa’at, Mengapa Anda Beragama Islam, Jakarta: Widjaja 1965. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta:Pusat Bahasa,2008. Wach, Jaochim, Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta : Rajawali, 1984. Budaya, www.wikipedia.com/budaya diakses tanggal 10 Oktober 2010 Clifford Geertz, The Religion as a cultural System (Agama sebagai System Budaya). www.google.com diakses tanggal 10 Oktober 2010 Iwan Joeyz, Hubungan Agama dan Budaya: Tinjauan Sosiokultural, www.google.com diakses tanggal 10 Oktober Khotimah, Makna Agama Hingga Munculnya Agama Baru. www.google.com. diakses tanggal 10 Oktober 2010.

Patologi Sosial : KENAKALAN REMAJA

KENAKALAN REMAJA (Studi Kasus di SMK Negeri 1 Aimas Kab. Sorong) Oleh : Zaenal Arifin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah. Oleh karenanya, remaja sangat rentan sekali mengalami masalah psikososial, yakni masalah psikis yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial. Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 12 atau 13 sampai 19 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana terjadi juga perubahan pada dirinya baik secara fisik, psikis, maupun secara sosial. Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis, yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku yang mengganggu. Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan sifat kepribadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat yang biasanya disebut dengan kenakalan remaja. Untuk mengetahui latar belakang kenakalan remaja perlu membedakan adanya kenakalan remaja yang tidak disengaja dan disengaja. Kenakalan remaja yang tidak disengaja diantaranya karena pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada. Sedangkan kenakalan remaja yang disengaja, bukan karena pelaku tidak mengetahui aturan. Hal yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seorang remaja melakukan penyimpangan, padahal ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan. Tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Kehidupan remaja banyak kita temukan di masa usia sekolah, terutama di sekolah tingkat menengah, yaitu sekitar usia 12 sampai 19 tahun. Sekolah tingkat menengah merupakan lembaga pendidikan yang menjadi tempat pendidikan lanjutan secara formal bagi para remaja selain di lingkungan keluarga. Kehidupan remaja di sekolah sangat mungkin ditemukan sebagai siswa yang bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku yang merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Perilaku menyimpang atau disebut sebagai kenakalan remaja, menjadi perhatian penting hingga saat ini, baik dari keluarga, sekolah maupun masyarakat untuk saling mendukung dalam mencegah dan mengatasi masalah tersebut. Maka dari itu, masalah kenakalan remaja menarik untuk dijadikan objek penelitian oleh para peneliti yang tertarik sebagai karya ilmiah. Para peneliti ingin melihat kecenderungan kenakalan remaja yang terjadi pada masa anak usia sekolah. Kenakalan remaja di daerah-daerah mana pun banyak ditemukan prakteknya oleh para remaja usia sekolah. Hampir setiap sekolah-sekolah yang ada di daerah-daerah mempunyai masalah tersebut, dan selalu berupaya untuk mencegah dan mengatasi permasalahan yang terjadi pada siswa. Seperti Kabupaten Sorong sendiri yang menjadi daerah transmigran, terdapat beberapa sekolah tingkat menengah yang dihuni oleh para remaja. Diantaranya di SMK Negeri 1 Aimas ditemukan banyak komunitas remaja sebagai peserta pendidikan. Namun, menurut informasi dari masyarakat setempat atau lingkungan sekitar, siswa di sekolah tersebut terdapat kecenderungan kenakalan remaja yang membutuhkan perhatian khusus. Maka dari itu, perlu diadakan penelitian lebih mendalam mengenai masalah penyimpangan perilaku oleh para remaja atau siswa di sekolah tersebut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, kenakalan remaja banyak terjadi pada anak masa usia sekolah tingkat menengah. Hal ini terjadi karena pelaku kenakalan remaja sendiri banyak ditemukan pada siswa yang masih aktif di sekolah. Maka dari itu, penulis melakukan penelitian di SMK Negeri 1 Aimas dengan mencari data semaksimal mungkin dalam mengetahui wacana praktek kenalan remaja yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut. Sebagai pokok permasalahan adalah mengapa praktek kenakalan remaja masih terus terjadi di SMK Negeri 1 Aimas? Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis akan menitikberatkan pembahsan pada tiga persoalan utama, yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana praktek kenakalan remaja yang terjadi pada siswa di sekolah? 2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadi kenakalan remaja di sekolah? 3. Bagaimana cara mengatasi kenakalan remaja yang terjadi di sekolah? C. Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian adalah mengidentifkasi dan memberikan gambaran praktek perilaku menyimpang atau kenakalan yang dilakukan siswa di sekolah. Sedangkan manfaat penelitian yang diharapkan dapat tercapai dalam penelitian ini, maka penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk : 1. Manfaat Teoritis Dengan tersusunnya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang kenakalan remaja dan penanggulannya. 2. Manfaat praktis a. Guru Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada guru sebagai salah satu bahan dalam memberikan bimbingan dan pendidikan kepada siswa mengenai proses belajar mengajar serta mengatasi masalah pribadi siswa, sehingga dapat mencegah dan mengatasi kenakalan remaja dengan peranan sekolah. b. Orang Tua Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan tentang kenakalan remaja, sehingga orang tua dapat memperbaiki bimbingan, pendidikan dan pengawasan di lingkungan keluarga dalam rangka mencegah dan mengatasi kenakalan remaja. c. Siswa Bagi siswa akan dapat memberikan masukan tentang wawasan kenakalan remaja, sehingga siswa dapat berusaha menghindari praktek kenakalan remaja. d. Peneliti Dengan penelitian ini membantu peneliti sebagai wahana latihan pengembangan ilmu pengetahuan dan ketrampilan dalam usahanya mencegah dan mengatasi kenakalan remaja sehingga dapat meminimalisir praktek kenakalan remaja dalam lingkungan sekolah.  BAB II PEMBAHASAN A. Sosiografi SMK Negeri 1 Aimas SMK Negeri 1 Aimas terletak di jalan Petrochina Kelurahan Malawili Distrik Aimas yang berada di wilayah pemerintahan Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat. Lokasi sekolah cukup terjangkau dengan banyakanya angkutan umum yang beroperasi di wilayah Distrik Aimas, meskipun jika turun dari angkutan umum masih berjalan kaki sekitar 3 km dari jalan raya. SMK Negeri ini mempunyai lokasi yang cocok untuk belajar karena tempatnya yang berada di pinggiran kota memungkinkan siswa belajar dengan tenang. SMK ini mempunyai kondisi perkembangan peserta didik cukup pesat karena banyak menjadi pilihan para siswa baru sekolah lanjutan tingkat menengah. Dengan adanya asumsi bahwa siswa lulusan SMK ini akan lebih mudah mendapatkan lapangan pekerjaan di banding lulusan siswa SMA. Hal itu disebabkan karena SMK sebagai sekolah kejuruan sudah mengacu dan mengarah pada program pendidikan dengan jurusan tertentu dalam berwirausaha. Sejarah berdirinya SMK Negeri 1 Aimas dimulai pada tahun 2002 semenjak wilayah Aimas menjadi ibu kota Kabupaten Sorong, dimana Aimas belum mempunyai lembaga pendidikan tingkat SMA maupun SMK Negeri, sehingga anak-anak Aimas semua sekolah ke Kota Sorong, sehingga banyak memakan waktu dan biaya transportasi. Dengan berdasar itulah pada tahun 2003, atas ide gagasan Sekda Kabupaten Sorong Bapak Tri Budiarto (Wakil Bupati sekarang) maka langkah pertama dibukalah SMA Negeri 1 Aimas dan bertempat di SD 40 Malawili. Giliran selanjutnya pada tahun 2004 dibuka lagi SMK Negeri 1 Aimas yang sementara menumpang di SD 41 Malawele, dengan menugaskan Bapak H. Ahmad Sutedjo dan Ibu Nurhaining sebagai penerima siswa baru dan mengurus segala keperluan tentang SMK Negeri 1 Aimas. Di awal pembukaannya, telah menerima siswa baru sebanyak 108 siswa dan dibagi menjadi 3 jurusan, yakni Akuntansi, Administrasi Perkantoran dan Perdagangan. Untuk program Perdagangan, karena mengikuti petunjuk Kabid Dikmenjur Provinsi Papua, maka program ini dibubarkan. Pada tahun 2005 karena perkembangan siswa bertambah, lokasi SD 41 tidak mampu menampung siswa SMK. Atas perintah Kepala Dinas PMLS, maka SMK Negeri 1 Aimas dipindahkan dengan menumpang di SMP Negeri 3 Aimas. Selama dua tahun di SMP Negeri 3 Aimas, UN pertama pelaksanaannya di SMP Negeri 3 Aimas. Pada awal tahun 2007 dibangun 4 ruang kelas bertempat di jalan Petrochina Malawili, sehingga pada awal tahun pelajaran 2007/2008, SMK Negeri 1 Aimas telah resmi pindah menempati gedung baru. Pada awal perpindahan sekolah di tempat baru, karena rombongan belajar ada 9 rombel, sedangkan ruang kelas yang ada hanya 3 ruang, maka sekolah berjalan dengan 3 sip waktu. Selanjutnya pada tahun 2007 dibangun 4 ruang teori dan 3 ruang praktek dan tahun 2008 dibangun lagi 3 ruang teori. Sesuai dengan perkembangan pada tahun pelajaran 2008/2008 dibuka program Teknik Gambar Bangunan dan pada tahun pelajaran 2009/2010 telah dibuka program Teknik Informatika dan Komunikasi yang sampai saat ini telah memasuki tiga tahun ajaran. Pada tahun 2011 ini telai mulai dibangun kembali 3 ruang teori dan ruang aula sebagai pemenuhan sarana dan prasarana di sekolah. Dalam usaha peningkatan kesejahteraan di SMK Negeri 1 Aimasberjalan dengan baik, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pembayaran berupa gaji yang diberikan pada guru dan karyawan serta pembangunan sarana dan prasarana masih berjalan.Secara umum setiap guru yang bertugas di SMK ini memperoleh fasilitasyang cukup memadai, misalnya masing-masing guru disediakan meja dan kursi. Begitupun fasilitas yang diberikankepada siswa cukup baik seperti meja dan kursi yang lengkap, alat tulis, kantin sekolah, perpustakaan, sarana olah raga dan kamar mandi. Selain itu siswa mendapatkan fasilitaslaboratorium IPA, laboratoriumkomputer akuntansi, dan laboratorium komputer perkantoran. Dengan lingkungan dan sarana prasarana sekolah yangmenunjang kependidikan, diharapkan siswa dapat dengan nyaman belajar disekolah. Bagi karyawan yang bertugas sebagai Tata Usaha, disediakan sebuahruangan khusus TU. Setiap petugas TU memperoleh meja dan kursi kerja, dilengkapi beberapa komputer beserta printernya, selain itu juga disediakan beberapa buah mesin ketik. Perlu diketahui sarana dan prasarana SMK ini masih perlu ditingkatkan lagi. Pertama, belum terpenuhi ruang kelas belajar bagi para siswa, misalnya 2 kelas rombel digabung menjadi satu dimana ruang kelas masih proses pembangunan. Sehingga kegiatan belajar mengajar kurang efektif dalam menyampaikan materi. Kedua, belum dibangun tempat ibadah bagi siswa sebagai penunjang kegiatan keagamaan dalam membimbing akhlak maupun moral siswa dengan kesadaran beragama. Mengenai tata tertib dan peraturan di SMK ini, apabila ditemukan siswa yang melanggar akan diberi sanksi poin dan skorsing sesuai tingkat pelanggaran dan berdasar pertimbangan para guru, terutama diberikan nasehat dan peringatan dahulu oleh guru BP dan Wakasek bidang kesiswaan. Sehingga peraturan sekolah menjadi kewajiban yang harus dipenuhi para siswa sebagai kontrol dalam pelaksanaan kegitan belajar mengajar di sekolah. Tujuan utama berdirinya SMK ini adalah sebagai lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan lanjutan dari sekolah tingkat menengah pertama/sederajat untuk dapat menyiapkan peserta didik yang berkualitas agar memiliki kemampuan dan potensi serta mempunyai daya saing sebagai respon di era globalisasi dengan berdasar pada keimanan dan ketakwaan serta mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Disamping itu, lulusan SMK ini diharapkan memiliki wawasan yang luas yang didapatkan dari sekolah, terutama di bidang kejuruan yang diarahkan untuk melatih dan menanamkan jiwa kewirausahaan mulai dini. B. Kenakalan Remaja di SMK Negeri 1 Aimas Mengapa remaja identik dengan kenakalan remaja? Kerana pada masa remaja merupakan masa yang labil bagi hidup mereka, tergantung bagaimana mereka mampu melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan disekitarnya, baik di sekolah maupun di masyarakat. Kenakalan remaja merupakan bentuk-bentuk perbuatan yang melanggar tata tertib sekolah maupun hukum agama dan adat, serta pelanggaran kepada hukum pidana maupun hukum perdata. Menurut Sudarsono yang dimaksud dengan kenakalan remaja adalah suatu perbuatan yang berupa pelanggaran hukum maupun perbuatan-perbuatan anti sosial seperti berada di tempat-tempat umum pada jam-jam pelajaran, berperilaku buruk, serta penyalahgunaan obat-obat terlarang. Hasan Basri berpendapat kenakalan remaja adalah suatu penyimpangan tingkah laku yang dilakukan oleh remaja hingga mengganggu ketentraman dirinya sendiri dan orang lain. Singgih D Gunarso mengemukakan kenakalan remaja merupakan perbuatan atau tingkah laku yang bersifat pelanggaran hukum yang berlaku dan pelanggaran nilai-nilai moral, yang dilakukan oleh mereka yang berumur antara 13-17 tahun. Sarlito Wirawan Sarwono berpendapat kenakalan remaja adalah tindakan oleh seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh petugas hukum ia bisa dikenai hukuman. Dari pendapat-pendapat di atas dapat diperoleh pengertian kenakalan remaja adalah tindakan perbuatan atau tingkah laku remaja yang melanggar dan bertentangan dengan hukum, agama, norma sosial dan norma masyarakat serta nilai-nilai moral yang merugikan orang lain, mengganggu ketentraman umum dan merusak diri sendiri. Dalam kehidupan para remaja, sering kali dikelilingi hal hal yang negatif dalam rangka penyesuaian dengan lingkungan sekitar baik lingkungan dengan guru dan teman-temannya di sekolah maupun lingkungan pada saat dia di masyarakat. Hal tersebut dapat berbentuk positif hingga negatif yang sering kita sebut dengan kenakalan remaja. Di sekolah-sekolah tingkat menengah mulai SMP, SMA, SMK atau sederajat banyak ditemukan tempat berlangsungnya kehidupan remaja selain kehidupan mereka di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sekolah menjadi habitat yang tak terpisahkan oleh para remaja sebagai peserta didik yang berada di dalam lingkungan sekolah. Sebagian remaja atau biasa disebut siswa belum tentu mampu menyesuaikan diri dengan berada di lingkungan yang baru setelah keluar dari rumah tinggal masing-masing. Hal itu, tergantung bagaimana kemampuan siswa dalam beradaptasi dengan keadaan di luar. Maka dari itu, proses pendidikan dalam keluarga sangat penting diterapkan dalam masa remaja melalui pengalaman dan pengetahuan pada dirinya sendiri sebagai kontrol terhadap dalam pergulatan dunia yang baru. Sebagaimana di sekolah-sekolah lain, tidak dipungkiri bahwa SMK N 1 Aimas juga merupakan bentuk komunitas remaja dengan latar belakang yang beragam, baik dari suku, agama, warna kulit, status sosial dan sebagainya. Sebagai makhluk sosial, mereka akan saling berinteraksi dan berkomunikasi antara siswa dengan guru, karyawan maupun siswa yang lain. Hal ini disebabkan oleh adanya motivasi untuk melakukan interaksi yang dipengaruhi oleh adanya aturan dan harapan di ruang lingkup sekalah tersebut. Perwujudan dari interaksi ini adalah pemenuhan kebutuhan dalam segi kehidupan. Pada akhirnya, komunikasi antara mereka terus berlangsung, diantaranya membawa dampak positif maupun negatif. Remaja atau siswa dapat mensosialisasikan dirinya terhadap orang lain, pengalaman dan pengetahuan bertambah, perubahan sikap dan tingkah laku. Namun juga kita temukan tidak sesuai yang diharapkan yaitu ada siswa yang berperilaku menyimpang yang disebut dengan kenalan remaja. Menurut Ibu Saloma Br Sitepu, selakui guru BP di SMK Negeri 1 Aimas, beliau mengatakan tentang perilaku menyimpang yang terjadi di sekolah tersebut. Diantaranya yang banyak terjadi pada siswa adalah bolos atau tidak masuk sekolah tanpa adanya keterangan, terlambat masuk kelas, merusak fasilitas sekolah, membuat gaduh di ruang belajar akibatnya kegiatan belajar mengajar terganggu, kurang bertanggungjawab terhadap tugas yang diberikan oleh para guru. Hal itu yang sangat disayangkan apabila seorang remaja yang masih dalam usia produktif untuk belajar dan kurang kesadaran untuk belajar. Selain itu, kasus yang merusak moral para siswa yaitu terkait video porno. Melalui razia yang dilakukan pihak sekolah ditemukan beberapa siswa yang menyimpan video porno di hp. Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah disalahgunakan bagi mereka dan membawa dapak yang negatif. Hal itu dapat merusak mental siswa dalam masalah seksual, dan mengacu terjadinya sex bebas diantara siswa. Bahkan, beberapa siswa telah kebobolan keperawanan mereka atau mengalami kehamilan. Akhirnya, mereka dikeluarkan dari sekolah atau mengundurkan diri karena malu, baik laki-laki maupun perempuan sebagai pelaku. Bentuk kenakalan remaja yang lain adalah penyalahgunaan narkoba dan miras masih dalam penyelidikan lebih lanjut. Perlu diketahui bahwa banyak terjadinya siswa mempunyai budaya berpacaran yang dapat berdampak negatif. Hal itu dianggap sebuah hal yang wajar, atau bahkan sangat diperlukan mengingat gengsi dengan teman-teman yang lain. Mereka akan mendapat cemooh, ejekan yang membuat minder, misalnya kata “kamu tak laku-laku” atau “kasian nggak punya pacar”. Mereka tidak menyadari bahwa dalam berpacaran selalu diiringi dengan kebohongan, baik kepada orang tua atau teman, tidak taat aturan, tindakan amoral, asusila dan ujungnya melakukan sex sebelum menikah. Tanpa berpikir akibat yang ditimbulkan akan banyak timbul perilaku yang menyimpang yang dilarang agama. C. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kenakalan Remaja di SMK Negeri 1 Aimas Hasan Basri menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kenakalan pada umumnya dibagi dua yaitu: a. Faktor yang terdapat dalam diri individu Faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu yang menyebabkan kenakalan remaja adalah perkembangan pribadi yang terganggu, individu mempunyai cacat tubuh, individu mempunyai kebiasaan yang mudah terpengaruh, kontrol diri yang lemah, taraf intelegensi yang rendah. Persepsi dan konsep diri juga merupakan faktor yang dapat menyebabkan kenakalan remaja karena dengan persepsi individu dapat menyadari, mengerti tentang keadaan lingkungan sekitar dan keadaan diri individu yang bersangkutan. Seluruh apa yang ada dalam individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berfikir, kerangka acuan serta aspek-aspek lainnya yang ada dalam diri individu akan ikut berperan dalam persepsi itu. Jadi dapat disimpulkan kemampuan siswa untuk dapat menyadari dan mengerti tentang keadaan diri sendiri dan keadaan lingkungan sekitar dapat menyebabkan kemampuan siswa untuk dapat menghindari perilaku-perilaku negatif yang sering disebut dengan kenakalan remaja, hal ini disebabkan siswa akan mencari solusi terbaik dari permasalahan yang sedang dihadapi baik itu permasalahan yang datangnya dari diri sendiri ataupun dari lingkungan. b. Faktor yang terdapat di luar diri individu Faktor-faktor yang terdapat di luar diri individu yang menyebabkan kenakalan remaja adalah lingkungan pergaulan yang kurang baik, kondisi keluarga yang tidak mendukung terciptanya perkembangan kepribadian anak yang baik, pengaruh media masa, kurangnya kasih sayang yang dialami anak-anak dan karena kecemburuan sosial atau frustasi terhadap keadaan sekitar. Jika dipandang dari segi psikologi maka penyebab timbulnya kelakuan yang nakal antara lain disebabkan oleh timbulnya minat terhadap diri sendiri, timbulnya minat terhadap lawan jenis, timbulnya kesadaran terhadap diri sendiri dan timbulnya hasrat untuk dikenal oleh orang lain. Dari penjelasan di atas dapat diperoleh pengertian bahwa kenakalan remaja bukanlah suatu keadaan yang berdiri sendiri tetapi merupakan perpaduan dari beberapa kondisi yang dialami anak remaja. Jika dalam pertumbuhan dan perkembangan remaja kurang mendapat pendidikan dan pengarahan yang penuh tanggung jawab dari kedua orang tua, maka kenakalan remaja merupakan akibat yang tidak dapat terhindarkan lagi. Menurut Ibu Martha Widi Harsanti, selaku Wakil Kepala Sekolah dibidang Kesiswaan SMK Negri 1 Aimas, beliau mengungkap bahwa kenakalan remaja yang terjadi di SMK Negeri 1 Aimas merupakan persoalan yang diperlukan respon yang aktif dan ambil tindakan, diantaranya kenakalan remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut : 1. Pembentukan kepribadian siswa dalam keluarga Pertumbuhan dan perkembangan jasmani serta rohani manusia berlangsung dari bayi hingga remaja, tenyata masa kanak-kanak yaitu rnasa yang paling baik dalam pembentukan kepribadan.Kepribadian tumbuh dan berkernbang sepanjang hidup manusia.terutama sejak lahir sampai masa remaja yang selalu berada di lingkungan keluarga, diasuh oleh orang tua dan bergaul dengan anggota keluarga lainnya. Setiap hari berada di rumah dan hanya beberapa jam saja berada di sekolah atau tempat lainnya di luar rumah. Karena itu dapat dipahami cukup besar pengaruh dan peranan keluarga serta orang tua dalam membentuk/menempa pribadi seorang anak. Misalnya, setiap bayi buang air kecil atau besar, harus segera diganti popoknya. Ini bertujuan di samping memelihara kesehatan bayi, juga berarti membiasakan selalu bersih.Bayi jangan dibiarkan lama-lama bergelimang kencing atau kotoran lainnya. Jika bayi menangis, jangan terus digendong, hal itu akan memanjakannya. Bila bayi sudah besar dan pandai berjalan, perlu penguasan yang lebih intensif agar tidak cedera.Anak perlu diberi kesempatan bermain dengan atau tanpa benda, sesuai dengan tingkat perkembangannya.Anak kecil jangan terlalu dicampuri bermain, terlalu sering ditolong, biarkan dia sendiri bermain, berlatih dan bekerja secara mandiri.Kita jangan lalai mengawasinya. Pendidikan dalam keluarga merupakan bekal penting bagi seorang remaja ketika dia sudah ada kemauan keluar rumah dalam berinteraksi dengan orang selain keluarganya, baik di sekolah maupun di lingkungan. Dalam hal ini, komunikasi seorang anak terhadap keluarga jangan sampai terputus, seolah-olah tidak mau tahu atau merasa tidak tahu tentang keadaan ananknya. Keluarga seharusnya mendorong atau memotivasi dirinya, menuntun dan mengiringi setiap langkahnya dan melakukan pengawasan maupun kontrol yang dilakukan secara kontinu. 2. Pengaruh Teman dan Pergaulan Di kalangan remaja, memiliki banyak kawan merupakan satu bentuk prestasi tersendiri seperti pertemanan di sekolah.Makin banyak kawan, makin tinggi nilai mereka di mata teman-temannya.Apalagi mereka dapat memiliki teman dari kalangan terbatas. Misalnya, anak orang yang paling kaya di kota itu, anak pejabat pemerintah setempat bahkan mungkin pusat atau pun anak orang terpandang lainnya. Di jaman sekarang, pengaruh kawan bermain ini bukan hanya membanggakan si remaja saja tetapi bahkan juga pada orangtuanya.Orangtua juga senang dan bangga kalau anaknya mempunyai teman bergaul dari kalangan tertentu tersebut.Padahal, kebanggaan ini adalah semu sifatnya. Malah kalau tidak dapat dikendalikan, pergaulan itu akan menimbulkan kekecewaan nantinya. Sebab kawan dari kalangan tertentu pasti juga mempunyai gaya hidup yang tertentu pula. Apabila si anak akan berusaha mengikuti tetapi tidak mempunyai modal ataupun orangtua tidak mampu memenuhinya maka anak akan menjadi frustrasi. Apabila timbul frustrasi, maka remaja kemudian akan melarikan rasa kekecewaannya itu pada narkotik, obat terlarang, dan lain sebagainya. 3. Penggunaan Waktu Luang Kegiatan di masa remaja sering hanya berkisar pada kegiatan sekolah dan seputar usaha menyelesaikan urusan di rumah, selain itu mereka bebas, tidak ada kegiatan. Apabila waktu luang tanpa kegiatan ini terlalu banyak, pada si remaja akan timbul gagasan untuk mengisi waktu luangnya dengan berbagai bentuk kegiatan. Apabila si remaja melakukan kegiatan yang positif, hal ini tidak akan menimbulkan masalah. Namun, jika ia melakukan kegiatan yang negatif maka lingkungan dapat terganggu. Seringkali perbuatan negatif ini hanya terdorong rasa iseng saja.Tindakan iseng ini selain untuk mengisi waktu juga tidak jarang dipergunakan para remaja untuk menarik perhatian lingkungannya.Perhatian yang diharapkan dapat berasal dari orangtuanya maupun kawan sepermainannya.Celakanya, kawan sebaya sering menganggap iseng berbahaya adalah salah satu bentuk pamer sifat jagoan yang sangat membanggakan.Misalnya, ngebut tanpa lampu dimalam hari, mencuri, merusak, minum minuman keras, obat bius, dan sebagainya. Menurut pengamatan peneliti, selain beberapa faktor yang diuraikan di atas, terdapat faktor dominan yang sangat mempengaruhi terjadinya kenakalan remaja, yaitu kesadaran dam kematangan beragama. Siswa mempunyai jiwa keagamaan yang tidak matang atau pun lemah, tidak taat dalam menjalan syariat agamanya, maksiat sudah hal biasa dilakukan. Lemahnya iman atau bahkan tak mengenal Tuhannya lagi sekehendak mereka, karena mereka tak mengenal dirinya sendiri sebagai manusia yang berakal dan mempunyai hati nurani. Hal ini didukung oleh ketiadaan tempat ibadah di sekolah sebagai media pembelajaran agama dan akhlak atau moral untuk suplay kerohanian.Sangat disayangkan, penyampaian materi keagamaan sangat minim dilakukan kepada siswa. Maka dari itu, aplikasi agama hanya menjadi sebuah teori yang banyak didengar saja oleh para siswa, tanpa pelaksanaan dan penerapan pengamalan syariat agama. Selain itu, pemberian materi bimbingan dan konseling kurang atau pun tidak maksimal. Guru BP hanya diberi kesempatan memakai jam pelajaran yang kosong dari guru bidang studi yang mungkin berhalangan hadir. Sehingga materi yang diberikan bersifat spontanitas dan tidak terstruktur dengan baik. Dalam memberi wawasan moral bagi siswa maupun pengembangan dirimasih terbatas. D. Peranan Guru BP dan Guru Agama dalam Mengatasi Kenakalan Remaja di SMK Negeri 1 Aimas Guru adalah profesi yang mulia dan tidak mudah dilaksanakan serta memiliki posisi yang sangat luhur di masyarakat. Semua orang pasti akanmembenarkan pernyataan ini jika mengerti sejauh mana peran dan tanggung jawab seorang guru. Peran guru tidak hanya sebatas tugas yang harus dilaksanakan di depan kelas saja, tetapi seluruh hidupnya memang harus di dedikasikan untuk pendidikan. Tidak hanya menyampaikan teori-teori akademis saja tetapi suri tauladan yang digambarkan dengan perilaku seorang guru dalam kehidupan sehari-hari. Ketika menginjak remaja, seorang anak sudah mulai masuk usia belajar yang aktif, orang tua mencoba melanjutkan pendidikan anak ke tingkat yang lebih tinggi secara formal. Orang tua menyerahkan anak kepada sekolah agar dibimbing dan dididik dengan peranan para guru yang tercantum di dalam struktur lembaga pendidikan. Peranan guru sebagai orang tua di lingkungan sekolah menjadi pendidik, pembimbing serta pengawas terhadap perilaku para siswa, sehingga siswa bisa dianggap sebagai tanggung jawab bagi mereka. Maka dari itu, mereka selalu berharap anak didiknya agar menjadi lebih baik. Hal apa pun akan dilakukan demi kebaikan mereka. Motivasi dan kontrol dalam mengatasi segala permasalahan yang terjadi di sekolah menjadi tanggungan bagi setiap anggota secara struktural maupun kultural. Semua pihak mempunyai peranan penting dan saling mendukung. Misalnya, kepala sekolah sebagai instruktor, kepada guru-guru agar serius dalam kegiatan pembelajaran, apabila tidak tepati akan diberi sanksi. Begitu juga dengan kenakalan remaja yang terjadi di sekolah. Menghadapi hal tersebut, ada dua posisiyang mempunyai peranan didalam memecahkan masalah ini, yakni peranan guru BP dan guru agama. Diperlukan langkah-langkah yang tepat dan erja sama yang baik agar tidak menimbulkan masalah-masalah yang baru. Guru BP sebagai guru pembimbing para siswa dalam bimbingan dan konseling. Dia memegang posisi penting dalam menatap keadaan para siswa, terutama dalam memberi bimbingan terhadap potensi, bakat dan minat siswa yang perlu ditingkatkan dan dikembangkan; melakukan konseling terhadap permasalahan apa pun yang menimpa siswa, misal dapat sebagai tempat curhat masalah pribadi, mencoba mencari solusi atau pemecahan masalah siswa, dan sebagainya. Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang bermasalah, dengan menunjukkan berbagai penyimpangan perilaku atau kenakalan remaja. Terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah merujuk pada aturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah dengan diberikan sanksi pelanggaran dan skor serta diberikan nasehat maupun peringatan untuk tindak mengulangi, seperti tindakan bolos sekolah misalnya mendapat skor 10 poin, apabila mencapai angka 100 poin akan dikeluarkan dari sekolah yang sebelumnya diberi peringatan. Selanjutnya, ada upaya untuk menyembuhkan atau menyadarkan penyimpangan perilaku yang terjadi pada siswa dengan melalui bimbingan dan konseling dengan hubungan interpersonal antara guru BP dengan siswa.Jika diperlukan melibatkan dialog dengan orang tua siswa mengenai bimbingan dan mencari solusi yang terbaik. Masalah akan lebih mudah teratasi apabila adanya keterbukaan dan kesukarelaan menjadi kunci bimbingan konseling, dengan melalui persepsi dan konsep diri yang tepat agar siswa mau berintrospeksi terhadap perilaku dirinya sendiri. Salah satu tindakan BK di SMK misalnya, guru BP dibantu dengan guru perempuan yang lain mengadakan dialog dengan semua siswi, yang bertujuan untuk memberikan wawasan bagi siswi, bagaimana mereka agar selalu menjaga perilaku dan sikap, yakni perempuan harus dapat menjaga dirinya agar terhindar dari kejahilan atau kejahatan oleh laki-laki. Hal ini disebabkan, banyak peristiwa terjadi asusila maupun kejahatan perempuan yang dilakukan oleh orang laki-laki, dimulai dari seorang perempuan menjaga dirinya, dalam arti seperti pakaian yang ketat, akan mengundang syahwat bagi laki-laki dan akhirnya terjadilah perkosaan. Seorang perempuan tidak menyadari akan hal itu, dan merasa bangga akan kemolekan tubuhnya, dipamerkan dan ujungnya kerugianlah yang mereka dapatkan. Maka dari itu, menjadi pernpuan seyogyanyalah menjadi perempuan yang terhormat dan akan dihargai orang-orang yang berada disekitanya. Hal yang sangat urgen sekali yaitu peningkatan ketakwaan dan keimanan harus terus disyiarkan, dimana peranan guru agama sangat mendukung. Guru agama dapat menambah wawasan rohani sebagai pencerahan bagi jiwa keagamaan dan membentuk kesehatan mental bagi para siswa. Siswa yang berperilaku menyimpang disebabkan oleh tidak sehat mental atau jiwanya mengalami gangguan. Maka dari itu, materi pendidikan agama oleh guru dapat menuntun dan mengarahkan dengan pengetahuan dan pengalaman dalam pelaksanaan dan pengamalan syariat agama bagi para siswa. Selain itu, guru agama memberikan nasehat dalam hakikat pertemanan dan pergaulan. Siswa harus berhati-hati dalam mencari teman, dengan alasan bahwa seorang teman merupakan bentuk pencerminan pada diri mereka sendiri. Apabila teman dapat membawa dan mengarah pada kegiatan-kegiatan yang positif, sangat baik diterapkan dan perlu mendapat apresiasi dalam perkembangan peningkatan dalam bentuk kerja sama yang baik. Namun, apabila seorang teman membawa dan mengarah pada hal-hal yang negatif, perlu diingatkan dan harus menjadi perhatian khusus untuk dibenahi dan diarahakan menjadi lebh baik. Hal-hal yang bisa dilakukan dalan mengatasi kenakalan remaja: 1. Perlunya ditanamkan dasar agama yang kuat pada anak-anak sejak dini. 2. Prinsip keteladanan. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur orang dewasa yang telah melampaui masa remajanya dengan baik 3. Adanya motivasi dari keluarga, guru, teman sebaya untuk melakukan koreksi diri 4. Kemauan orangtua untuk membenahi kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif, dan nyaman bagi remaja. 5. Remaja pandai memilih teman dan lingkungan yang baik serta orangtua memberi arahan dengan siapa dan di mana remaja harus bergaul. 6. Remaja membentuk ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh jika ternyata teman komunitas yang ada tidak sesuai dengan harapan. Dengan demikian remaja dapat diharapkan menjaga remaja yang handal dan sehat. Remaja harus mengetahui dirinya memiliki kekhawatiran dan harapan,dengan kata lain remaja harus mengerti dirinya sendiri. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kenakalan remaja adalah suatu perbuatan yang melanggar norma, aturan atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia remaja atau transisi masa anak-anak dan dewasa. Kenakalan remaja yang terjadi di sekolah dipengaruhi oleh faktor bawaan pendidikan dan bimbingan yang mereka dapatkan dari keluarga. Sekian banyak orang tua kurang memperhatikan perkembangan anak yang sedang menginjak masa remaja yang labil dengan perilaku menyimpang. Maka dari itu, orangtua para remaja hendaknya justru menjadi pemberi teladan di depan, di tengah membangkitkan semangat, dan di belakang mengawasi segala tindak tanduk si remaja. Meskipun tentu masih banyak ditemukan kenakalan remaja masih sering terjadi di lingkungan sekolah dengan berbagai macam perilaku menyimpang. Selain itu, kenakalan remaja dipengaruhi oleh kepribadian dan konsep diri yang tebentuk pada masing-masing siswa usia masa remaja dan tentunya mempunyai perbedaan. Pertahanan diri yang kuat dan filterisasi terhadap pengaruh dari luar dirinya dengan baik. Hal itu yang perlu diperhatikan kembali dalam pembentukan kepribadian dan konsep diri yang matang. Sehingga dapat meminimalisir terjadinya kenakalan remaja dimulai dengan individu-individu tersebut. Perlu diperhatikan juga yaitu mengenai pendidikan agama sangat penting, dimana siswa yang mempunyai kesadaran agama yang matang, yaitu pembentukan akhlak atau moral yang baik. Sehingga wawasan keagamaan membawa akal untuk berpikir dan hati nurani dengan perasaan sebagai kontrol yang kiranya sangat efektif diterapkan bagi siswa. Hal itu akan terwujud apabila didukung oleh semua pihak, baik keluarga, sekolah dan lingkungan. Remaja merupakan masa labil dan rentan terhadap perilaku menyimpang. Maka dari itu, remaja selalu membutuhkan bimbingan dan pengawasan agar tidak terjerumus dalam pencarian jati dirinya. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang sudah penulis sampaikan di atas, maka ada beberapa pandangan yang dapat diangkat sebagai saran, sebagai berikut: 1. Bagi Orang Tua Siswa Hendaknya orang tua siswa menyadari akan tanggung jawab yang dimiliki terhadap putra-putrinya, terutama dalam memberikan bimbingan, arahan serta didikan di rumah, dan mengarhakan dalam pendalaman pemahaman agama. 2. Bagi Kepala Sekolah Kepala sekolah hendaknya mampu memberikan dorongan serta kesempatan kepada guru BPdan guru Agama guna membina pelaksanaan bimbingan dan pembinaan, secara optimal terutama dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapi. 3. Bagi Guru BP Sekolah Guru BP hendaknya benar-benar menampilkan sifat profesionalnya dan memanfaatkan kesempatan untuk membina dan membimbing siswa terutama dalam pelaksanaanbimbingan dan konseling, yang dapat sebagai penunjuk jalan, pembangkit kekuatan dan pembina tingkah laku positip yang dikehendaki. 4. Bagi Siswa Siswa hendaknya berusaha memahami pentingnya pengtahuan tentang kenakalan remaja, sehingga siswa mampu menghindari praktek perilaku menyimpang yang banyak terjadi di masa usia anak sekolah.   DAFTAR PUSTAKA Basri, Hasan. Remaja Berkualitas, Problematika Remaja dan Solusinya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1996. Gunarso, Singgih D..Psikologi Remaja.Jakarta : Rineka Cipta. 2000. Hikmawati, Fenti, Bimbingan Konseling, Jakarta: Rajawali Press, 2010. Mubin dan Ani Cahyadi, Psikologi Perkembangan, Ciputat: Ciputat Press Group, 2006. Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : Rajawali Press, 2010. Rahmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996. Sudarsono. Kenakalan Remaja. Jakarta : Rineka Cipta. 1991. Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011. Walgito, Bimo. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Ofset.2001. Wilis, Sofyan S, Konseling Keluarga, Bandung : Alfabeta, 2008. Wirawan Sarwono, Sarlito. Psikologi Remaja. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1997. Zulkifli, Psikologi Perkembangan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Design by Zay Arief