Senin, 12 Maret 2012

Fiqh Munakahat : Peminangan, Mahar dan Kafaah dalam Perkawinan

Oleh : Zaenal Arifin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adalah fitrah manusia di alam fana ini, bahwa dalam menjalani kehidupannya manusia tidak bisa hidup sendirian. Setiap manusia pasti membutuhkan manusia yang lain sebagai pasangan hidup, sebagai teman untuk berkomunikasi, sebagai tempat untuk berbagi perasaan suka dan duka, atau teman untuk bertukar pikiran. Di antara sekian banyak keperluan asasi manusia di samping makan, minum, dan pendidikan adalah pemenuhan kebutuhan akan seks. Kebutuhan seks juga merupakan fitrah manusia, Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya "perkawinan". Untuk itu dalam upaya pemenuhan kebutuhan seks ini Islam telah menyediakan perkawinan sebagai sarana untuk menghalalkan manusia menyalurkan kebutuhannya tersebut. Perkawinan sangat penting, karena akan membangkitkan ketenteraman jiwa baik suami ataupun isteri, serta tempat untuk saling mencurahkan rasa kasing sayang, Allah SWT berfirman dalam surah ar-Ruum ayat 21: وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. Disebabkan manusia dilahirkan dengan karakter, sifat dan tingkat emosi yang berbeda-beda, maka laki-laki yang akan memasuki jenjang perkawinan, dianjurkan Islam untuk meminang perempuan yang akan dinikahi, guna mempelajari satu sama lainnya sehingga bisa saling mengenal, sehingga pelaksanaan perkawinan nantinya benar-benar berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas. Dalam proses perkawinan, harus memenuhi rukun dan syaratnya sebagai wujud nikah yang sah. Selain itu, terdapat beberapa teknis pelaksanaan perkawinan yang perlu diperhatikan oleh setiap laki-laki dan perempuan serta walinya dalam membangun keluarga sakinah, mawaddah warahmah. Hal itu, berangkat dari peminangan sebagai pintu gerbang pernikahan, kesepakatan pemberian mahar oleh kedua mempelai dalam akad nikah dan adanya kafaah calon mempelai yang akan menikah dalam menemukan pasangan hidupnya menjadi tolak ukur dalam perkawinan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, perlu kita ketahui bahwa dalam proses perkawinan terdapat serangkaian proses yang perlu dikaji lebih lanjut secar meluas, yang diantaranya sebagio berikut: a. Bagaimana pengertian peminangan dalam perkawinan? b. Bagaimana pengertian mahar, syarat dan macam Mahar dalam perkawinan? c. Bagaimana pengertian dan ukuran kafaah dalam perkawinan?   BAB II PEMBAHASAN A. Peminangan Kata “peminangan” berasal dari kata “pinang”, meminang (kata kerja) yang mempunyai sinonim dengan kata melamar yang dalam bahasa Arab disebut khithbah (خطبة). Secara etimologi, meminang atau melamar mempunyai arti sebagaimana dalam kitab Fathul Qorib al-Mujib diterangkan : الخطبة هى التماس الخاطب من المخطبة النكاح “permintaan seorang laki-laki terhadap perempuan untuk menikahinya” . Secara terminologi, peminangan ialah “kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan wanita” , atau “seorang laki-laki meminta-meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi isterinya, dengan cara-cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat” . Meminang adalah muqaddimah dari sebuah pernikahan. Sebuah tindakan yang telah disyariatkan Allah SWT sebelum dilakukan pengikatan akad nikah agar masing-masing pihak bisa mengenal satu sama lain. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan peminangan adalah upaya seorang laki-laki atau wakilnya meminta kepada pihak perempuan yang bukan mahramnya untuk dijadikan isterinya, dengan cara tertentu yang telah berlaku di tengah-tengah masyarakat. Seorang perempuan boleh dipinang apabila memenuhi dua syarat, a. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan hukum yang melarang dilangsungkannya perkawinan. b. Belum dipinang orang lain secara sah. Apabila terdapat halangan-halangan hukum, seperti yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, atau telah dipinang lebih dahulu oleh orang lain, maka tidak boleh dipinang. Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang. Dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda: لايخطب احدكم على خطبة اخيه حتى يترك الخاطب قبله أو يأذن له “Janganlah seorang diantar kalian meminang perempuan yang telah dipinang oleh saudaranya, kecuali kalau peminang (pertama) meninggalkannya, sebelum datang pinangan kedua, atau ia (peminang pertama) memberi izin kepadanya” Hukum Khithbah Peminangan merupakan langkah awal dari suatu pernikahan. Hak ini telah disyariatkan oleh Allah SWT sebelum diadakannya akad nikah antara suami isteri. Dengan maksud, supaya masing-masing pihak mengetahui pasangan yang akan menjadi pendamping hidupnya. Allah SWT berfirman dalam surah al Baqarah ayat 235: وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلا أَنْ تَقُولُوا قَوْلا مَعْرُوفًا وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ... Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf. Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis idahnya. Ayat di atas menerangkan tuntunan bagi seseorang yang akan menikah bahwa tidak ada dosa meminang wanita yang telah bercerai dengan suaminya dengan perceraian yang bersifat ba’in. Sedangkan meminang wanita yang masih dalam masa iddahnya baik dilakukan dengan berupa sindiran, yakni tidak tegas dan terang-terangan menyebut maksud menikahinya. Dalam sebuah hadits dari Mughirah bin Syu’bah, disebutkan bahwa ia pernah meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah SAW bertanya: انظرت اليها ؟ قال : لا . قال : اذهب فانظر اليها . “Sudahkah kamu melihat dia? Ia menjawab: Belum. Sabda Nabi: Lihatlah dia lebih dahulu Firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW di atas adalah legalitas bahwa seseorang yang akan melangsungkan perkawinan dianjurkan untuk meminang calon isteri yang akan dinikahi. Status hukum meminang menurut jumhur ulama fiqh adalah sunat (tidak wajib). Akan tetapi, Daud al Dhahiri menyebutkan wajib. Silang pendapat ini disebabkan, apakah perbuatan Rasulullah SAW yang berkenaan dengan masalah meminang diartikan wajib atau sunah . Namun demikian, bila melihat kepada bentuk lafal yang berhubungan dengan masalah meminang, baik yang terdapat dalam al-Quran maupun Hadits, tidak ditemukan lafal perintah yang akan melahirkan hukum wajib. Sebagaimana kaidah ushul fiqh yang berbunyi: الاصل فى الامر للوجوب ولا تدل على غيره الا بقرينة “Pada dasarnya amar (perintah) itu menunjukkan (arti) wajib, dan tidak menunjukkan kepada (arti) selain wajib kecuali terdapat qarinah-nya (maksud)” . Beragumentasi kepada kaidah ushuliyah di atas, dapat ditegaskan bahwa hukum meminang hanyalah sunah. Karena perbuatan tersebut merupakan ketetapan Allah dan Rasul yang tidak dalam bentuk perintah. Menurut KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Dlau’u al-Misbah fii Bayani Ahkamu an-Nikah juga menerangkan bahwa seseorang yang bermaksud menikah disunahkan untuk melakukan khithbah atau peminangan dahulu kepada wali perempuan sebelum melaksanakan akad atau ijab kabul. Melihat Pinangan Untuk kebaikan kehidupan bersuami isteri, kesejahteraan dan ketenteramannya, seyogyanya laki-laki lebih dulu melihat perempuan yang akan dipinangnya sehingga dapat diketahui kecantikannya yang bisa jadi satu faktor pendorong dia untuk mempersuntingnya, atau untuk mengetahui cacat celanya yang bisa jadi penyebab kegagalannya sehingga berganti mengambil orang lain. Orang yang bijaksana tidak akan memasuki atau mengerjakan sesuatu sebelum ia tahu betul baik buruknya. Al Ma’masy sebagaimana dikutip Sayid Sabiq menyebutkan; “Tiap-tiap perkawinan yang sebelumnya tidak saling mengetahui, biasanya berakhir dengan penyesalan dan gerutu” . Untuk itu agama men-sunah-kan dan menganjurkan untuk melihat pinangan sebagaimana sabda Rasulullah SAW: وعن جابر رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا خطب أحدكم المرأة, فإن استطاع أن ينظر منها الى ما يدعوه الى نكاحها فليعفل . “Dari Jabir ra, ia berkata: Bersabda Rasulullah SAW: “Apabila seseorang di antara kamu meminang wanita, maka sebaiknya lihatlah dari wanita itu apa-apa yang dapat menarik kamu untuk mengawininya, bila sudah demikian, maka lakukanlah” . Dalam hadits yang lain disebutkan: عن المغيرة بن شعبة ان النبى صلى الله عليه وسلم قال لرجل تزوّج امرأة : أنظرت اليها؟ قال لا, قال: اذهب فانظر اليها “Dari Mughirah bin Syu‟bah, Sesungguhnya bersabda Rasulullah SAW kepada seorang laki-laki yang akan mengawini seorang perempuan: “Sudahkah kamu melihat perempuan itu?”. Jawabnya: “Belum”. Beliau bersabda: “Lihatlah dulu” . Menurut ulama fiqih, cara melihat wanita akan dipinang bisa ditempuh dengan dua cara: a. Lelaki yang meminang itu melihat secara langsung wanita yang dipinangnya. b. Dengan mengirim seorang wanita yang dipercayai lelaki yang akan meminang wanita itu. Wanita inilah yang kan melihat keadaan wanita yang dipinang tersebut, baik sifat kebiasaan, akhlak dan penampilannya. Jumhur ulama berpendapat bagian badan perempuan yang boleh dilihat yaitu muka dan telapak tangan. Dengan melihat mukanya dapat diketahui cantik dan jeleknya, dengan melihat telapak tangannya dapat diketahui badannya subur atau tidak. Imam Abu Hanifah menambahkan bahwa laki-laki boleh juga melihat kedua kaki perempuan yang dipinangnya . Akan tetapi Imam Daud berkata, seluruh badan perempuan yang dipinang boleh untuk dilihat . Silang pendapat di atas disebabkan dalam persoalan melihat perempuan yang dipinang terdapat suruhan secara mutlak, di sisi lain terdapat pula larangan secara mutlak, dan ada pula suruhan yang bersifat terbatas, yakni pada muka dan dua telapak tangan, sebagaimana firman Allah SWT, dalam surah al Nuur ayat 31: ... وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ... “...Dan janganlah mereka (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak pada dirinya...” Kebolehan melihat muka dan telapak tangan perempuan sebagai pendapat jumhur ulama di atas, didasarkan kepada firman Allah SWT dalam surah al Nuur ayat 31 yakni “illa ma zhoharo minha”, karena muka dan telapak tangan perempuan-lah yang biasa dilihat oleh orang lain . Melihat perempuan yang hendak dinikahi, bukan hanya terbatas pada melihat bentuk fisiknya saja, akan tetapi perlu pula mendalami bagaimana karakter serta sifat alamiahnya, latar belakang keluarga serta cara bergaulnya . Adapun terhadap sifat-sifat yang bertalian dengan akhlak, dapat diketahui dengan cara bertanya langsung, atau bertanya kepada orang-orang yang dekat dengan perempuan itu, atau dapat pula mengutus perempuan lain untuk mendatangi perempuan yang dipinang. Rasulullah sebagaimana disebutkan dalam kitab Fiqh al Sunnah disebutkan pernah mengutus Ummu Sulaim untuk mendatangi seorang perempuan, lalu beliau mengatakan: “Lihatlah urat kentirnya dan ciumlah kuduknya”, dalam riwayat lain disebutkan; “dan ciumlah gigi depannya” . Perilaku Rasulullah ini menginformasikan, dalam mempelajari perempuan yang akan dinikahi dalam masa pertunangan dapat dengan mengutus orang lain. Utusan yang ditugaskan itu hendaknya benar-benar orang yang jujur dan mengetahui lahir bathin perempuan yang dipinang tersebut. Ia bukan orang yang memihak kepadanya sehingga ia akan memuji dengan berlebih-lebihan, dan bukan pula orang yang benci kepadanya sehingga nanti akan mengejek-ngejeknya. Apabila laki-laki yang melihat pinangannya, ternyata tidak menarik, hendaklah dia diam dan jangan mengatakan sesuatu yang dapat menyakitkan hatinya, sebab boleh jadi perempuan yang tidak disenangi itu akan disenangi oleh laki-laki lain. Selanjutnya melihat pinangan itu tidaklah hanya khusus kepada laki-laki saja, tetapi perempuan pun boleh juga. Ia berhak melihat laki-laki yang meminangnya, guna mengetahui hal-hal yang bisa menyebabkan ia tertarik sebagaimana dengan laki-laki melihat faktor-faktor yang menyebabkan ia tertarik. Ulama fiqih juga menetapkan bahwa laki-laki dan wanita yang telah setuju untuk membina rumah tangga, tetap dilarang untuk berdua-duaan (khalwat) sampai mereka melaksanakan akad nikah. Jika mau ada pertemuan harus didampingi oleh mahram, sehingga tidak akan menimbulkan fitnah. B. Mahar dalam Pernikahan Dalam Kamus Bahasa Indonesia, mahar adalah pemberian di pihak pengantin laki-laki (berupa emas, barang, atau kitab suci) kpd pengantin perempuan pd waktu akad nikah yg dapat diberikan secara kontan ataupun secara berhutang. Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Ia juga disebut shidaq (صداق) atau maskawin yaitu sesuatu yang wajib atas laki-laki sebab pernikahan atau persetubuhan. Sesuatu yang memberikan kesan bahwa pemberi sesuatu itu betul-betul senang mengikat pernikahan, yang mana pernikahan itu adalah pangkal terjadinya pemberian tersebut. Maskawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, dan selama maskawin itu bersifat lambang, maka sedikit pun jadilah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Uqbah bin Amir ra, ia berkata bahwa Nabi saw bersabda: “sebaik-baiknya maskawin itu adalah yang termudah”. Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama mazhab, yang pada dasarnya memiliki maksud yang sama. Sebagian ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan mahar sebagai sejumlah harta yang menjadi hak istri karena akad perkawinan atau disebabkan terjadinya senggama dengan sesungguhnya. Ulama lainnya mendefinisikannya sebagai harta yang wajib dibayar suami kepada istrinya ketika berlangsung akad nikah sebagai imbalan maksud yang sama. Sebagian ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan mahar sebagai sejumlah harta yang menjadi hak istri karena akad perkawinan atau disebabkan terjadinya senggama dengan sesungguhnya. Ulama lainnya mendefinisikannya sebagai harta yang wajib dibayar suami kepada istrinya ketika berlangsung akad nikah sebagai imbalan dari kesediaan penyerahan kepada suami (senggama). Ulama Mazhab Maliki mendefinisikannya sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikan mahar sebagai sesuatu yang wajib dibayarkan disebabkan akad nikah atau senggama. Kemudian ulama Mazhab Hanbali mendefinisikannya sebagai imbalan suatu perkawinan, baik disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak maupun ditentukan oleh hakim. Dalam definisi ini termasuk kewajiban mahar apabila melakukan senggama dengan istri dalam nikah fasid (rusak). Hukum Mahar Hukumnya adalah wajib berdasarkan surah an-Nisa ayat 4. ....وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”. Adapun maksud ayat di atas nenurut Ibnu Katsir dlam tafsirnya mengenai mahar atau maskawin adalah nihlah, yakni maskawin yang wajib. Ibnu Zaid mengatakan, istialah nihlah dalam perkataan orang Arab, artinya maskawin yang wajib. Disebutkan, ”janganlah kamu menikahinya kecuali dengan sesuatu (maskawin) yang wajib baginya. Tidak layak bagi seseorang sesudah Nabi saw menikahi wanita kecuali dengan maskawin yang wajib. Tidak layak penyebutan maskawin didustakan tanpa alasan yang dibenarkan”. Hal ini terlihat pula dalam surah An-Nisa’ ayat 24-25 dan surah al-Maidah (5) ayat 5. Agama menganjurkan agar mas kawin merupakan sesuatu yang bersifat materi, karena itu bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan sampai ia memiliki kemampuan. Tetapi kalau oleh satu dan lain hal, ia harus juga kawin, maka cincin besi pun jadilah. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Hakim, dari Sahal bin Sa’ad ra, ia berkata: “Nabi saw pernah mengawinkan seorang laki-laki kepada seorang perempuan dengan maskawin sebuah cincin besi”. Akan tetapi, ulama fikih juga menyatakan bahwa sekalipun mahar wajib dibayarkan suami kepada istri, namun mahar itu sendiri bukanlah salah satu rukun dan syarat perkawinan. Menurut mereka, mahar hanyalah sekedar akibat dari adanya suatu akad nikah. Sekalipun suatu perkawinan tanpa mahar, ulama fikih tetap tetap menyatakan perkawinan tersebut sah. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 236: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya…”. Akan tetapi jumhur ulama tetap mewajibkan yaitu mahar al-mitsil. Sementara itu ulama Mazhab Maliki mengatakan, jika suami istri sepakat melangsungkan perkawinan tanpa mahar, maka nikahnya fasid. Mahar boleh dibayar dengan pelbagai cara yang mempunyai nilai atau faedah tertentu berdasarkan persetujuan bersama seperti uang, rumah, kebun, mengajar atau membaca al-Quran, mengajar ilmu agama, pakaian sembahyang atau sebagainya. Malah ia boleh dibayar secara tunai, bertangguh atau berhutang. Jika mahar berhutang, suami wajib membayarnya setelah melakukan persetubuhan atau persetubuhan secara syubhah atau salah seorang mati. Jika suaminya mati, waris suami wajib membayarnya kepada ahli waris isterinya. Jika diceraikan sebelum bersetubuh, hutang mahar wajib dibayar separuh daripada nilainya kepada bekas isterinya, jika sudah dibayar tetapi belum bersetubuh, maka isteri wajib memulangkan separuh daripadanya. Jika isteri meminta fasakh, mereka belum bersetubuh, dan mahar masih berhutang, suaminya tidak wajib membayarnya. Jika sudah dibayar, bekas isteri wajib memulangkan kesemua jumlah mahar tersebut. Syarat-syarat Mahar Ada tiga syarat mahar yang dikemukakan ulama. a. Suatu benda yang boleh dimiliki dan halal diperjualbelikan. Babi dan minuman keras tidak boleh dijadikan mahar, karena keduanya bukanlah harta yang halal bagi umat islam. b. Mahar itu jelas jenis dan jumlahnya. c. Tidak terdapat unsur tipuan. Mazhab hanafi menambahkan syarat keempat, yaitu mahar yang diberikan itu harus dalam nikah yang sah, bukan dalam nikah yang fasid. Berdasarkan syarat-syarat di atas, ulama mazhab menetapkan criteria harta yang boleh dijadikan mahar. Ulama Mazhab Hanafi memberikan kriteria dengan “setiap harta yang bernilai bagi umat Islam dalam jumlah yang jelas serta mampu dibayarkan”. Berdasarkan criteria ini, baik benda maupun manfaat atau jasa dapat dijadikan mahar. Apabila yang dijadikan mahar tersebut adalah “mengajarkan ayat-ayat al-Qur’an kepada istri”, menurut sebagian ulama Mazhab Hanafi, tidak sah; sedangkan menurut ulama lainnya boleh. Ulama mahzab Maliki memberikan kriteria harta yang dapat dijadikan mahar dengan “setiap harta yang diminati manusia dan dihalalkan hukum Islam (seperti barang dagangan, hewan, uang, dan benda tak bergerak), yang bermanfaat, jelas jenis dan ukurannya, mampu dibayarkan serta suci”. Kemudian Mazhab Syafi’i dan Hanbali memberikan kriterianya dengan “setiap yang sah diperjual belikan, sah pula dijadikan mahar apabila jelas ukurannya, mampu dibayarkan, baik secaratunai maupun utang, baik berbentuk benda, pekerjaan atau manfaat tertentu”. Oleh karena itu, mengajarkan al-Qur’an dan ilmu yang bermanfaat boleh dijadikan mahar. Alas an yang mereka kemukakan adalah kasus perkawinan Nabi Musa AS dengan putra Nabi Syu’aibAS yang maharnya adalah kewajiban menggembala kambing oleh Nabi Musa AS. Begitu pula dengan sabda Rasulullah SAW ketika menikahkan seorang sahabat dengan seorang wanita, yang menjadikan mengajarkan al-Qur’an kepada wanita yang dikawininya sebagai mahar. Macam-macam Mahar Ada dua bentuk mahar yang dikemukakan para ahli fikih. a. Mahar al-Musamma yaitu mahar yang dinyatakan secara jelas dalam akad. Termasuk dalam mahar al-Musamma adalah sesuatu yang diberikan suami kepada istrinya sebelum dan sesudah perhelatan perkawinan, seperti pakaian pengantin, sesuai dengan adat istiadat yang berlaku. b. Mahar al-Mitsil. Dalam menentukan mahar al-Mitsil in terdapat perbedaan pendapat dikalangan ahli fikih. Ulama Mazhab Hanafi mengemukakan bahwa mahar al-Mitsil itu adalah sejumlah mahar yang sama nilainya dengan mahar yang diterima oleh wanita yang menikah dari pihak ayahnya. Oleh karena setiap daerah mempuyai ketentuan mahar yang sudah pasti, maka ukuran yang diambil adalah kebiasaan yang berlaku dalam perkawinan keluarga ayah wanita tersebut. Ulama Mazhab Hanbali menyatakan bahwa mahar al-Mitsil itu adalah sejumlah mahar yang berlaku bagi keluarga wanita tersebut dari pihak ayah dan ibu. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan Ahmad bib Hanbal. Ulama Mazhab Maliki dan Syafi’I menyatakan bahwa mahar al-Mitsil itu dikembalikan kepada kebiasaan yang berlaku dalam keluarga tersebut ketika melangsungkan perkawinan seorang wanita. C. Kafaah dalam Perkawinan Kafa’ah (كفاءة)berasal dari bahasa Arab yang berarti sebanding, setaraf, dan sesuai. Kesetaraan yang perlu dimiliki oleh calon suami dan calon istri agar dihasilkan keserasian hubungan suami istri secara mantap dalam rangka menghindarkan cela dalam permasalahan-permasalahan tertentu. Istilah kafaah dibahas ulama fiqih dalam masalah perkawinan ketika membicarakan jodoh seorang wanita. Persoalan kafaah dalam perkawinan menjadi penting dalam rangka membina keserasian kehidupan sosial. Jumhur ulama berpendapat bahwa kafaah amat penting untuk kelangsungan dan kelanggengan suatu perkawinan, meskipun ia bukan syarat sahnya suatu perkawinan. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa seorang wanita mendatangi Rasulullah SAW mengadukan perihal sikap ayahnya yang memaksanya kawin dengan seorang pemuda yang sombong dan senantiasa mendambakan hal-hal yang bersifat keduniaan, sehingga ia tidak merasa setara dengan pemuda tersebut. Ia mengadu kepada Rasulullah SAW seraya berkata: “adakah ada hak bagi wanita menolak pilihan ayahnya jika wanita itu tidak setuju?” Rasulullah SAW menjawab: Jika kamu tidak mau, tinggalkan pemuda itu” (HR. Ibnu Majah, an-Nasa’i, dan Ahmad bin Hambal). Menurut Imam Syafi’i, hadits kedua ini merupakan hadits terkuat yang menunjukkan betapa pentingnya kafaah dalam menentukan jodoh seorang wanita. Jumhur ulama mengatakan bahwa keharmonisan dan kebahagiaan suatu rumah tangga berawal dari keharmonisan pasangan tersebut. Islam sendiri tidak menginginkan seorang wanita didampingi oleh seseorang yang tidak seagama dan secara sosial kehidupannya kurang baik. Oleh sebab itu, menurut jumhur ulama, dalam rangka keserasian kehidupan suatu rumah tangga amatlah logis fakta kafaah diperhatikan oleh para wali, karena perkawinan bukan hanya berdampak kepada pasangan tersebut, tetapi juga menyangkut hubungan persemendaan antara kedua keluarga. Ulama sepakat menyatakan bahwa kafaah merupakan hak seseorang wanita dan walinya. Apabila seorang wali menikahkan seorang wanita dengan seorang pria yang tidak sekufu dengannya maka wanita itu berhak membatalkan perkawinan tersebut. Sebaliknya, apabila seorang wanita memilih jodohnya seorang pria yang tidak sekufu dengannya maka wali berhak menolak dan menuntut pembatalan perkawinan tersebut. Alasannya adalah hadits seorang wanita yang mengadu kepada Rasulullah SAW bahwa ia merasa tidak sekufu dengan pria pilihan ayahnya, sekalipun anak pamannya sendiri. Jumhur ulama menyatakan bahwa kafaah atau tidaknya pasangan tersebut dilihat dari sisi wanita, bukan dari sisi pria. Wanitalah yang dijadikan patokan apakah pria jodohnya itu sekufu dengannya atau tidak, karena persoalan kafaah adalah persoalan wanita dan walinya. Terdapat perbedaan pendapat ulama dalam menentukan unsur-unsur yang dinilai dalam kafaah. Menurut ulama Mazhab Maliki, unsur kafaah yang dinilai itu adalah agama dan keadaan pria itu sendiri dari sisi jasmani dan rohani, yaitu apakah terdapat cacat pada jasmaninya atau rohaninya, seperti gila, berpenyakit kusta, dan lemah syahwat. Menurut ulama mazhab Hanafi, unsur kafaah yang dilihat adalah agama, keislaman, yaitu jika pria itu dari keturunan non Arab hendaklah orang tua pria itu orang muslim, kemerdekaan, keturunan, kekayaan, dan status sosial. Menurut ulama Mazhab Syafi’i, kafaah yang dilihat adalah agama, kemerdekaan, yaitu pria itu bukan budak, karena status budak tidak sama dengan status merdeka, keturunan , yaitu bahwa orang tua pria itu ada, dikenal, dan berasal dari orang baik-baik, status sosial dan keadaan jasmani. Menurut ulama Mazhab Hanbali, unsur-unsur kafaah itu adalah agama, kemerdekaan, keturunan, kekayaan, yaitu kesanggupan membayar mahar dan nafkah perkawianan nantinya, bukan kaya dalam arti orang yang memiliki harta yang melimpah, dan status sosial, adanya mata pencaharian pria tersebut yang dapat menjamin nafkah rumah tangganya. BAB III PENUTUP Kesimpulan Peminangan atau khithbah merupakan langkah awal dalam proses perkawinan sebelum ijab qobul adalah upaya seorang laki-laki atau wakilnya meminta kepada pihak perempuan yang bukan mahramnya untuk dijadikan isterinya, dengan cara tertentu yang telah berlaku di tengah-tengah masyarakat. Khithbah hukumnya sunah dilaksanakan sebagai proses ta’aruf antara kedua mempelai terhadap walinya. Adapun seorang perempuan boleh dipinang apabila memenuhi dua syarat; 1) pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan hukum yang melarang dilangsungkannya perkawinan; 2) belum dipinang orang lain secara sah. Selain itu, peminang dibolehkan melihat wanita yang akan dipinang yang dibatasi wajah dan telapak tangan; atau melalui utusan perempuan yang dipercaya untuk mengetahui akhlak dan kepribadian dari wanita yang akan dipinang. Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam sebab pernikahan atau persetubuhan. Hukumnya wajib bagi laki-laki memberi sesuatu kepada wanita meskipun dengan nilai yang kecil, sesuai dengan kesepakatan mempelai wanita. Mahar dibolehkan disebut atau tidak, dalam akad nikah. Adapaun syaratnya mahar; 1) Suatu benda yang boleh dimiliki dan halal diperjualbelikan; 2) Mahar itu jelas jenis dan jumlahnya; 3) Tidak terdapat unsur tipuan. Serta ada dua macam mahar, yaitu: mahar al-musamma yaitu mahar yang dinyatakan secara jelas dalam akad; dan mahar mitsil yaitu mahar yang jumlah, bentuk, dan jenisnya ditetapkan sesuai dengan yang berlaku di daerah tersebut. Kafa’ah adalah kesetaraan yang perlu dimiliki oleh calon suami dan calon istri agar dihasilkan keserasian hubungan suami istri secara mantap dalam rangka menghindarkan cela dalam permasalahan-permasalahan tertentu, baik agama, keislaman, kemerdekaan, keturunan, kekayaan, maupun status sosial. Namun, keputusan ada ditangan wanita dan walinya dalam kafaah. DAFTAR PUSTAKA Asy’ari, Hasyim, Dlau’u al-Misbah fii Bayaani Ahkaamu an-Nikaah, Jombang: Ma’had Tebuireng, t.t. Al-Asqalani, Ibn Hajar, Bulughu al Maram, Terj. Moh.Syarief Sukandy, Bandung: Al Ma’arif, 1986. Al-Barik, Haya binti Mubarok, Mausu’ah al Mar’atu al Muslimah, Terj. Amir Hamzah Fachrudin, Jakarta: Darul Falah, 1423 H al-Malibary, Zainuddin bin Abdul Azizi, Fathul Mu’ain, terj. M. Ali As’ad, Kudus: Menara Kudus, 1979. al-Ghazziy, Ibnu Qasim, Fathul Qorib al-Mujib, terj. A. Hufaf Ibry, Surabaya: Tiga Dua, 2004. Ensiklopedi Hukum Islam, editor. Abdul Azis Dahlan, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996. Ibnu Katsir, Ismail, Tafsir Ibnu Katsir, penerj: Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000. Ibnu Rusyd, Bidayatu al Mujtahid wa Nihayatu al Muqtashid, Beirut: Dar al Fikr, 1989. Nafis, M. Cholis dan Abdullah Ubaid, Keluarga Maslahah : Terapan Fiqih Sosial Kiai Sahal, Jakartya: Mitgra Abadi Press, 2010. Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994 Sabiq, Sayid, Fiqh al Sunnah, Beirut: Dar al Fikr, 1983 Shihab, Quraish, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002. -----------------, Wawasan al Quran (Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1997. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. Usman, Muchlis, Kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyah (Pedoman Dasar Dalam Istimbath Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999. Uwainah, Syaikh Kamil Muhammad Muhammad, Al Jami’ Fii Fiqh al Nisak, Beirut: Daar al Kutub al Ilmiyah, 1996. Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Zay Arief